Rabu, 18 Agustus 2010

TERORISME

A. LATAR BELAKANG

Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.

Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum, sebagaimana yang diatur juga dalam Article 2 European Convention on Human Rights yang menyatakan :

protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for the cases of lawful executions, and deaths as a result of "the use of force which is no more than absolutely necessary" in defending one's self or others, arresting a suspect or fugitive, and suppressing riots or insurrections ).

Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia ).

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama.

Kembali pada kasus Bom Bali I. Aksi teror melalui peledakan bom mobil di Jalan Raya Legian Kuta ini semula direncanakan dilaksanakan pada 11 September 2002, bertepatan dengan peringatan setahun tragedi di Gedung World Trade Center New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, peristiwa 11 September 2002 ini mengawali “Perang Global” terhadap terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang berat sebelah seperti pemunculan jargon “Jihad adalah Terorisme” dalam memerangi terorisme telah menjadi alasan beberapa kelompok teroris untuk melakukan perlawanan, salah satunya dilakukan oleh Ali Imron, Ali Gufron, dan Amrozi.

Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai.
Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan.

Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan.
Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 8 adalah:

a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa



Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1. tulisan, suara, atau gambar;
2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya



Alat bukti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, tersebut berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin (ilmu hukum) dikategorikan sebagai Barang Bukti yang berfungsi sebagai data penunjang bagi alat bukti. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, kedua alat bukti tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dan mengikat serta memiliki kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, prinsip lex specialis derogat legi generalis tetap berlaku. Dengan penafsiran secara a contrario, dapat diartikan hal yang tidak diatur dalam ketentuan khusus, dalam hal ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, berlakulah ketentuan umum, dalam hal ini KUHAP.

B. ANALISIS MASALAH

1. Cyber Terrorism

Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyberterrorism.
Akar perkembangan dari cyberterrorism dapat ditelusuri sejak awal 1990, ketika pertumbuhan Internet semakin pesat dan kemunculan komunitas informasi. Di Amerika serikat sejak saat itu diadakan kajian mengenai potensi resiko yang akan dihadapi Amerika Serikat atas ketergantungannya yang begitu erat dengan jaringan (networks) dan teknologi tinggi ). Dikhawatirkan, karena ketergantungan Amerika Serikat yang begitu tinggi terhadap jaringan dan teknologi suatu saat nanti Amerika akan menghadapi apa yang disebut "Electronic Pearl Harbor” ).

Faktor psikologis, politik, dan ekonomi merupakan kombinasi yang menjadikan peningkatan ketakutan Amerika terhadap isu terkait cyberterrorism. Sehingga pada tahun 1999, Presiden Clinton sampai mengajukan proposal anggaran dana untuk menangani aksi cyber terrorisme sebesar $2.8 miliar. Dana tersebut juga diperuntukan bagi penanganan keamanan nasional dari ancaman bahaya internet ).

Ketakutan tersebut cukup beralasan, karena telah terjadi beberapa insiden yang dikategorikan sebagai cyberterrorisme, antara lain pada April dan Maret 2002, di Amerika Serikat, tepatnya negara bagian California, terjadi kehilangan pasokan listrik secara total yang disebabkan oleh ulah cracker dari Cina yang menyusup kedalam jaringan power generator di wilayah tersebut. Contoh lainnya adalah aksi 40 cracker dari 23 negara bergabung dalam perang cyber konflik Israel-Palestina sepanjang bulan Oktober 2000 sampai Januari 2001. Kelompok yang menamakan dirinya UNITY dan memiliki hubungan dengan organisasi Hezbollah merencanakan akan menyerang situs resmi pemerintah Israel, sistem keuangan dan perbankan, ISPs Israel dan menyerang situs e-commerce kaum zionis Israel.

Motif dilakukannya cyberterrorism menurut Zhang ada lima sebab, yaitu ) :

1. Psychological Warfare. Menurut Zhang, “The study of the modern terrorism also reveals one of the most important characteristics of the terrorism is to raise fear.” Motif ini tidak berbeda dengan motif terorisme konvensional, dimana sasaran utama terorisme adalah menimbulkan rasa ketakutan dalam masyarakat.
2. Propaganda. Melalui cyberterrorism, kelompok teroris dapat melakukan propaganda tanpa banyak hambatan seperti sensor informasi, karena sifat Internet yang terbuka, upaya ini jauh lebih efektif
3. Fundraising. Melalui cyberterrorism, khususnya tindakan penyadapan dan pengambilalihan harta pihak lain untuk kepentingan organisasi teroris telah menjadi motif utama dari cyberterrorism. Kelompok teroris juga dapat menambah keuangannya melalui penjualan CD dan buku tentang “perjuangan” mereka.
4. Communication. Motif selanjutanya dari cyberterrorism adalah komunikasi. Kelompok teroris telah secara aktif memanfaatkan Internet sebagai media komunikasi yang efektif dan jauh lebih aman dibandingkan komunikasi konvensional.
5. Information Gathering. Kelompok teroris memiliki kepentingan terhadap pengumpulan informasi untuk keperluan teror, seperti informasi mengenai sasaran teror, informasi kekuatan pihak musuh, dan informasi lain yang dapat menunjang kinerja kelompok teroris tersebut seperti informasi rahasia (intelegent information) terkait persenjataan, dan lainnya. Atas dasar motif information gathering lah cyberterrorism dilakukan.



Pergeseran wilayah terorisme konvensional ke cyberterrorisme disebabkan beberapa faktor. Weimann dalam tulisannya http://www.terror.net : How Modern Terrorism Uses the Internet menuturkan delapan alasan mengapa terjadi pergeseran wilayah aktifitas terorisme dari konvensional ke cyberterrorisme yaitu sebagai berikut ) :

1. Kemudahan untuk mengakses. Cyberterrorism dapat dilakukan secara remote. Artinya tindakan cyberterrorism dapat dilakukan dimana saja melalui pengontrolan jarak jauh.
2. Sedikitnya peraturan, penyensoran, dan segala bentuk kontrol dari pemerintah.
3. Potensi penyebaran informasi yang mengglobal.
4. Anonimitas dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan hal yang biasa dalam dunia Internet. Kebanyakan orang berinteraksi di Internet menggunakan nama palsu atau biasa disebut nickname.114
5. Arus informasi yang cepat.
6. Biaya yang rendah untuk mengembangkan dan merawat website, selain itu dalam melaksanakan cyberterrorism yang diperlukan umumnya hanya perangkat komputer yang tersambung ke jaringan Internet.115
7. Lingkungan multimedia yang mempermudah penyampaian maksud dan tujuan teror.
8. Kemampuan yang lebih baik dari media massa yang tradisional dalam menyajikan informasi.



Untuk mendalami apa dan bagaimana cyberterrorism, perlu terlebih dahulu diberikan definisi terhadap kata tersebut. Beberapa lembaga dan ahli memberikan definisi terkait cyberterrorism. Definisi pertama didapat dari Black’s Law Dictionary, yang menjelaskan sebagai berikut :

Cyberterrorism. Terrorism committed by using a computer to make unlawful attacks and threats of attack againts computer, networks, and electronically stored information, and actually causing the target to fear or experience harm.
Secara bebas dapat diartikan, terorisme yang dilakukan dengan menggunakan komputer untuk melakukan penyerangan terhadap komputer, jaringan komputer, dan data elektronik sehingga menyebabkan rasa takut pada korban. Dari definisi ini terlihat unsur utama dari cyberterrorism, yaitu :


a. penggunaan komputer,
b. tujuannya untuk melakukan penyerangan, serangan tersebut ditujukan kepada sistem komputer dan data,
c. serta adanya akibat rasa takut pada korban.



Definisi selanjutnya dikeluarkan oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) yang menyatakan sebagai berikut :

cyber terrorism is the premeditated, politically motivated attack against information, computer systems, computer programs, and data which result in violence against noncombatant targets by sub national groups or clandestine agents.(Secara bebas dapat diterjemahkan menjadi, cyberterrorism adalah serangan yang telah direncanakan dengan motif politk terhadap informasi, sistem komputer, dan data yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat sipil dan dilakukan oleh sub-nasional grup atau kelompok rahasia).

Definisi berikutnya diberikan oleh Dorothy Denning, yaitu :

Cyberterrorism is the convergence of cyberspace and terrorism. It refers to unlawful attacks and threats of attacks against computers, networks and the information stored therein when done to intimidate or coerce a government or its people in furtherance of political or social objectives (cyberterrorsim adalah konvergensi dari cyberspace dan terorisme. Pengertian tersebut merujuk pada perbuatan melawan hukum dengan cara menyerang dan mengancam melakukan serangan terhadap komputer, jaringan dan informasi yang tersimpan didalamnya untuk tujuan mengintimidasi atau memaksa pemerintah atau masyarakat untuk tujuan politik atau sosial).

The Internet and Terrorism, Lewis menyatakan sebagai berikut :

The Internet enables global terrorism in several ways. It is an organizational tool, and provides a basis for planning, command, control, communication among diffuse groups with little hierarchy or infrastructure. It is a tool for intelligence gathering, providing access to a broad range of material on potential targets, from simple maps to aerial photographs. One of its most valuable uses is for propaganda, to relay the messages, images and ideas that motivate the terrorist groups.
Terrorist groups can use websites, email and chatrooms for fundraising by soliciting donations from supporters and by engaging in cybercrime (chiefly fraud or the theft of financial data, such as credit card numbers).

Berdasarkan pernyataan tersebut, kita ketahui kemungkinan atau bentuk lain dari cyberterrorism, yaitu pemanfaatan teknologi informasi yang dalam hal ini Internet sebagai perangkat organisasi yang berfungsi sebagai alat untuk menyusun rencana, memberikan komando, berkomunikasi antara anggota kelompok. Selain itu, basis teknologi informasi menjadi bagian penting dari terorisme yaitu sebagai media propaganda kegiatan terorisme.

Penggunan basis teknologi informasi sebagai media terorisme telah menunjukan bentuk dan karakter lain dari cyberterrorisme. Dengan demikian secara garis besar, Cyberterrorisme dapat dibagi menjadi dua bentuk atau karakteristik, yaitu sebagai berikut :

1. Cyberterrorisme yang memiliki karkateristik sebagai tindakan teror terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan informasi yang tersimpan didalam komputer.
2. Cyberterrorisme berkarakter untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat.



Bentuk atau karakter pertama cyberterrorism adalah sebagai tindakan teror terhadap sistem komputer, jaringan, dan/atau basis data dan informasi yang tersimpan didalam komputer, dan beberapa contoh dari bentuk ini adalah :

1. Unauthorized Access to Computer System dan Service. Merupakan kajahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer.
2. Denial of Service Attacks (DOS). Penyerangan terhadap salah satu servis yang dijalankan oleh jaringan dengan cara membanjiri server dengan jutanan permintaan layanan data dalam hitungan detik yang menyebabkan server bekerja terlalu keras dan berakibat dari matinya jaringan atau melambatnya kinerja server.
3. Cyber Sabotage and Extortion. Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.
4. Viruses. Virus adalah perangkat lunak yang telah berupa program, script, atau macro yang telah didesain untuk menginfeksi, menghancurkan, memodifikasi dan menimbulkan masalah pada komputer atau program komputer lainnya.
5. Physical Attacks. Penyerangan secara fisik terhadap sistem komputer atau jaringan. Cara ini dilakukan dengan merusak secara fisik, seperti pembakaran, pencabutan salah satu devices komputer atau jaringan menyebabkan lumpuhnya sistem komputer.



Selanjutnya, beberapa contoh implementasi cyberterrorisme berkarakter untuk pemanfaatan Internet untuk keperluan organisasi dan juga berfungsi sebagai media teror kepada pemerintah dan masyarakat, adalah sebagai berikut :

1. Propaganda. “The lack of censorship and regulations of the internet gives terrorists perfect opportunities to shape their image through the websites.”126 Propaganda dilakukan melalui website yang dibuat oleh kelompok teroris. Biasanya website tersebut berisi struktur organisasi dan sejarah perjuangan, informasi detail mengenai aktifitas perjuangan dan aktifitas sosial, profil panutan dan orang yang menjadi pahlwan bagi kelompok tersebut, informasi terkait ideologi dan kritik terhadap musuh mereka, dan berita terbaru terkait aktifitas mereka.
2. Carding atau yang disebut credit card fraud. Carding atau credit card fraud dalam cyber terrorisme lebih banyak dilakukan dalam bentuk pencarian dana. Selain itu carding juga dilakukan untuk mengancam perusahaan yang bergerak di bidang penyedian jasa e-commerce untuk menyediakan dana agar para carder tidak melepaskan data kartu kredit ke internet.
3. E-mail. Teroris dapat menggunakan e-mail untuk menteror, mengancam dan menipu, spamming dan menyebarkan virus ganas yang fatal, menyampaikan pesan diantara sesama anggota kelompok dan antara kelompok.



Dengan demikian, pembahasan dalam sub bab ini dapat disimpulkan. Dimasa mendatang dimana kehidupan manusia sangat bergantung pada teknologi telah menimbulkan suatu potensi kejahatan model baru yang disebut cyberterrorisme. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat hukum yang dapat mengakomodir upaya hukum terhadap tindak pidana cyberterrorism.

Sistem Pembuktian

alat bukti dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.”. Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah.
Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, (asas persumtion of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law).

Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini, penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan.

Dalam proses pembuktian terdapat tiga hal paling utama, yaitu sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Pada proses penyelesaian terhadap tindak pidana terorisme, pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme, proses pembuktian memegang peranan sangat penting, mengingat banyak pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berupa hukuman seumur hidup atau hukuman mati yang sesungguhnya bertentangan dengan HAM. Untuk itu perlu dikaji mengenai sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti terkait tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.

Menurut doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut :


a. Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime). Dalam sistem ini, penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut karena hanya keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sisitem ini. Hakim dapat memperoleh keyakinannya dari mana saja.

b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).

c. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.

d. Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.



Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara negatif ). Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pindana terorisme tersebut.

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003.

Pengaturan mengenai alat bukti dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 27, sebagaimana berikut :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:

1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
3. . data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1. tulisan, suara, atau gambar;
2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.



Dikaitkan dengan tindak pidana terorisme, pengaturan alat bukti berupa informasi dan dokumen elektronik sangat diperlukan. Alasannya, aksi terorisme semakin gencar dan menghalalkan segala cara untuk dapat beraksi. Aksi terorisme yang dilakukan pun lebih pintar yaitu dengan digunakannya teknologi modern. Contohnya saja dengan adanya website www.anshar.net. Website tersebut seakan ingin lebih menunjukkan saat ini dunia menghadapi terorisme.

C. KESIMPULAN

1. Subjek dari tindak pidana terorisme yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.

Telah dijelaskan sebelumnya, dalam hukum pidana awalnya yang menjadi subjek hukum hanyalah manusia sebagai naturelijk persoonen, namun dalam perkembangannya badan hukum juga dapat menjadi subjek hukum Jika membaca ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut. “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.” Dari pasal tersebut dapat disimpulkan mengenai subjek dari tindak pidana terorisme yaitu tidak hanya terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati tetapi juga meliputi korporasi. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 telah melakukan penafsiran secara ekstensif terhadap pemahaman mengenai subjek hukum. Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini juga terdapat pengaturan mengenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut.

Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :

* memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
* menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
* menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,



Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mengatur hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbantuan (medeplichtigheid). Bentuk penyertaan yang lainnya juga terlihat dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 yang mengatur bentuk penyertaan penggerakan (uitlokking), hal tersebut terlihat dari kalimat “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain...”.

Demikian aspek pidana materil dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tetap merujuk kepada KUHP, hal ini berdasarkan penafsiran a contrario terhadap Aturan penutup KUHP dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku juga bagi undang-undang lain kecuali jika oleh undang-undang lain ditentukan lain (asas lex specialis derogat legi generalis).
Pergeseran wilayah terorisme konvensional ke cyberterrorisme disebabkan beberapa faktor. Weimann dalam tulisannya www.terror.net : How Modern Terrorism Uses the Internet menuturkan delapan alasan mengapa terjadi pergeseran wilayah aktifitas terorisme dari konvensional ke cyberterrorisme yaitu sebagai berikut :

* Kemudahan untuk mengakses. Cyberterrorism dapat dilakukan secara remote. Artinya tindakan cyberterrorism dapat dilakukan dimana saja melalui pengontrolan jarak jauh.
* Sedikitnya peraturan, penyensoran, dan segala bentuk kontrol dari pemerintah.
* Potensi penyebaran informasi yang mengglobal.
* Anonimitas dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan hal yang biasa dalam dunia Internet. Kebanyakan orang berinteraksi di Internet menggunakan nama palsu atau biasa disebut nickname.114
* Arus informasi yang cepat.
* Biaya yang rendah untuk mengembangkan dan merawat website, selain itu dalam melaksanakan cyberterrorism yang diperlukan umumnya hanya perangkat komputer yang tersambung ke jaringan Internet.115
* Lingkungan multimedia yang mempermudah penyampaian maksud dan tujuan teror.
* Kemampuan yang lebih baik dari media massa yang tradisional dalam menyajikan informasi.



2. Baik tindak pidana korupsi maupun tindak pidana terorisme, kedua tindak pidana tersebut termasuk dalam jenis extraordinary crime.

Akan tetapi, dalam hal pembuktian, khususnya mengenai beban pembuktian terdapat perbedaan. Dalam tindak pidana korupsi, beban pembuktiannya adalah pembuktian terbalik terbatas, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, beban pembuktiannya adalah beban pembuktian biasa.

Dengan demikian dalam tindak pidana terorisme, Penuntut Umum yang dibebani oleh undang-undang kewajiban untuk membuktikan seorang terdakwa terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme sesuai dengan yang ia tuliskan dalam surat dakwaan.
Apabila berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 (1) KUHAP.168 Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian.

Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003.

2 komentar:

  1. om izin ngutip yah buat skripsi ane!
    kalo diizinin ane pake bwt referensi kalo ga ya ckp utk nambah wawasan aja!!!
    bales ya om

    BalasHapus
  2. Om izin ngutip buat tugas pak heri ;))

    BalasHapus