Rabu, 18 Agustus 2010

PERKAWINAN

Pencegahan Perkawinan

1. Tujuan
Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan

2. Syarat
a. Apabila calon suami atau isteri tidak memenuhi syarat-syarat hukum Islam dan perundang-undangan.
b. Apabila calon mempelai tidak sekufu karena perbedaan agama

3. Pihak yang dapat melakukan pencegahan
a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.
b. Saudara.
c. Wali nikah.
d. Wali pengampu.
e. Suami atau isteri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau isteri tersebut.
f. Pejabat pengawas perkawinan.

4. Prosedur pencegahan.
a. Pemberitahuan kepada PPN setempat.
b. Mengajukan permohonan pencegahan ke Pengadilan Agama setempat.
c. PPN memberitahukan hal tersebut kepada calon mempelai.

1. Akibat hukum: perkawinan tidak dapat dilangsungkan, selama belum ada pencabutan pencegahan perkawinan.

2. Cara pencabutan dengan menarik kembali permohonan pencegahan perkawinan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah dan dengan putusan Pengadilan Agama.

3. PPN tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan walaupun tidak ada pencegahan perkawinan, jika ia mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, 9,10 atau 12 UUP.

? Penolakan Perkawinan
a. Penolakan dilakukan oleh PPN, apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan menurut UUP.
b. Acara :
1) Atas permintaan calon mempelai, PPN mengeluarkan surat keterangan tertulis tentang penolakan tersebut disertai dengan alasannya.
2) Calon mempelai tersebut berhak mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (wilayah PPN tersebut) dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut untuk memberikan.
3) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan berupa : menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan perkawinan tersebut dilangsungkan.

B. Pembatalan Perkawinan

Ketentuan Pasal 22 UUP menyatakan bahwa: ?Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan? Dalam Penjelasan Pasal 22 disebutkan bahwa pengertian ?dapat? pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Dengan demikian, jenis perkawinan di atas dapat bermakna batal demi hukum dan bisa dibatalkan.
Lebih lanjut menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 3 Tahun 1975 ditentukan bahwa ?Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undanagan tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan?.

1. Perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 - 76 KHI), apabila:
a) Suami melakukan poligami tanpa ijin dari Pengadilan Agama.
b) Perempuan yang dinikahi ternyata masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c) Perempuan yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan.
e) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak..
f) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

2. Perkawinan batal (Pasal 70) apabila:
a) Seorang suami melakukan poligami padahal dia sudah mempunyai 4 orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isteri tersebut sedang dalam iddah talak raj?i.
b) Menikahi kembali bekas isteri yang telah di li ?an.
c) Menikahi bekas isterinya yang telah ditalak tiga kali (kecuali ?).
d) Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan susuan.
e) Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isterinya.

3. Pembatalan perkawinan karena adanya ancaman, pempuan atau salah sangka. Suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila:
a) Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
b) Pada waktu dilangsungkan perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isterinya.
c) Bila ancaman telah terhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya, dan dalam waktu 6 bulan setelah itu tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya menjadi gugur.

4. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan:
a) Pihak keluarga suami atau isteri dalam garis lurus ke atas dan ke bawah.
b) Suami atau isteri
c) Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan.
d) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad pada rukun dan syarat perkawinan menurut hukum.

5. Acara pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dimana suami atau isteri bertempat tinggal atau di tempat perkawinan dilangsungkan.

6. Akibat hukum
a) Pembatalan perkawinan berarti adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah tidak sah. Akibat hukum dari pembatalan tersebut adalah bahwa perkawinan tersebut menjadi putus dan bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan para pihak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum lagi dengan kerabat dan bekas suami maupun isteri.
b) Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum telap, tetapi berlaku surut sejak saat berlangsungnya perkawinan.
c) Keputusan pembatalan tidak berlaku surut terhadap :
? Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad;
? Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
? Pihak ketiga yang mempunyai hak dan beritikad baik.;
? Batalnya perkawinan tidak memutus hubungan hukum anak dengan orang tua.
d) Perbedaan dengan perceraian dalam hal akibat hukum :
(1) Keduanya menjadi penyebab putusnya perkawinan, tetapi dalam perceraian bekas suami atau isteri tetap memiliki hubungan hukum dengan mertuanya dan seterusnya dalam garis lurus ke atas, karena hubungan hukum antara mertua dengan menantu bersifat selamanya.
(2) Terhadap harta bersama diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk bermusyawarah mengenai pembagiannya karena dalam praktik tidak pernah diajukan ke persidangan dan di dalam perundang-undangan hal tersebut tidak diatur.

e) Catatan: Dalam pembatalan perkawinan ada istilah fasaakh dan fasid
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 02.18 0 komentar
Label: Perkawinan
Rabu, 02 Juni 2010
Perjanjian Pra Nikah

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya

Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis?

1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?

Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.

Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.

2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama?

Membuat perjanjian pra nikah di perbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.

Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”

Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUH Per: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”

Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat

Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram" atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut'ah (kawin kontrak). Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai"

Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, diaman berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60)

3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?

isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.

Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.

Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :

- tentang pemisahan harta kekayaan. Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.

Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian, atau kematian.

Tetapi Untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”. Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.

- Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah perceraian, bahkan kematian.

- Tidak terbatas pada masalah keuangan saja, isi perjanjian pra nikah bisa meliputi hal-hal yang kira-kira dapat berpotensi menimbulkan masalah selama perkawinan, antara lain hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan, tentang pekerjaan, tentang para pihak tidak boleh melakukan hal-hal sebagaimana diatur dalam Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset, baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan, perceraian ataupun kematian, juga tentang warisan dan hibah.

- Pada perjanjian pranikah juga dapat menyebutkan tentang tanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkan selama perkawinan, baik dari segi pengeluaran sehari-hari, maupun dari segi pendidikan. Walaupun pada prinsipnya semua orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan dan tumbuh kembang anak, sehingga istri juga ikut bertanggung jawab dalam hal ini, itu semua bisa disepakati bersama demi kepentingan anak.

- Bahkan dalam perjanjian pra nikah dapat diperjanjikan bagi pihak yang melakukan poligami diperjanjikan mengenai tempat kediaman, Waktu giliran dan biaya RT bagi isteri yang akan dinikahinya (pasal 52 KHI).

Dalam perjanjian pra nikah itu para pihak tidak bisa mencantumkan klausul penentuan kewarganegaraan apakah anak yang dilahirkan kelak mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibu, karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No.62 tahun 1968 tentang kewarganegaraan, yang menganut asas ius sanguinis yaitu asas seorang anak akan mengikuti kewarganegaraan suami.

Intinya dalam perjanjian pranikah hal hal yang disebutkan didalamnya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1, dan kesepakatan dicapai setelah masing-masing pihak sepakat dan sukarelaan serta tidak ada paksaan.

Pelanggaran atau tidak dijalankannya isi perjanjian pra nikah ini maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perceraian ke PA atau PN setempat

Biasanya konsep dasar akta perjanjian pra nikah sudah ada di semua notaris, tinggal nanti terserah pada masing-masing calon pasangan untuk menambahkan atau mengurangi. Notaris akan memeriksa bukti kelengkapan yang menunjang isi perjanjian tadi seperti bukti kepemilikan atas harta yang diklaim adalah milik salah satu pihak, Untuk memastikan kebenaran isi akta perjanjian pra nikah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh calon istri, calon suami, notaris dan dua orang saksi.

4. Apakah perjanjian Pranikah bisa dicabut kembali

Perjanjian pra nikah dapat dicabut kembali asalkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Seperti dikatakan dalam 29 ayat 4 UU Perkawinan : “selama perkawina berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.

Hal yang sama dikatakan dalam Pasal 50 ayat 2 KHI; “Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan tersebut dilangsungkan’ dan Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga ( Pasal 50 ayat 5 KHI).

Bahwa sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami dan isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat (Pasal 50 ayat 3 KHI).

Apabila dalam tempo 6(enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat pada pihak ketiga ( pasal 50 ayat 4 KHI ).

Esensi pencabutan perjanjian pra nikah juga sejalan dengan ketentuan pasal 1338 KUHPer perjanjian tidak bisa dibatalkan kecuali atas dasar kesepakatan keduabelah pihak.

Perjanjian pra nikah ini berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan (Psl 29 ayat 3 UU Perkawinan)

5. Apa manfaat perjanjian pranikah bagi perempuan?

Beberapa manfaat bagi pasangan calon pengantin, khusunya wanita antara lain;

- Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.

- Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.

- Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.

- Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam RT, bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.

- Untuk isteri yang ingin mendirikan PT maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

Kesimpulannya :

Perjanjian pranikah tidaklah seburuk yang kita duga, sebab jika kita bisa terlusuri lebih jauh ternyata cukup banyak manfaat yang bisa didapat terutama pagi pasangan yang membutuhkannya dan terutama anak-anak.

Dalam pembuatan perjanjian pranikah, masing masing pihak saling terbuka,tentang maksud dan tujuan perjanjian pranikah, berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang perlu ditutup-tutupi, sehingga perasaan salah satu pihak merasa dirugikan tidak terjadi karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.52 0 komentar
Label: Perkawinan
Jumat, 23 April 2010
Perkawinan Beda Agama di Indonesia
I. PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga dalam hal ini Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pada pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Landasan hukum agama dalam melaksanakan sebuah perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam UU No. 1 Tahun 1974, sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama. Hal ini berarti juga bahwa hukum agama menyatakan perkawinan tidak boleh, maka tidak boleh pula menurut hukum negara. Jadi dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada ketentuan agama.
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah dan hukum yang sangat penting bagi seseorang. Hal ini berarti menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan antar agama tidak diinginkan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata perkawinan antar agama masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya. Banyak kasus-kasus yang terjadi didalam masyarakat, seperti perkawinan antara artis Jamal Mirdad dengan Lydia Kandau, Katon Bagaskara dengan Ira Wibowo, Yuni Shara dengan Henri Siahaan, Adi Subono dengan Chrisye, Ari Sihasale dengan Nia Zulkarnaen, Dedi Kobusher dengan Kalina, Frans dengan Amara, Sonny Lauwany dengan Cornelia Agatha, dan masih banyak lagi.
Perkawinan antar agama yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, seharusnya tidak terjadi jika dalam hal ini negara atau pemerintah secara tegas melarangnya dan menghilangkan sikap mendua dalam mengatur dan melaksanakan suatu perkawinan bagi rakyatnya. Sikap ambivalensi pemerintah dalam perkawinan beda agama ini terlihat dalam praktek bila tidak dapat diterima oleh Kantor Urusan Agama, dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil dan menganggap sah perkawinan berbeda agama yang dilakukan diluar negeri.
Dari kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat terhadap perkawinan berbeda agama, menurut aturan perundang-undangan itu sebenarnya tidak dikehendaki. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka penulis mencoba memberikan pendapat tentang Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 berarti undang-undang ini merupakan Undang-undang Perkawinan Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.
Dalam pasal 66 UU No 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.
Dengan demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah :
a. Buku I KUH Perdata
b. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
c. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
d. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1/1974
e. Instruksi Presiden Np. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
A. Pengertian Perkawinan
Menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. Ali Afandi mengatakan bahwa “perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan”. Dan menurut Scholten perkawinan adalah ”hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara”.
Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Jadi perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
B. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan
a. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.
b. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
c. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.
d. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu.
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. Perkawinan Campuran
Dalam pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan campuran adalah antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena beda warga negara dan salah satu warga negaranya adalah warga negara Indonesia.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalan perkawinan campur adalah perkawinan dilakukan di wilayah hukum Indonesia dan masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaaan kewarganegaraan, yang salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
Dan syarat-syarat perkawinan campuran pada pasal pasal 59 ayat 2 UU No. 1/1974, dari pasal ini menunjukan prinsip Lex loci actus yaitu menunjuk dimana perbuatan hukum tersebut dilangsungkan. Hal ini berarti perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut hukum perkawinan Indonesia.
D. Perkawinan di Luar Negeri
Menurut pasal 83 KUHPerdata, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warga negara Indonesia dan dengan warga negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (pasal 84 KUHPerdata).
Pada pasal 56 UU No. 1/1974 mengatur perkawinan di luar negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar UU ini.
Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
E. Perkawinan Menurut Hukum Agama
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh calon pasangan yang akan melaksanakan pernikahan. Kedua pasangan suami isteri tersebut menganut agama yang sama. Jika antara keduanya menganut agama yang berlainan, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali apabila salah satunya menganut agama calon lainnya tersebut.
III. PEMBAHASAN
A. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
KHI tersebut selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
B. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1/1974.
C. Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama
Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No. 1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut, sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
IV.PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas, dengan ini penulis kemukakan beberapa hal sebagai kesimpulan, sebagai berikut :
1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan perkawinan tersebut di luar negeri.

B. Saran
Bahwa dengan ketidak tegasan pemerintah dalam mengatur perkawinan beda agama sebagaimana tidak adanya aturan tersebut pada UU No.1/1974, maka bersama ini kami sarankan bahwa :
a. Perlu rumusan ulang atau revisi tentang perkawinan antar agama, karena dalam UU No. 1/1974 Tentang Hukum Perkawinan belum jelas dan tuntas dalam mengatur perkawinan antar agama.
b. Dalam revisi terhadap Undang-undang Perkawinan perlu kejelasan tentang status hukum bagi mereka yang ingin melakukan perkawinan antar agama.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 06.04 0 komentar
Label: Perkawinan
Rabu, 21 April 2010
Perceraian Dalam Putusa Verstek
Dalam persidangan perceraian, tidak tertutup kemungkinan ketidakhadiran pihak tergugat meskipun ia telah dipanggil secara patut menurut undang-undang dimana pemanggilan tersebut dilakukan oleh jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan. Undang-undang mensyaratkan pemanggilan para pihak untuk bersidang dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pemanggilan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam pasal 126 – 127 HIR (Herziene Indonesisch Reglement / Reglemen Indonesia Baru -RIB) :

“ …., Pengadilan Negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, dapat memerintahkan supaya pihak yang tidak hadir dipanggil pada kedua kali datang menghadap pada hari persidangan yang datang, yang diberitahukan oleh ketua kepada yang hadir, untuk siapa pemberitahuan ini berlaku seperti panggilan. Jika tergugat tidak menghadap dan juga tidak menyuruh orang lain hadir selaku wakilnya, maka pemeriksaan perkara diundur sampai ke hari persidangan lain, sedapat mungkin jangan lama.”

Jika setelah melewati 3 (tiga) kali pemanggilan ternyata tergugat tidak hadir maka jatuhlah bagi pihak yang tidak hadir tersebut putusan verstek. Putusan Verstek adalah putusan hakim yang bersifat declaratoir (op tegenspraak) tentang ketidakhadiran tergugat meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Terhadap kondisi verstek ini, tuntutan penggugat tidak berarti serta merta akan dikabulkan seluruhnya. Perkara tetap diperiksa menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 125 HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugatan harus memenuhi syarat-syarat seperti petitum tidak melawan hukum dan memiliki cukup alasan.

Permasalahannya, tenggang waktu sejak putusan cerai dibacakan oleh hakim sampai dengan juru sita pengadilan melakukan pemberitahuan putusan tersebut terkadang memakan waktu yang terlalu lama. Bisa jadi putusan dibacakan awal bulan November 2008 tetapi pemberitahuan putusan dilakukan baru pada 1 Desember 2009. Kalau ditanya kepada juru sita yang bersangkutan maka ada berbagai macam alasan, entah itu putusan belum ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan, putusan belum selesai diketik dan lain sebagainya. Tapi karena hukum acara telah mengatur demikian maka penggugat cerai harus tetap sabar.

Implikasi hukum dari putusan verstek dalam perceraian adalah menyampingkan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan. Perceraian dengan putusan verstek mensyaratkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung sejak putusan perceraian itu diberitahukan kepada pihak yang verstek bukan terhitung sejak perceraian tersebut dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini sebagaiman aturan hukum Pasal 128 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa keputusan hakim yang menyatakan verstek, tidak boleh dijalankan, sebelum lewat 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan. Jadi, berdasarkan pasal 128 ayat (1) HIR seorang penggugat cerai tidak bisa langsung mendaftarkan putusan cerai tersebut kepada kantor catatan sipil dimana perceraian itu terjadi. Penggugat cerai masih harus menunggu masa pemberitahuan putusan cerainya.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.05 0 komentar
Label: Perkawinan
Kesepakatan Pasca Perceraian
Dalam kehidupan masyarakat secara umum, kesepakatan pasca perceraian mungkin tidak sepopuler dengan perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Bila perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang mengatur tentang pemisahan harta kekayaan antara calon suami -istri sebelum memasuki dunia pernikahannya maka kesepakatan pasca perceraian adalah kesepakatan yang mengatur tentang hak dan kewajiban mantan suami - istri terhadap kelangsungan terhadap biaya pendidikan dan hidup anak-anak meraka.


Pada umumnya ketika cerai dianggap merupakan jalan terbaik bagi suami - istri mereka "sedikit" melalaikan atas kewajiban-kewajiban mereka terhadap anak-anaknya. Mereka mengajukan permohon perceraian ke Pengadilan hanya memohon agar pengadilan dapat menerima permohonan cerai saja. Mereka mengabaikan tentang hak pengasuhan anak, tentang kelangsungan biaya hidup dan pendidikan anak, dll. Sayangnya pengadilan pun terkadang dalam putusannya tidak mengatur hal-hal terkait dengan akibat adanya perceraian tersebut. Pengadilan umumnya hanya menjatuhkan putusan yang menyangkut permohonan si penggugat.


Karena putusan Pengadilan mengenai perceraian tidak mengatur hal-hal teknis yang menyangkut pasca perceraian maka sudah seharusnya pasangan suami istri yang bercerai memikirkan hal tersebut. Dalam hal ini tentunya diperlukan pemahaman dan kedewasaan berpikir. Jangan pernah berpikir dalam konteks "menang-kalah", sudah seharusnya berpikir untuk kedepan mengingat bahwa akibat perceraian yang paling menderita adalah sang anak - anak.


Dalam praktek hukum saat ini, kesepakatan pasca perceraian dapat diinisiasi oleh pasangan suami istri itu sendiri, kuasa hukum dan atau melalui bantuan hakim mediator. Ada baiknya kesepakatan pasca perceraian dibuat sebelum memasukkan permohonan cerai talak ke pengadilan. Hal ini perlu dilakukan agar proses sidang permohonan tersebut berjalan cepat dan tidak perlu melewati tahapan mediasi yang panjang.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.03 0 komentar
Label: Perkawinan
Komitmen dalam Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). Demikian prinsip perkawinan yang diajarkan dalam hukum perkawinan.

Karena dalam perkawinan sesungguhnya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal maka sudah seharusnya diantara suami - istri ada saling pengertian tentang posisi dan perannya masing-masing. Tidak perlu ada komitmen yang harus disepakati diantara suami istri karena jika ada komitmen yang harus disepakati dalam kehidupan rumah tangga, niscaya komitmen tersebutlah yang akan menjadi titik perselisihan dan pertengkaran. Komitmen dalam rumah tangga memang perlu dan memang seharusnya ada, tapi cukup dipegang oleh pihak yang menginginkan komitmen itu sendiri. Misal, suami memiliki komitmen “A” dalam membina rumah tangganya maka sudah seharusnya komitmen tersebut dipegang oleh suami itu sendiri. Tidak perlu komitmen tersebut diarahkan untuk menjadi komitmen bersama dengan si - istri.

Dalam perkawinan tidak pernah akan ada proses penyatuan “sifat” seorang pria dengan seorang wanita karena jauh sebelum terikat dalam suatu perkawinan, sifat seorang telah terbentuk sejak orang tersebut lahir sampai ajalnya nanti. Yang bisa dilakukan dalam perkawinan adalah proses “pengenalan” antara dua sifat pria dan wanita. Dari proses pengenalan tersebutlah kelak diharapkan dapat membentuk “sikap dan pandangan” seorang pria dan wanita tentang perkawinan.

Proses pengenalan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam perkawinan tidak pernah dapat diukur dan atau ditetapkan dalam suatu waktu. Proses pengenalan tersebut akan terus ada sejalan dengan usia perkawinan itu sendiri. Bahwa kemudian dalam proses pengenalan itu ada perselisihan dan pertengkaran maka hal itu adalah hal yang wajar. “Man from mars, women from venus”. Perselisihan dan pertengkaran tersebut jangan dijadikan sebagai sebagai alasan pembenaran untuk perceraian. Jadikan perselisihan dan pertengkaran tersebut sebagai bagian dari pengenalan lebih dalam suatu pihak kepada pihak yang lain. “Take easy and easygoing”. Ambil cara penyelesaian dan lakukan segera mungkin penyelesaiannya yang paling mudah, gampang atas pertengkaran dan perselisihan tersebut.

Nb. Thanks to J and N ... God Bless in your familly
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.03 0 komentar
Label: Perkawinan
Penculikan dan Penyekapan oleh Orang Tua Kandung
Usai menjalani proses persidangan cerai, terkadang masih ada suatu permasalahan yang masih menyelimuti hubungan orang tua dengan anak. Masalah itu adalah masalah perebutan hak asuh anak. Perebutan hak asuh anak terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan, baik dalam hal hak asuh anak yang ditetapkan melalui putusan Pengadilan jatuh pada salah satu orang tua maupun dalam hal putusan Pengadilan menetapkan hak asuh anak dilakukan secara bersama-sama oleh kedua orang tua.

Atas nama dan atas kepentingan anak pula, mereka, kedua orang tua dapat saling mengklaim satu sama lain seperti melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, telah menelantarkan si anak dan sebagainya. Dari saling tuduh menuduh tidak becus mengurus anak, cegah mencegah kunjungan salah satu orangtua, pembatasan waktu bersama sampai yang lebih parah yakni saling mempengaruhi pola pikir dan psikologis anak tentang perilaku buruk ayah/ ibunya, satu sama lain berupaya agar si anak berada dalam perlindungannya. Terkadang, kekeruhan perebutan hak asuh anak tersebut berakhir pada upaya penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan salah satu orangtuanya. Dengan dalih untuk kepentingan si anak, salah satu orang tua sepertinya menganggap sah upaya penculikan dan penyekapan anak tersebut. Mereka pun mengklaim bahwa hukum tidak dapat menyatakan mereka sebagai penculik karena yang diculik adalah anaknya sendiri dan pelakunya adalah orangtuanya sendiri. Benarkah demikian adanya ?

Dalam penculikan dan penyekapan si anak yang dilakukan oleh salah satu orangtua kandung si anak, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai aparatur Pengadilan terkesan terlalu bersikap hati-hati (atau tepatnya bersikap bingung) untuk menindak pelakunya. Kalaupun dapat memprosesnya, pada akhirnya malah berujung agar salah satu orangtua maupun kedua orangtua kandung mau berdamai. Upaya perdamaian dalam konflik perebutan hak asuh anak tentu merupakan upaya yang paling praktis dan mudah dilakukan tetapi tidak menyentuh subtansi hukum yang ada yakni kepentingan si anak. Yang berdamai dalam konflik perebutan hak asuh anak adalah kedua orang tua si kandung, bukan si anak kandung dengan kedua orangtua kandungnya !

Berdasarkan uraian di atas, adakah aturan hukum dapat menyelesaikan konflik perebutan hak asuh anak ?

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas seperti nondiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan terhadap pendapat anak. Dengan adanya konflik perebutan hak asuh yang dilakukan oleh kedua orangtua kandungnya, tentunya konflik tersebut telah merusak kepentingan dan perkembangan hidup si anak.

Ditegaskan, dalam Pasal 1 Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Artinya, berdasarkan UU Perlindungan Anak, dalam kondisi konflik perebutan hak asuh anak, terlebih adanya upaya penculikan dan penyekapan anak oleh orangtuanya sendiri sebagai pelakunya dimana pada akhirnya berimbas pada terganggunya kepentingan si Anak, pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian maupun Pengadilan, dapat bertindak untuk memproses salah satu atau kedua orangtua si anak secara hukum. Bukan malah berupaya mendamaikan kedua orangtua. Pihak berwajib harus tegas dan konsisten menerapkan UU Perlindungan Anak mengingat hak anak juga merupakan bagian dari hak asasi manusia. Jika dalam konflik perebutan hak asuh anak, pihak berwajib hanya dan selalu melulu mengupayakan perdamaian bagi si kedua orangtua, tentunya kita patut mempertanyakan, apakah UU Perlindungan Anak hanya aturan hukum yang bersifat aksesoris belaka ?

Pasal 14 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. Dalam penjelasannya, dikatakan bahwa pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 14 UU Perlindungan Anak tersebut tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya. Berpijak dari Pasal inilah seharusnya Kepolisian maupun Pengadilan dapat bertindak tegas terhadap orangtua kandung yang melakukan penculikan dan penyekapan terhadap anak kandungnya sendiri. Jika tidak bisa bersikap tegas, mungkin aparatur penegak hukum harus ditatar ulang kembali tentang hak-hak anak.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.02 0 komentar
Label: Perkawinan
Matinya Hak Suami atau Isteri dalam Harta Bersama
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Makna yang dapat ditarik dari ketentuan pasal tersebut adalah sepanjang dalam ikatan perkawinan tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (perjanjian harta terpisah), suami atau istri tidak dibenarkan secara hukum melakukan perbuatan hukum mengalihkan hak kepemilikannya dalam bentuk apapun. Jika ketentuan pasal di atas diabaikan, maka tindakan atau perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum yang tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan hukum dimaksud dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Harta Bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Dalam ayat (2)-nya dikatakan, bahwa Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dari klausul yang diatur Pasal 35 tersebut dapat diartikan bahwa sejak dimulainya tali perkawinan dan selama perkawinan berlangsung, secara hukum, berlaku percampuran harta kekayaan suami dan istri, baik harta bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian ada. Adapun kedudukan harta bawaan yang merupakan perolehan dari pewarisan atau hibah tetap berada dibawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang suami istri dimaksud tidak mengaturnya secara tegas.

Dari pengertian Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimaksud yang sering menjadi masalah adalah ketika harta bawaan tersebut dijual dimana hasil penjualannya dibelikan suatu barang yang kemudian atas barang tersebut tercampur dalam harta bersama, apakah hukum menganggap barang tersebut sebagai harta bersama dalam perkawinan ? Menjawab permasalahan dimaksud pada akhirnya ditemukan suatu pertanyaan, apakah dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian pemisahan harta ? Jika memang ada perjanjian pemisahan harta maka barang tersebut tetap berada pada penguasaan masing-masing pihak (suami atau istri). Jika ternyata tidak ada maka barang tersebut dianggap sebagai harta bersama dalam perkawinan.

Klausul dalam pasal 35 dan pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama dan harta bawaan dalam prakteknya memang memberatkan bagi suami atau istri untuk menikmati hak milik atas harta yang jelas – jelas merupakan hasil perolehannya sendiri. Ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut tentunya dapat merugikan hak-hak suami atau istri yang beritikad baik atas harta bersama karena pada umumnya dalam suatu perkawinan, harta yang diperoleh melalui usaha dan jerih payahnya suami atau istri dimasukkan begitu saja dalam perkawinannya. Kebanyakan, entah itu karena norma ketimuran atau memang didasarkan pada sifat untuk mengagungkan tali perkawinan, mereka (suami – istri) beranggapan tabu untuk membicarakan pemisahan harta yang diperoleh atas usaha dan jerih payah pasangannya. Mereka memahami jika dalam perkawinan terdapat perjanjian mengenai pemisahan harta maka sesungguhnya mereka tidak percaya dengan pasangan hidupnya.

Kembali pada konteks tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri yang harus mendapat persetujuan suami istri tersebut dimana tanpa adanya persetujuan dapat mengakibatkan batalnya perbuatan hukum suami atau istri terhadap harta bersama, sedikit banyaknya telah memperangkap dan mematikan hak-hak kenikmatan suami atau istri terhadap harta yang diperolehnya. Jika dikaitkan dengan ketentuan hak milik sebagaimana diatur Pasal 570 KUHPerdata, jelas dan tegas ketentuan klausul dalam pasal 35 dan pasal 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang harta bersama dan harta bawaan sangat bertentangan. Pasal 570 KUHPerdata menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.01 0 komentar
Label: Perkawinan
Hak Hak Isteri dalam Pernikaan Siri
Membahas tentang pernikahan siri mungkin akan berujung pada penjelasan akibat dari pernikahan itu sendiri dimana secara tegas dan jelas menyatakan tidak adanya kepastian hukum atas status serta hak si Istri. Ini karena perkawinan tersebut tidak diakui oleh hukum negara, meskipun secara agama dianggap sah. Efek lain dari perkawinan siri tentu saja adalah masalah hak anak dari perkawinan tersebut.

Menurut saya, sepertinya masyarakat salah persepsi tentang hak anak hasil perkawinan siri. Di masyarakat, secara awam seakan-akan telah men-judge bahwa anak hasi perkawinan siri tidak memiliki status yang jelas. Ini tentu saja tidak benar. Hukum tetap meng-akomodir tentang hak-hak anak hasil perkawinan siri. Faktanya, memang kerap ditemukan suami yang mengabaikan hak-hak anak hasil perkawinan siri. Dengan dalih dan argumentasi yang NORAK, umumnya mereka berdalih perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi di pencatatan perkawinan dan asal-usul anak tidak dapat dibuktikan karena tidak adanya akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Ingat, perkawinan siri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan dari si anak itu sendiri.

Atas dasar perlindungan kepentingan dan hak anak, istri dalam perkawinan siri dapat menuntut pertanggungjawaban si suami. Pasal 13 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK pada pokoknya menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. penelantaran;
4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. ketidakadilan; dan
6. perlakuan salah lainnya.

Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud di atas, maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Bagaimana dengan pembuktian identitas si anak ? meskipun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak mensyaratkan adanya akte kelahiran dalam pembuktian asal-usul anak, hal tersebut tidaklah mutlak. Beban pembuktian asal-usul dan identitas anak hasil perkawinan siri terletak pada si Ibu dan mereka-mereka yang mengetahui persis adanya perkawinan siri antara si Ibu dan si Bapak anak tersebut. Akan lebih baik dan akurat, jika bisa membuktikan adanya hubungan darah antara si anak dengan orangtuanya melalui uji DNA. (tapi ini tidak disaran, mengingat biayanya yang sangat mahal).
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 00.51 0 komentar
Label: Perkawinan
Prosedur Perceraian PNS
Prosedur perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut :

Pasal 3 :

(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai Tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;
(3) Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.

Dalam pasal 5-nya, ditegaskan bahwa izin tersebut harus diajukan kepada Pejabat melalui saluran tertulis. Adapun pejabat yang dimaksud adalah pimpinan instansi dimana Pegawai Negeri Sipil tersebut bekerja. Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh Pejabat. Selain itu, izin cerai juga tidak diberikan apabila alasan perceraian tersebut terdapat hal-hal sebagai berikut :

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.

Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengatur tentang akibat perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yakni sebagai berikut :

(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah dari gajinya.
(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
(5) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah, dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya
(7) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia kawin lagi.

Ketentuan Prosedur perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 selain berlaku bagi pegawai negeri sipil, berlaku pula bagi pegawai yang dipersamakan dengan PNS yakni :

a. Pegawai Bulanan di samping pensiun;
b. Pegawai Bank milik Negara;
c. Pegawai Badan Usaha milik Negara;
d. Pegawai Bank milik Daerah;
e. Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
f. Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa;
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 00.42 0 komentar
Label: Acara Perdata, Perkawinan
Prosedur Pengakuan Anak Diluar Nikah
Banyak pengertian dari istilah “anak luar nikah” dalam aturan hukum yang berlaku. Beberapa aturan hukum yang menguraikan tentang istilah “anak luar nikah” adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang ini tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan diluar pernikahan tersebut. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

a. Anak luar nikah dalam arti luas adalah anak luar pernikahan karena perzinahan dan sumbang.

Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat pernikahan dengan orang lain sementara Anak Sumbang adalah Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.

Sebagaimana kita ketahui, Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melarang Perkawinan antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.

b. Anak luar nikah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah.

Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak ada akibat hukum nya (Pasal 288 KUHPerdata). Kedudukan anak itu menyedihkan. Namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri.

Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidak absahan pada anak luar nikah tersebut. Konsekwensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi ayah tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak tidak sah. Sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi kewajibanya yang dipandang menjadi hak anak bila statusnya sebagai anak tidak sah. Hak anak dari kewajiban ayahnya yang merupakan hubungan keperdataan itu, biasanya bersifat material.

Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya. Pengakuan terhadap anak di luar nikah dapat dilakukan dengan suatu akta otentik, bila belum diadakan dalam akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan pernikahan. Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil, dan didaftarkan dalam daftar kelahiran menurut hari penandatanganan. Pengakuan itu harus dicantumkan pada margin akta kelahirannya, bila akta itu ada. Bila pengakuan anak itu dilakukan dengan akta otentik lain, tiap-tiap orang yang berkepentingan berhak minta agar hal itu dicantumkan pada margin akta kelahirannya. Bagaimanapun kelalaian mencatatkan pengakuan pada margin akta kelahiran itu tidak boleh dipergunakan untuk membantah kedudukan yang telah diperoleh anak yang diakui itu.

Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menegaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
2. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan pernikahan yang sah.
3. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.

Adapun syarat-syarat dokumen yang dibutuhkan dalam Akta Pengakuan Anak, umumnya Kantor Catatan Sipil membutuhkan dokumen-dokumen sebagai berikut :

-Surat pernyataan pengakuan si Ayah yang diketahui oleh Ibunya si anak.
-KTP dan Kartu Keluarga si Ayah dan si Ibu.
-KTP dan Kartu Keluarga para saksi (minimal 2 orang dari masing-masing keluarga si Ayah dan si Ibu).
-Akta kelahiran si Anak luar Nikah dan Akta kelahiran si Ayah dan si Ibu.

Dalam hal permohonan Akta pengakuan Anak Luar Nikah dilakukan melebihi 30 hari setelah tanggal pengakuan si Ayah terhadap anak, maka Catatan Sipil dapat meminta terlebih dahulu adanya penetapan Pengadilan Negeri.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 00.40 0 komentar
Label: Perkawinan
Polemik Hak Asuh Anak
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan para pengunjung blog saya terkait dengan polemik hak asuh anak

1. Sebenarnya dalam hukum, pertimbangan apa saja yang digunakan dalam memutuskan hak asuh anak? Apa pasal-pasal yang digunakan, dan apakah ada pertimbangan lain di luar aturan baku yang turut digunakan hakim dalam memutuskan hak asuh ini?

Sebelum menjelaskan pertanyaan ada baiknya diseragamkan tentang istilah “hak asuh anak” dengan istilah “KUASA ASUH”. Istilah “hak asuh anak” secara hukum sesungguhnya merujuk pada pengertian kekuasaan seseorang atau lembaga, berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, untuk untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Sedangkan pengertian istilah “kuasa asuh” adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

Dari pengertian istilah diatas, kiranya memang sulit untuk memahami dan membedakan kedua istilah tersebut tetapi hal ini perlu dijelaskan karena kalau kita bicara hak asuh anak, itu artinya kita sedang berbicara tentang anak terlantar dalam pengertian hak seorang anak yang tidak memiliki jaminan untuk tumbuh kembang secara wajar karena orang tuanya tidak mampu, baik secara ekonomi dan atau secara psikologis. Dalam perceraian, yang kerap menjadi masalah bukan “perebutan hak asuh anak” tetapi masalah “perebutan kuasa asuh anak”.

Dalam memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak, Ayah atau Ibu. Jadi tidak heran banyak permasalahan dalam kasus “perebutan kuasa asuh anak”, baik didalam persidangan maupun diluar persidangan. Kalaupun ada, satu-satunya aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak ada dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan :

“Dalam hal terjadi perceraian :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Singkat kata, diletakkan pada kebijakan hakim dan sejauh mana hakim dapat mempertimbangkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan.

2. Dapatkah dijelaskan mengenai aturan dasar dan prinsip-prinsip dalam pembagian hak asuh anak, dalam kasus perceraian yang paling umum terjadi? (Misalnya, pembagian waktu asuh dan prosedurnya)

Dalam memutuskan “kuasa asuh anak” dalam perkara perceraian, aturan hukum yang dipakai adalah :

* Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut

* Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : (a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

* Pasal 30 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

* Pasal 31 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

Pengajuan permohonan kuasa asuh anak dapat diajukan sekaligus dalam permohonan cerai atau diajukan terpisah dengan permohonan cerai kepada Pengadilan Negeri/ Agama. Perlu diingat, berdasarkan aturan hukumnya, Penetapan pengadilan tentang kuasa asuh anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya. Hal ini sebagaimana dimaksud ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :

* Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

* Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :

Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan
c. batas waktu pencabutan

Oleh karena penetapan pengadilan tidak memutus hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya dan atau tidak menghilangkan kewajiban orang tua kepada si anak maka tidak ada alasan salah satu orang tua menolak kunjungan orang tua yang lain untuk bertemu dengan si anak. Praktek hukumnya, pembagian waktu berkunjung atau waktu bercengkrama orang tua dan si anak dilakukan berdasarkan kesepakatan diantara kedua orang tua.

3. Ketika seorang ibu tidak mendapatkan hak asuh anaknya, apa yang kira-kira dapat ia lakukan untuk banding? Dasar apakah yang harus dia usahakan dalam mengajukan ketidaksetujuannya terhadap keputusan hakim?

Banding adalah upaya hukum atas ketidakpuasan salah satu pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Perlu dipahami, banding bukan peradilan perulangan. Pemeriksaan perkara pada Peradilan tingkat banding, bukan pemeriksaan ulang atas perkara. Pemeriksaan perkara yang dilakukan Peradilan tingkat banding terbatas ada tidaknya kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada tidaknya kurang lengkap pemeriksaan yang dilakukan pengadilan tingkat pertama.

Jadi sesuai dengan kewenangan Pemeriksaan perkara pada Peradilan tingkat banding, maka ketika seorang ibu yang tidak mendapatkan “kuasa asuh anak”, ingin mengajukan banding seharusnya terlebih dahulu memahami bagian mana dari pertimbangan hakim pengadilan tingkat pertama yang tidak memperhatikan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.

4. Biasanya faktor apa saja yang menyebabkan seorang ibu kalah di pengadilan terkait perebutan hak asuh anak?

Seperti yang dijelaskan dalam jawaban No. 1, sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak atas kuasa asuh anak. Karena tiadanya aturan yang jelas maka pada umumnya, secara baku, hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Jadi kunci menang kalahnya seorang ibu dalam perebutan “kuasa asuh anak”, asumsi saya berdasarkan pengalaman praktik beracara, kurangnya argumentasi hukum si ibu untuk menyakinkan hakim tentang pola pengasuhan yang dilakukannya kepada si anak termasuk dalam hal ini perilaku dari orang tua tersebut (seperti si Ibu tidak bekerja sampai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan kesibukkan diluar rumah, dsb) serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.

5. Bila belum ada putusan hukum, namun seorang ayah melarang anak untuk bertemu ibunya, apa ada sangsi hukumnya (pasal berapa dan bagaimana implementasinya)?

Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan sebagai berikut:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Dikaitkan dengan pertanyaan, bila belum ada putusan hukum, namun seorang ayah melarang anak untuk bertemu ibunya, jelas dan tegas tindakan larangan tersebut dapat dianggap sebgai bentuk kekerasan terhadap mental anak dan larangan si ayah tersebut dapat diindikasikan bahwa si ayah selaku orang tua telah mengabaikan dengan sengaja kewajibannya dan larangan tersebut juga tergolong sebagai perbuatan eksploitasi anak untuk memperoleh keuntungan pribadi si ayah karena dengan demikian secara tidak langsung telah memutus hubungan anak dengan ibunya.

Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf (c) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat penjelasan sebagai berikut :

“Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya”.

Tindakan seorang ayah melarang anak untuk bertemu ibunya jelas merupakan Perlakuan penelantaran anak karena dengan tindakan larangan tersebut si ayah telah mengabaikan kepentingan si anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril. Untuk itu, si ayah dapat dijerat dengan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Sayangnya, dalam praktik hukumnya, upaya orang tua melaporkan tindakan pelarangan anak untuk bertemu dengn orang tuanya kepada kepolisian banyak mendapatkan hambatan dari pihak kepolisian. Dengan alasan bahwa itu adalah urusan rumah tangga, kepolisian tidak merespon laporan tersebut atau jika ada respon positif, permasalahan tersebut banyak diselesaikan secara kekeluargaan.

6. Bila hal tersebut terjadi, usaha apa yang dapat dilakukan seorang ibu?

Tentunya melaporkan masalah tersebut kepihak kepolisian terdekat yang wilayahnya mencakup keberadaan si anak.

7. Bila sudah ada putusan hukum yang mengatur pembagian waktu asuh bagi ayah maupun ibu, tapi si ibu tetap tidak diperbolehkan bertemu anaknya, bagaimana prosedur untuk meminta perlindungan hukum? Usaha apa yang dapat dilakukan?

Pasal 14 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir”.

Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa, “Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya”. Jadi, meskipun sudah ada ketentuan hukumnya yang menyatakan salah satu orang tua sebagai pemegang “kuasa asuh anak”, tetap tidak ada alasan untuk melarang orang tua lain bertemu dengan anaknya.

Bahwa kemudian tetap ada larangan, tentunya pihak yang melarang tersebut dapat diadukan ke pihak berwajib berdasarkan ketentuan-ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (lihat jawaban soal No. 7)

8. Faktor apa saja yang biasanya dipertimbangkan dalam mengatur masalah limitasi waktu asuh?

Sampai saat ini, berdasarkan pengalaman beracara di pengadilan atas kasus perebutan kuasa asuh anak, masalah limitasi waktu asuh tidak menjadi prioritas hakim untuk memutus permohonan kuasa asuh anak. Umumnya Pengadilan hanya menetapkan bahwa salah satu orang tua sebagai pemegang kuasa asuh anak sampai si anak mencapai usia dewasa. Jadi saya belum menemukan masalah limitasi waktu asuh menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam kasus perebutan kuasa asuh anak.

9. Bagaimana prosedurnya bila ingin mengajukan keberatan terhadap keputusan limitasi waktu tsb?

Bahwa memang jika ada keputusan Pengadilan tentang limitasi waktu asuh dan ada pihak yang merasa keberatan dan atau merasa dirugikan, maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding/kasasi/ permohonan peninjauan kembali.

10. Apakah hak aspirasi anak dapat berpengaruh terhadap putusan hak asuh anak, dan bilamana terjadi?

Konsepsi perlindungan anak yang sebagaimana yang diatur UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif asas-asas :

a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Jadi dalam perkara hukum yang menyangkut kepentingan anak, Hakim sebelum memutuskan siapa yang berhak atas “kuasa asuh anak” dapat meminta pendapat dari si anak. Hal ini juga tidak terlepas dari kewajiban Hakim untuk memutus suatu perkara dengan seadil-adilnya dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan.

Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan :

"Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan"

Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU No. 23 Tahun 2002 diatas maka jelas dan tegas Hakim dapat meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”.

Untuk meminta pendapat dari si anak dalam perkara hukum “kuasa asuh anak”, tentunya Hakim harus mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia si anak.

11. Adakah kasus tertentu di mana seorang ibu memang tidak diperkenankan bertemu anaknya? Situasi dan kondisi apa saja yang biasanya dapat menyebakan hal itu?

Sepanjang berkarier sebagai Advokat, saya banyak dan kerap menemukan masalah seorang ibu memang tidak diperkenankan bertemu anaknya. Situasi dan kondisi yang biasanya menyebabkan hal itu, umumnya timbul dari kedua belah pihak (ayah atau ibu) dimana satu sama lain tidak ada lagi rasa empati antara satu sama lain terkait dengan kepentingan si anak. Kedua belah pihak (ayah atau ibu), hanya bicara dan bersitegang masalah kepentingan anak berdasarkan versinya masing-masing, tidak sekalipun bicara kepentingan anak berdasarkan versinya si anak.

Yang lebih menyakitkan lagi, kerap ditemukan upaya-upaya “pengaruh mempengaruhi” diantara kedua belah pihak (ayah atau ibu) dengan menceritakan kejelekkan masing-masing pihak kepada si anak sehingga tertanam di pemikairan anak citra buruk salah satu orang tuanya.

12. Apakah Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering digunakan dalam peradilan hak asuh anak? Pada kasus seperti saja biasanya KHI dipergunakan?

Berdasarkan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 jo. Keputusan Mentri Agama No. 154 Tahun 1991 Tentang Pelaksaan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, kompilasi hukum Islam adalah salah satu dasar hukum selain aturan hukum yang lain bagi Pengadilan Agama memutus perkara hukum diantara orang-orang yang beragama Islam. Jadi daya berlakunya kompilasi hukum Islam hanya terbatas di Pengadilan Agama.

Menjawab pertanyaan, Apakah Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering digunakan dalam peradilan hak asuh anak ? dapat dipastikan jawabannya adalah, Ya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sering digunakan dalam peradilan hak asuh anak mengingat Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah satu-satunya aturan yang jelas dan tegas bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak karena ada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan :

“Dalam hal terjadi perceraian :

a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

13. Dapatkah anda jelaskan mengenai konsep Hak Adonah dalam KHI? Apakah ini dapat membantu seorang ibu mendapatkan hak asuh anaknya?

Hak hadhonah adalah hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Hak hadhonah ini diatur dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang memberikan hak bagi Ibu atas anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun. Konsep Hak Adonah dalam KHI sesungguhnya lebih didasarkan pada kepentingan psikologis si anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, yang pada umumnya, masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

Dengan adanya konsep Hak Adonah dalam KHI tentunya dapat membantu seorang ibu untuk mendapatkan hak asuh anaknya. Namun demikian ketentuan ini tidak berlaku mutlak karena dalam Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwasanya Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan. Jadi hakim harus mempertimbangkan sungguh-sungguh apakah si Ibu layak mendapatkan hak untuk mengasuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

Jadi didasarkan pengertiannya, maka konsep Hak hadhonah dalam KHI tidak jauh berbeda dengan konsep perlindungan sebaimana diatur dalam ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku umum yakni tetap harus memperhatikan perilaku dari orang tua tersebut (seperti si Ibu tdk bekerja smpai larut malam, lebih mengutamakan kedekatan kepada si anak dibandingkan kesibukkan diluar rumah, dsb) serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi.
Posted under: Divorce Effect, Sekedar Opini, tips-tr

1 komentar:

  1. Sy mau menanyakan tentang Pelaksanaan Eksekusi putusan inkrah dan permasalahannya serta solusi. Terima kasih.

    BalasHapus