Rabu, 18 Agustus 2010

PERS

Pers, kata yang identik dengan wartawan, kamera, pemberitaan, bahkan acara infotainment. Pers di Indonesia mengalami dinamika yang panjang. Mulai dari perannya sebagai corong informasi publik, alat kontrol kebijakan pemerintah, media pengaduan masyarakat, media kampanye, sarana penghimpun bantuan kemanusiaan dan lain-lain, termasuk adanya pemukulan terhadap wartawan atau sebaliknya pemberitaan pers yang mencemarkan nama baik seseorang.

Dari barbagai dinamika pers di atas, satu hal yang menarik dan selalu menjadi masalah bahkan mungkin momok yang menakutkan bagi dunia pers adalah delik pers yang katanya identik dengan upaya pengekangan kebebasan pers. Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi terhadap pers, dimana menggunakan ketentuan KUHP, padahal sudah ada UU No 40/1999 tentang Pers.


Kriminalisasi Pers

UU No 40/1999 diundangkan pada tanggal 23 September 1999. Dalam sejarah perkembangan Pers, telah terjadi beberapa kali amandemen, dimana sebelumnya ada UU No 21/1982, UU No 4/1967 dan UU No 11/1966.

Sebagai negara hukum, setiap orang harus taat hukum, termasuk kalangan pers. Artinya kalangan pers harus bekerja profesional, obyektif, taat kode etik profesi dan bertanggungjawab terhadap setiap informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Apabila pemberitaannya tidak seimbang, obyektif dan berdasarkan fakta, serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan lain-lain, tentunya harus diproses, baik melalui jalur hukum maupun di luar jalur hukum, tergantung sarana mana yang paling efektif dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.

Adanya UU Pers tentunya bukan bermaksud untuk mengkriminalisasikan pers atau lebih jauh ingin mengekang kebebasan pers. Justru UU Pers tersebut sangat menjamin adanya kebebasan pers, namun harus diiringi dengan obyektivitas, independensi dan tanggungjawab dalam segala pemberitaannya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Walaupun ini sulit, karena pemberitaan tidak selalu berdampak positif terhadap semua pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Namun kalangan pers tidak perlu cemas, karena masyarakat akan sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang tinggi apabila yang media ungkap memang sebuah fakta yang harus diketahui publik, dari nara sumber yang tepat dan obyektif dan dilengkapi dengan data yang akurat.

Dalam UU No 40/1999 diatur ketentuan pidana dalam Bab VIII Pasal 18, yaitu Pasal 18 ayat (1) : Setiap orang yang menghambat/menghalangi kebebasan pers (seperti : penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran) dan menghambat/menghalangi pelaksanaan hak pers (seperti : mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) dipidana penjara paling lama 2 tahun/denda paling banyak Rp 500.000.000; Pasal 18 ayat (2) : Perusahaan Pers yang memberikan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, tidak melayani hak jawab dan memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku; serta memuat iklan dengan meragakan wujud rokok dan atau penggunaan rokok, dipidana denda paling banyak Rp 500.000.000, dan Pasal 18 ayat (3) : Perusahaan Pers yang tidak berbentuk badan hukum Indonesia dan tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, serta penerbitan pers yang tidak menyebutkan nama dan alamat penerbitan, dipidana denda paling banyak Rp 100.000.000,-


Kelemahan Aturan

Beberapa kasus yang melibatkan kalangan pers, baik wartawan maupun institusinya lebih banyak bermuara pada perihal "pencemaran nama baik" dengan ketentuan KUHP. Akibatnya terkesan bahwa undang-undang pers tidak ada gunanya. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, media hak jawab dan hak koreksi selama ini tidak berjalan dengan optimal, sehingga jalur mediasi dengan penyelesaian "kekeluargaan" tertutup dan meja hijau menjadi satu-satunya alternatif penyelesaian. Kedua, tidak efektifnya Pasal 18 ayat (2). Dalam pasal ini diantaranya disebutkan bahwa Perusahaan Pers yang memberikan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati asas praduga tak bersalah sebenarnya memiliki makna yang identik atau termasuk didalamnya sebagai upaya pencemaran nama baik. Namun selama ini asas praduga tak bersalah lebih dimaknai sempit. Disamping itu, sanksi pidana yang lebih rendah dibandingkan dengan Pasal 310 (2) KUHP, yaitu maksimal 1 tahun 4 bulan juga menjadi alasan KUHP lebih "disukai" untuk digunakan. Menurut saya aparat penegak hukum harus dapat memisahkan mana tindak pidana pencemaran nama baik yang masuk domain KUHP dan mana yang masuk domain UU Pers. Ketika berkaitan dengan pemberitaan pers, maka hendaknya UU Pers lah yang digunakan, karena ia bersifat lebih khusus (lex specialis).

Disamping permasalahan di atas, ada beberapa kelemahan lain dari UU Pers, seperti tidak diatur tentang kualifikasi delik. Hal ini akan menimbulkan masalah yuridis. Misalnya dalam hal terjadi percobaan dan pembantuan tindak pidana. Apabila kembali ke KUHP sebagai sistem induk akan mengalami kesulitan, karena dalam KUHP ada kualifikasi delik. Kemudian UU Pers hanya mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, namun kapan korporasi/badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana tidak disebutkan dengan jelas. Selain itu, sanksi denda bagi korporasi tidak disertai dengan pedoman pemidanaan, seperti jika tidak terbayarnya denda tersebut.

Ketentuan pidana dalam UU Pers menganut sistem perumusan alternatif dan tunggal. Kedua sistem ini bersifat kaku dan imperatif, sehingga dapat menimbulkan masalah apabila diterapkan terhadap badan hukum/korporasi. Menurut penulis lebih tepat digunakan sistem alternatif-kumulatif agar dapat memberikan fleksibelitas bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat bagi pelaku, baik untuk orang maupun korporasi.

Sementara untuk jenis sanksi pidananya hanya pidana penjara dan denda, sedangkan untuk sanksi administrasi atau tindakan tidak diatur. Padahal dalam UU Pers ini, subjek tindak pidana berupa korporasi lebih banyak diatur, sementara sanksinya hanya denda tanpa ada pidana tambahan maupun sanksi administrasi. Sebenarnya bisa saja dirumuskan adanya pemberian peringatan dan penutupan perusahaan pers untuk sementara/selamanya sebagai pidana pokok dan pidana tambahannya berupa sanksi administrasi/tindakan. Perumusan ini dapat mengantisipasi apabila sanksi denda tidak dapat dibayar.

Beberapa kelemahan di atas hendaknya menjadi perhatian aparat penegak hukum, kalangan pers, masyarakat dan terutama pihak legislatif untuk dapat diperbaiki, sehingga UU Pers benar-benar efektif dan menjamin kebebasaan pers yang bertanggungjawab. Akhirnya para jurnalis, tidak perlu takut atau was-was dalam mencari, menulis dan memberitakan sebuah fakta obyektif yang menjadi informasi publik. Namun demikian, jurnalis juga harus berani bertanggungjawab apabila memang dalam melaksanakan tugas melanggar kode etik profesinya, serta pemberitaannya terbukti tidak berdasarkan fakta dan bersifat subyektif, sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.05 0 komentar
Label: Pers, Pidana
Rabu, 21 April 2010
Pemberitaa Palsu Diselesaika Damai
Mengikuti perkembangan kasus pemberitaan makelar kasus palsu yang disiarkan salah satu Televisi Nasional, rasanya penyelesaian permasalahan tersebut sangat dangkal dan sangat jauh menyentuh subtansi tujuan hukum yakni keadilan.

Diberitakan, bahwa “Masalah TV One Diselesaikan Menurut Kode Etik, Bukan Pidana” jelas hanya membuktikan bahwasanya mereka yang berlindung dibalik profesi “pers” adalah orang-orang yang kebal hukum, yang tak tersentuh oleh hukum dan dapat melecehkan hukum itu sendiri. Ini jelas tidak adil.

Kita semua pasti sudah tahu dan paham, bahwa dalam hukum ada asas yang dikenal secara luas yakni asas persamaan hukum, suatu asas hukum yang mengandung maksud bahwa setiap subjek hukum mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya. Bagaimana penerapan asas ini dalam kasus pemberitaan palsu yang dilakukan oleh TV one ?

Andrys Ronaldi yang berperan sebagai markus (palsu) dalam tayangan Tvone tersebut, diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dengan dalih melanggar Pasal 36 Ayat 5A jo Pasal 57 Huruf d UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, padahal jelas-jelas Andrys Ronaldi bukan subjek hukum yang bekerja pada lembaga penyiaran sehingga dengan demikian pasal hukum yang dijeratkan kepadanya tidak berlaku. Hal ini sebagaimana bunyi lengkap pasal 36 Ayat 5A ; “Isi siaran dilarang : bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”.

Apa yang dimaksud “siaran” dalam pasal tersebut ? Pasal 1 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjelaskan bahwa yang dimaksud Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran. Jadi Siapa yang harus bertanggung jawab atas isi siaran ? Pasal 54 UU Nomor 32 Tahun 2002 menegaskan bahwasanya Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap program yang dilaksanakan. Jadi, jika dalam suatu penyiaran terdapat isi siaran yang bersifat kebohongan yang menyesatkan maka Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran tersebut dan orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program siaran tersebutlah yang harus bertanggung jawab, bukan orang yang diminta menjadi narasumber dalam program siaran tersebut (incase, bukan tanggung jawab Andrys Ronaldi).

Bahwa oleh karena pemberitaan bohong tersebut dilakukan oleh lembaga penyiaran, menurut saya pribadi, sangat tidak pas dan tidak pada tempatnya Dewan Pers melakukan mediasi atas masalah tersebut mengingat, sekali lagi, pokok permasalahnya adalah pelanggaran isi siaran yang dilarang berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bahwa ternyata pelakunya adalah orang yang bergelut dibidang jurnalistik, tidak berarti pula rekomendasi Dewan Pers menghilangkan pertanggungjawaban hukum para pelaku sebagaimana ditentukan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Pasal 57 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menegaskan sebagai berikut :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang yang:

a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).”

Melihat ketentuan di atas, jelas, ketentuan Pasal 57 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak berlaku dan tidak ada korelasinya dengan apa yang dilakukan Andrys Ronaldi. Pasal 57 tersebut hanya pantas diterapkan dan dijeratkan kepada mereka yang mengadakan dan menyiarkan pemberitaan tersebut. Dan ini berarti, Tvone tetap harus mempertanggungjawabkan secara hukum atas pemberitaan tersebut. Dan perlu diingat, jika Andrys Ronaldi tetap dipaksakan harus diproses secara hukum sementara proses hukum bagi pelaku lainnya hanya diselesaikan secara mediasi, sekali lagi, ini hanya membuktikan bahwasanya asas persamaan hukum di negeri ini tidak berlaku bagi mereka yang bekerja dibidang jurnalistik !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar