Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:
1. The rule of authentification;
2. Hearsay rule; dan
3. The Best Evidence rule.
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem E-commerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur?unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan?pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal?hal semacam email, chatting, dan tele?conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti.
Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai bukti tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Faktor best?evidence berpegang pada hirarki jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan pihak?pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain sebagainya. Hal?hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini, pengadilan biasanya berpegang pada prinsip originalitas (mencari bukti yang asli).
Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.
Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
2. Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
3. Pasal 10
1. Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2. Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Pasal 18
1. Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
2. Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
3. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
4. Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
5. Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
5. Pasal 20
1. Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
2. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
6. Pasal 21
1. Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
2. Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
* jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
* jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
* jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
3. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
4. Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
7. Pasal 22
1. Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Pasal 30
1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
9. Pasal 46
1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya adalah :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
5. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
7. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
9. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
10. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
11. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
12. Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan dibidang Perbankan.
Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce ini.
B. Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan E-Commerce Dalam Sistem Hukum Positif Di Indonesia
Pembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada keinginan masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general preventif atau prevensi umum untuk membuat jera para calon-calon penjahat yang berniat merusak citra teknologi informasi Indonesia dimana dunia bisnis indonesia dan pergaulan bisnis internasional.
Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh karena itu aparatur penegak hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukum-hukum positif yang ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan e-commerce.
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas dikarenakan beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan khusus dari penegak hukum.
Dalam menghadapi perkembangan di masyarakat, yang didalamnya termasuk juga tenologi, RUU KUHP tampak menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3). Dalam konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih mempertahankan asas legalitas. Pada ayat (3) bunyinya : “ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang dapat dijerat dan ada yang tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang, walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim tidak boleh menolak setiap perkara yang telah masuk ke pengadilan.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera jelas bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong bahkan memberikan justifikasi untuk interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman bila menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan Hukum, hakim untuk sementara dapat melakukan interpretasi.
Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih, maka wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis yang canggih ini untuk selalu mengembangkan “bakat” kejahatannya di dunia maya khususnya kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain :
a. Pembuktian (bukti elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.
b. Perbedaan Persepsi
Perbedaan persepi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak hukum dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam hukum positif yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
c. Lemahnya penguasaan komputer
Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.
d. Sarana dan prasarana
Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum, namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan tersebut.
e. Kesulitan Menghadirkan korban
Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya sangat sulit untuk melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban sangat dibutuhkan untuk membuat sebuah berita acara pemeriksaan.
Menurut Ahmad P Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :
a. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah dimana akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
d. Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari korban kejahatan.
e. Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya adalah negara atau pemerintah.
f. Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.12 0 komentar
Label: Cyber Crime, Cyber Law
Prosedur Penyidikan Tindak Pidana Cyber Crime di Indonesia
Defenisi Penyidikan
Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1 angka 13 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam memulai penyidikan tindak pidana Polri menggunakan parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang dikaitkan dengan segi tiga pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi. Adapun rangkaian kegiatan penyidik dalam melakukan penyidikan adalah Penyelidikan, Penindakan, pemeriksaan dan penyelesaian berkas perkara.
1. Penyelidikan
Tahap penyelidikan merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana serta tahap tersulit dalam proses penyidikan mengapa demikian? Karena dalam tahap ini penyidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi serta bagaimana dan sebab - sebab tindak pidana tersebut untuk dapat menentukan bentuk laporan polisi yang akan dibuat. Informasi biasanya didapat dari NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain yang kemudian diteruskan ke Unit cybercrime/ satuan yang ditunjuk. Dalam penyelidikan kasus-kasus cybercrime yang modusnya seperti kasus carding metode yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani kejahatan narkotika terutama dalam undercover dan control delivery. Petugas setelah menerima informasi atau laporan dari Interpol atau merchant yang dirugikan melakukan koordinasi dengan pihak shipping untuk melakukan pengiriman barang. Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini adalah laporan yang masuk terjadi setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh bank dan barang sudah diterima oleh pelaku, disamping adanya kerjasama antara carder dengan karyawan shipping sehingga apabila polisi melakukan koordinasi informasi tersebut akan bocor dan pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang biasanya dicantumkan adalah palsu.
Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian. Banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, sehingga untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah sulit, belum lagi kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kode-kode digital yang membutuhkan SDM serta peralatan komputer forensik yang baik. Dalam hal kasus-kasus lain seperti situs porno maupun perjudian para pelaku melakukan hosting/ pendaftaran diluar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda dengan negara kita sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu kejahatan di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa Indonesia dan operator daripada website ada di Indonesia sehingga kita tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal dan dapat di akses dimana saja. Banyak rumor beredar yang menginformasikan adanya penjebolan bank-bank swasta secara online oleh hacker tetapi korban menutup-nutupi permasalahan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kredibilitas bank bersangkutan yang takut apabila kasus ini tersebar akan merusak kepercayaan terhadap bank tersebut oleh masyarakat. Dalam hal ini penyidik tidak dapat bertindak lebih jauh sebab untuk mengetahui arah serangan harus memeriksa server dari bank yang bersangkutan, bagaimana kita akan melakukan pemeriksaan jika kejadian tersebut disangkal oleh bank.
2. Penindakan
Penindakan kasus cybercrime sering mengalami hambatan terutama dalam penangkapan tersangka dan penyitaan barang bukti. Dalam penangkapan tersangka sering kali kita tidak dapat menentukan secara pasti siapa pelakunya karena mereka melakukannya cukup melalui komputer yang dapat dilakukan dimana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya dapat menemukan IP Address dari pelaku dan komputer yang digunakan. Hal itu akan semakin sulit apabila menggunakan warnet sebab saat ini masih jarang sekali warnet yang melakukan registrasi terhadap pengguna jasa mereka sehingga kita tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat terjadi tindak pidana. Penyitaan barang bukti banyak menemui permasalahan karena biasanya pelapor sangat lambat dalam melakukan pelaporan, hal tersebut membuat data serangan di log server sudah dihapus biasanya terjadi pada kasus deface, sehingga penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang terdapat di dalam server sebab biasanya secara otomatis server menghapus log yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini membuat penyidik tidak menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang bukti sedangkan data log statistik merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan arah datangnya serangan.
3. Pemeriksaan
Penerapan pasal-pasal yang dikenakan dalam kasus cybercrime merupakan suatu permasalahan besar yang sangat merisaukan, misalnya apabila ada hacker yang melakukan pencurian data apakah dapat ia dikenakan Pasal 362 KUHP? Pasal tersebut mengharuskan ada sebagian atau seluruhnya milik orang lain yang hilang, sedangkan data yang dicuri oleh hacker tersebut sama sekali tidak berubah. Hal tersebut baru diketahui biasanya setelah selang waktu yang cukup lama karena ada orang yang mengetahui rahasia perusahaan atau menggunakan data tersebut untuk kepentingan pribadi. Pemeriksaan terhadap saksi dan korban banyak mengalami hambatan, hal ini disebabkan karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada satupun saksi yang melihat (testimonium de auditu). Mereka hanya mengetahui setelah kejadian berlangsung karena menerima dampak dari serangan yang dilancarkan tersebut seperti tampilan yang berubah maupun tidak berfungsinya program yang ada, hal ini terjadi untuk kasus-kasus hacking. Untuk kasus carding, permasalahan yang ada adalah saksi korban kebanyakan berada di luar negeri sehingga sangat menyulitkan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan untuk dimintai keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Apakah mungkin nantinya hasil BAP dari luar negri yang dibuat oleh kepolisian setempat dapat dijadikan kelengkapan isi berkas perkara? Mungkin apabila tanda tangan digital (digital signature) sudah disahkan maka pemeriksaan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan melalui e-mail atau messanger. Internet sebagai sarana untuk melakukan penghinaan dan pelecehan sangatlah efektif sekali untuk “pembunuhan karakter”. Penyebaran gambar porno atau email yang mendiskreditkan seseorang sangatlah sering sekali terjadi. Permasalahan yang ada adalah, mereka yang menjadi korban jarang sekali mau menjadi saksi karena berbagai alasan. Apabila hanya berupa tulisan atau foto2 yang tidak terlalu vulgar penyidik tidak dapat bersikap aktif dengan langsung menangani kasus tersebut melainkan harus menunggu laporan dari mereka yang merasa dirugikan karena kasus tersebut merupakan delik aduan (pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan).
Peranan saksi ahli sangatlah besar sekali dalam memberikan keterangan pada kasus cybercrime,sebab apa yang terjadi didunia maya membutuhkan ketrampilan dan keahlian yang spesifik. Saksi ahli dalam kasus cybercrime dapat melibatkan lebih dari satu orang saksi ahli sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, misalnya dalam kasus deface, disamping saksi ahli yang menguasai desain grafis juga dibutuhkan saksi ahli yang memahami masalah jaringan serta saksi ahli yang menguasai program.
4. Penyelesaian berkas perkara
Setelah penyidikan lengkap dan dituangkan dalam bentuk berkas perkara maka permasalahan yang ada adalah masalah barang bukti karena belum samanya persepsi diantara aparat penegak hukum, barang bukti digital adalah barang bukti dalam kasus cybercrime yang belum memiliki rumusan yang jelas dalam penentuannya sebab digital evidence tidak selalu dalam bentuk fisik yang nyata. Misalnya untuk kasus pembunuhan sebuah pisau merupakan barang bukti utama dalam melakukan pembunuhan sedangkan dalam kasus cybercrime barang bukti utamanya adalah komputer tetapi komputer tersebut hanya merupakan fisiknya saja sedangkan yang utama adalah data di dalam hard disk komputer tersebut yang berbentuk file, yang apabila dibuat nyata dengan print membutuhkan banyak kertas untuk menuangkannya, apakah dapat nantinya barang bukti tersebut dalam bentuk compact disc saja, hingga saat ini belum ada Undang- Undang yang mengatur mengenai bentuk dari pada barang bukti digital (digital evidence) apabila dihadirkan sebagai barang bukti di persidangan.
5. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN
Untuk meningkatkan penanganan kejahatan cyber yang semakin hari semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi maka Polri melakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b. Sarana Prasarana
Perkembangan tehnologi yang cepat juga tidak dapat dihindari sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng-up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.11 0 komentar
Label: Acara Pidana, Cyber Crime, Cyber Law
Cyber Crime dan Penegakan Hukum Positif di Indonesia
Menjawab tuntutan dan tantangan komunikasi global lewat Internet, Undang-Undang yang diharapkan (ius konstituendum) adalah perangkat hukum yang akomodatif terhadap perkembangan serta antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif penyalahgunaan Internet dengan berbagai motivasi yang dapat menimbulkan korban-korban seperti kerugian materi dan non materi. Saat ini, Indonesia belum memiliki Undang - Undang khusus/ cyber law yang mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasuskasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain:
a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal - pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :
1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.
3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.
4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.
5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia.
6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.
7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa.
8. Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.
9. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya.
b. Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.
Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping. Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.
c. Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang- Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:
1. Akses ke jaringan telekomunikasi
2. Akses ke jasa telekomunikasi
3. Akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”
d. Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD - ROM), dan Write - Once -Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.
e. Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah engirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data– data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
f. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Selain Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.
g. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet & Transaksi Elektronik
Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.10 0 komentar
Label: Cyber Crime, Cyber Law
Hacker dan Cracker Perkembangan Cyber Crime di Indonesia
Kebutuhan dan penggunaan akan teknologi informasi yang diaplikasikan dengan Internet dalam segala bidang seperti e-banking, ecommerce,e-government, e-education dan banyak lagi telah menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan apabila masyarakat terutama yang hidup di kota besar tidak bersentuhan dengan persoalan teknologi informasi dapat dipandang terbelakang atau ”GAPTEK”. Internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer yang menawarkan realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata). Walaupun dilakukan secara virtual, kita dapat merasa seolah-olah ada di tempat tersebut dan melakukan hal-hal yang dilakukan secara nyata, misalnya bertransaksi, berdiskusi dan banyak lagi, seperti yang dikatakan oleh Gibson yang memunculkan istilah tersebut pertama kali dalam novelnya: “A Consensual hallucination experienced daily billions of legitimate operators, in every nation…A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the non-space of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receeding”.
Perkembangan Internet yang semakin hari semakin meningkat baik teknologi dan penggunaannya, membawa banyak dampak baik positif maupun negatif. Tentunya untuk yang bersifat positif kita semua harus mensyukurinya karena banyak manfaat dan kemudahan yang didapat dari teknologi ini, misalnya kita dapat melakukan transaksi perbankan kapan saja dengan e-banking, e-commerce juga membuat kita mudah melakukan pembelian maupun penjualan suatu barang tanpa mengenal tempat. Mencari referensi atau informasi mengenai ilmu pengetahuan juga bukan hal yang sulit dengan adanya e-library dan banyak lagi kemudahan yang didapatkan dengan perkembangan Internet. Tentunya, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi Internet membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat yang ada. Internet membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian dan penipuan kini dapat dilakukan dengan menggunakan media komputer secara online dengan risiko tertangkap yang sangat kecil oleh individu maupun kelompok dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara disamping menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Banyaknya dampak negatif yang timbul dan berkembang, membuat suatu paradigma bahwa tidak ada komputer yang aman kecuali dipendam dalam tanah sedalam 100 meter dan tidak memiliki hubungan apapun juga. David Logic berpendapat tentang Internet yang diibaratkan kehidupan jaman cowboy tanpa kepastian hukum di Amerika, yaitu: ”The Internet is a new frontier. Just like the Wild, Wild West, the Internet frontier is wide open to both exploitation and exploration. There are no sheriffs on the Information Superhighway. No one is there to protect you or to lock-up virtual desperados and bandits. This lack of supervision and enforcement leaves users to watch out for themselves and for each other. A loose standard called "netiquette" has developed but it is still very different from the standards found in "real life". Unfortunately, cyberspace remains wide open to faceless, nameless con artists that can carry out all sorts of mischief “
Seperti seorang hacker dapat masuk ke dalam suatu sistem jaringan perbankan untuk mencuri informasi nasabah yang terdapat di dalam server mengenai data base rekening bank tersebut, karena dengan adanya e-banking jaringan tersebut dapat dikatakan terbuka serta dapat diakses oleh siapa saja. Kalaupun pencurian data yang dilakukan sering tidak dapat dibuktikan secara kasat mata karena tidak ada data yang hilang tetapi dapat diketahui telah diakses secara illegal dari sistem yang dijalankan. Tidak kurang menghebohkannya adalah beredarnya gambar-gambar porno hubungan seksual/pornografi, misalnya antara seorang bintang sinetron Sukma Ayu dan Bjah, penyanyi yang sedang naik daun. Gambar-gambar tersebut beredar secara luas di Internet baik melalui e-mail maupun dalam tampilan website yang dapat disaksikan oleh siapa saja secara bebas. Pengungkapan kejahatan ini masih sangat kecil sekali, dikarenakan banyak kendala dan hambatan yang dihadapi dalam upaya pengungkapannya. Saat ini, bagi mereka yang senang akan perjudian dapat juga melakukannya dari rumah atau kantor hanya dengan mengakses situs www.indobetonline.com atau www.tebaknomor.com dan banyak lagi situs sejenis yang menyediakan fasilitas tersebut dan memanfaatkan fasilitas Internet banking untuk pembayarannya. E-commerce tidak sedikit membuka peluang bagi terjadinya tindak pidana penipuan, seperti yang dilakukan oleh sekelompok pemuda di Medan yang memasang iklan di salah satu website terkenal “Yahoo” dengan seolah - olah menjual mobil mewah Ferrary dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Perbuatan tersebut dapat dilakukan tanpa adanya hubungan terlebih dahulu antara penjual dan pembeli, padahal biasanya untuk kasus penipuan terdapat hubungan antara korban atau tersangka.
Dunia perbankan melalui Internet (ebanking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com. dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id, tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik menjadi lebih berhati – hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan.
Menurut perusahaan Security Clear Commerce di Texas USA, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 setelah Ukraina dalam hal kejahatan Carding dengan memanfaatkan teknologi informasi (Internet) yaitu menggunakan nomor kartu kredit orang lain untuk melakukan pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun melalui e-mail untuk menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah terjadi kesepakatan, pelaku memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual mengirimkan barangnya, cara ini relatif aman bagi pelaku karena penjual biasanya membutuhkan 3 –5 hari untuk melakukan kliring atau pencairan dana sehingga pada saat penjual mengetahui bahwa nomor kartu kredit tersebut bukan milik pelaku barang sudah terlanjur terkirim.
Selain carding, masih banyak lagi kejahatan yang memanfaatkan Internet. Tentunya masih hangat dalam pikiran kita saat seorang hacker bernama Dani Hermansyah, pada tanggal 17 April 2004 melakukan deface dengan mengubah nama - nama partai yang ada dengan nama- nama buah dalam website www.kpu.go.id, yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. Dikhawatirkan, selain nama – nama partai yang diubah bukan tidak mungkin angka-angka jumlah pemilih yang masuk di sana menjadi tidak aman dan dapat diubah, padahal dana yang dikeluarkan untuk sistem teknologi informasi yang digunakan oleh KPU sangat besar sekali. Untung sekali bahwa apa yang dilakukan oleh Dani tersebut tidak dilakukan dengan motif politik, melainkan hanya sekedar menguji suatu sistem keamanan yang biasa dilakukan oleh kalangan underground (istilah bagi dunia Hacker). Terbukti setelah melakukan hal tersebut, Dani memberitahukan apa yang telah dilakukannya kepada hacker lain melalui chat room IRC khusus Hacker sehingga akhirnya tertangkap oleh penyidik dari Polda Metro Jaya yang telah melakukan monitoring di chat room tersebut. Deface disini berarti mengubah atau mengganti tampilan suatu website. Pada umumnya, deface menggunakan teknik Structured Query Language (SQL) Injection. Teknik ini dianggap sebagai teknik tantangan utama bagi seorang hacker untuk menembus jaringan karena setiap jaringan mempunyai sistem keamanan yang berbeda-beda serta menunjukkan sejauh mana kemampuan operator jaringan, sehingga apabila seorang hacker dapat masuk ke dalam jaringan tersebut dapat dikatakan kemampuan hacker lebih tinggi dari operator jaringan yang dimasuki.
Kelemahan admin dari suatu website juga terjadi pada penyerangan terhadap website www.golkar.or.id milik Partai Golkar. Serangan terjadi hingga 1577 kali melalui jalan yang sama tanpa adanya upaya menutup celah tersebut disamping kemampuan Hacker yang lebih tinggi, dalam hal ini teknik yang digunakan oleh Hacker adalah PHP Injection dan mengganti tampilan muka website dengan gambar wanita sexy serta gorilla putih sedang tersenyum.
Teknik lain adalah yang memanfaatkan celah sistem keamanan server alias hole Cross Server Scripting (XXS) yang ada pada suatu situs. XXS adalah kelemahan aplikasi di server yang memungkinkan user atau pengguna menyisipkan baris-baris perintah lainnya. Biasanya perintah yang disisipkan adalah Javascript sebagai jebakan, sehingga pembuat hole bisa mendapatkan informasi data pengunjung lain yang berinteraksi di situs tersebut. Makin terkenal sebuah website yang mereka deface, makin tinggi rasa kebanggaan yang didapat. Teknik ini pulalah yang menjadi andalan saat terjadi cyberwar antara hacker Indonesia dan hacker Malaysia, yakni perang di dunia maya yang identik dengan perusakan website pihak lawan. Menurut Deris Setiawan, terjadinya serangan ataupun penyusupan ke suatu jaringan komputer biasanya disebabkan karena administrator (orang yang mengurus jaringan) seringkali terlambat melakukan patching security (instalasi program perbaikan yang berkaitan dengan keamanan suatu sistem). Hal ini mungkin saja disebabkan karena banyaknya komputer atau server yang harus ditanganinya.
Dengan demikian maka terlihat bahwa kejahatan ini tidak mengenal batas wilayah (borderless) serta waktu kejadian karena korban dan pelaku sering berada di negara yang berbeda. Semua aksi itu dapat dilakukan hanya dari depan komputer yang memiliki akses Internet tanpa takut diketahui oleh orang lain/ saksi mata, sehingga kejahatan ini termasuk dalam Transnational Crime/ kejahatan antar negara yang pengungkapannya sering melibatkan penegak hukum lebih dari satu negara.
Mencermati hal tersebut dapatlah disepakati bahwa kejahatan IT/ Cybercrime memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana umum baik dari segi pelaku, korban, modus operandi dan tempat kejadian perkara sehingga butuh penanganan dan pengaturan khusus di luar KUHP. Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesatnya haruslah di antisipasi dengan hukum yang mengaturnya dimana kepolisian merupakan lembaga aparat penegak hukum yang memegang peranan penting didalam penegakan hukum, sebab tanpa adanya hukum yang mengatur dan lembaga yang menegakkan maka dapat menimbulkan kekacauan didalam perkembangannya. Dampak negatif tersebut menimbulkan suatu kejahatan yang dikenal dengan nama “CYBERCRIME” yang tentunya harus diantisipasi dan ditanggulangi. Dalam hal ini Polri sebagai aparat penegak hukum telah menyiapkan unit khusus untuk menangani kejahatan cyber ini yaitu UNIT V IT/CYBERCRIME Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.08 0 komentar
Label: Cyber Crime, Cyber Law
Selasa, 06 April 2010
Domain Name sebagai Obyek HAKI
Pendahuluan
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informatika, yang ditandai dengan berkembangnya teknologi jaringan komunikasi dunia maya, yang dikenal dengan nama internet, membuat setiap orang merasa perlu untuk turut berinteraksi dalam jaringan komunikasi dunia maya ini. Hal ini diikuti dengan tumbuh menjamurnya situs-situs (website) di internet, dari yang sekedar memberikan jasa pelayanan informasi sampai jual-beli barang. Saat ini saja lembaga pendaftaran domain name terbesar dan tertua di dunia, Network Solutions Inc. (NSI), telah mendaftarkan lebih dari 5 juta alamat sejak tahun 1992 bagi top level domain yang berakhiran dengan com, org, dan net.
Dengan semakin banyak pihak yang ingin membuat atau memiliki situs di Internet, maka tak ayal lagi kebutuhan akan domain name meningkat. Hal ini mendorong beberapa pihak, baik pribadi maupun badan usaha, untuk menjadi penjual atau sekedar broker domain name bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Pengusaha asal Houston baru-baru ini menjual domain name business.com seharga US$ 7.5 juta (Bisnis Indonesia, 20/1/2000). Beberapa situs di internet juga menjadi broker untuk jual beli domain name, antara lain www.domainmart.com, www.buydomains.com, www.domainsale.com, dan sebagainya.Pada perkembangannya, jual beli domain name ternyata dapat menimbulkan masalah. World Wrestling Federation (WWF), keluar sebagai pemenang atas gugatan mereka terhadap penyalahgunaan domain name. Lembaga A.U.N yang bermarkas di Geneva memerintahkan Michael Bosman dari Redlands, California, memberikan domain name www.worldwrestlingfederation.com kepada WWF (Bisnis Indonesia, 20/1/2000). Bosman awalnya mendaftarkan domain name tersebut ke lembaga pendaftaran setempat akhir Oktober lalu dengan biaya US$100. Tiga hari kemudian dia ingin menjualnya ke WWF dengan harga US$1,000, suatu keuntungan yang cukup besar untuk Bosman. Namun dia gagal mengklaim bahwa domain name tersebut berhubungan dengan miliknya yaitu nama panggilannya atau keluarganya, atau bahkan nama salah satu binatang peliharaannya, sebagaimana dipersyaratkan oleh Lembaga A.U.N.
Sengketa lainnya yang baru-baru ini terjadi adalah antara Yahoo, salah satu situs terpopuler yang bermarkas di Amerika Serikat, dengan Yoohoo, sebuah situs yang bermarkas di Thailand (Indonesian Observer, 21/6/2000). Yahoo menggugat Yoohoo karena situs itu meniru domain name Yahoo yang telah terkenal. Pengacara Yahoo berpendapat bahwa domain name Yoohoo terdengar sangat mirip dengan Yahoo sehingga akan membingungkan para pengguna internet, meskipun webmaster Yoohoo berdalih bahwa dari segi isinya situs Yoohoo berbeda dengan Yahoo.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebagaimana dipaparkan di atas, beberapa waktu lalu Direktur Jenderal HAKI Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, A. Zen Umar Purba, mengemukakan bahwa domain name di internet untuk saat ini bisa didaftarkan sebagai hak cipta, dan diharapkan bisa menjadi hak atas merek (Bisnis Indonesia, 21/5/2000). Namun begitu, diakuinya bahwa peraturan mengenai domain name di tingkat nasional maupun internasional belum ada. Domain Name sebagai Ciptaan
Menurut UU Hak Cipta, yang telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1997, yang dimaksud dengan Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Sedangkan Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ciptaan yang mendapat perlindungan dari UU Hak Cipta adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi antara lain: buku atau hasil karya tulis lainnya, program komputer, pamflet, ceramah atau pidato yang diwujudkan dengan cara diucapkan, ciptaan lagu atau musik, drama, tari, seni rupa dalam segala bentuk, arsitektur, fotografi, sinematografi, terjemahan, dan sebagainya.
Domain name merupakan sebuah karya cipta yang diwujudkan dalam suatu susunan huruf, angka atau kata yang khas, sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu hasil karya tulis. Apabila domain name tersebut dalam tampilannya dipadu dengan gambar atau susunan warna maka dapat saja dikategorikan sebagai suatu bentuk hasil seni lukis/gambar. UU Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap domain name untuk dua kategori tersebut adalah selama hidup pencipta domain name tersebut, ditambah 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia. Apabila domain name tersebut diciptakan oleh 2 orang atau lebih, maka hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang terlama hidupnya dan berlangsung hingga 50 tahun sesudah pencipta yang terlama hidupnya tersebut meninggal dunia.
Pendaftaran domain name ke Kantor Hak Cipta di Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI untuk mendapatkan hak cipta memang bukan merupakan kewajiban, namun demikian sangat dianjurkan untuk mendaftarkan domain name tersebut karena Surat Pendaftaran Ciptaan dari Kantor Hak Cipta dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di Pengadilan apabila timbul sengketa dikemudian hari terhadap domain name tersebut. UU Hak Cipta memberikan sanksi pidana antara lain penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- bagi siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu.
Domain Name sebagai Merek
Menurut UU Merek, yang terakhir diubah dengan UU No. 14 Tahun 1997, yang dimaksud Merek adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Sedangkan Hak atas Merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Domain name yang berupa nama, susunan huruf, kata atau angka, dan seringkali juga dikombinasikan dengan susunan warna dan gambar, dapat dikategorikan sebagai merek apabila memiliki daya pembeda dengan domain name lain dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Domain name sebagai merek ini akan berfungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan dengan domain name lain dan juga sebagai alat promosi bagi produk yang dihasilkannya.
Untuk mendapatkan hak atas merek, pemilik domain name harus mengajukan permintaan pendaftaran merek ke Kantor Merek di Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI. Permintaan pendaftaran merek dapat ditolak apabila setelah dilakukan pemeriksaan ternyata mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis. Kantor Merek juga akan menolak permintaan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik orang lain untuk barang dan atau jasa sejenis, serta beberapa hal lainnya yang diatur dalam UU Merek dan peraturan pelaksanaannya. Fungsi pendaftaran merek ini adalah sebagai dasar penolakan terhadap merek yang dimohonkan pendaftaran oleh orang-orang untuk barang dan atau jasa sejenis, dan sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang dan atau jasa sejenis.
Domain name sebagai merek terdaftar akan mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek bersangkutan. Atas permintaan pemilik merek jangka waktu perlindungan merek terdaftar dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu yang sama. UU Merek memberikan sanksi pidana antara lain penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- bagi siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang dan atau jasa sejenis maupun tidak sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan.
Penutup
Meskipun belum ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai domain name, penulis setuju dengan tindakan Dirjen HAKI yang mengakomodir domain name ke dalam regim hukum HAKI yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum apabila terjadi sengketa dikemudian hari. Namun begitu, karena keunikan dari domain name ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat kejelasan, pertama, apakah suatu domain name harus memiliki kesamaan, kemiripan ataupun kaitan yang erat dengan nama pencipta atau pemiliknya? Kedua, apakah domain name dapat diperjualbelikan secara bebas? Ketiga, apakah seseorang atau suatu badan usaha dapat memiliki atau menguasai lebih dari satu domain name?
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat tidak pernah mau menunggu perangkat hukum yang akan mengaturnya, maka langkah-langkah antisipatif dan progresif harus segera dilakukan oleh para pembuat kebijakan agar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan umat manusia.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.57 0 komentar
Label: Cyber Law
Cybercrime sebuah Fenomena
Sejalan dengan kemajuan teknologi informatika yang demikian pesat, melahirkan internet sebagai sebuah fenomena dalam kehidupan umat manusia. Internet, yang didefinisikan oleh TheU.S. Supreme Court sebagai: "international network of interconnected computers" (Reno v. ACLU, 1997), telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang bukan saja sekedar untuk berkomunikasi tapi juga melakukan transaksi bisnis kapan saja dan di mana saja.
Saat ini berbagai cara untuk dapat berinteraksi di "dunia maya" ini telah banyak dikembangkan. Salah satu contoh adalah lahirnya teknologi wireless application protocol (WAP) yang memungkinkan telepon genggam mengakses internet, membayar rekening bank, sampai dengan memesan tiket pesawat. Beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan penyedia jasa akses internet di Indonesia, berencana untuk mengembangkan televisi digital virtual studio untuk wilayah Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya (Bisnis Indonesia, 07/07/2000). Televisi digital yang rencananya akan menyajikan informasi terkini di bidang keuangan, bisnis, teknologi informasi dan pasar modal selama 24 jam ini menggunakan jaringan internet dan satelit sebagai media operasionalnya.
Melihat perkembangan ini, para pengamat dan pakar internet berpendapat bahwa saat ini internet sedang memasuki generasi kedua, yang mana ciri-ciri dan perbandingannya dengan internet generasi pertama adalah sebagai berikut:
Internet generasi I
Internet generasi II
Tempat mengakses
Di depan meja
Di mana saja
Sarana
Hanya PC
Peralatan apapun yang bisa terhubung dengan internet
Sumber pelayanan
Storefront Web
e-service otomatis
Hubungan antar provider
Persaingan ketat
Transaksi
Lingkup aplikasi
Aplikasi terbatas
e-service modular
Fungsi IT
IT sebagai asset
IT sebagai jasa
Sumber: Bisnis Indonesia
Pada perkembangannya, ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti-sosial dan perilaku kejahatan yang selama ini dianggap tidak mungkin terjadi. Sebagaimana sebuah teori mengatakan: "crime is a product of society its self", yang secara sederhana dapat diartikan bahwa masyarakat itu sendirilah yang melahirkan suatu kejahatan. Semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat, semakin canggih pula kejahatan yang mungkin terjadi dalam masyarakat itu.
Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet ini sering disebut sebagai cybercrime. Walaupun jenis kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun The Federal Bureau of Investigation (FBI) dalam laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai cybercrime telah meningkat empat kali lipat sejak tiga tahun belakangan ini (Indonesian Observer, 26/06/2000), di mana pada tahun 1998 saja telah tercatat lebih dari 480 kasus cybercrime terjadi di Amerika Serikat ( http://emergency.com/cybrcm98.htm). Hal ini membuat lebih dari 2/3 warga Amerika Serikat memiliki perhatian serius terhadap perkembangan cybercrime, sebagaimana hasil polling yang dilakukan EDI, suatu perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang TI (Indonesian Observer, 26/06/2000).
Apakah Cybercrime itu?
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. TheU.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai:"…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data". Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer (1989) mengartikan: "kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal".
Dari beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih (Wisnubroto, 1999).
Internet sebagai hasil rekayasa teknologi bukan hanya menggunakan kecanggihan teknologi komputer tapi juga melibatkan teknologi telekomunikasi di dalam pengoperasiannya. Apalagi pada saat internet sudah memasuki generasi kedua, perangkat komputer konvensional akan tergantikan oleh peralatan lain yang juga memiliki kemampuan mengakses internet.
Hal ini akan lebih jelas terlihat pada perkembangan tindak kejahatan yang berhubungan dengan penggunaan komputer sebagaimana ditunjukkan pada tabel dibawah ini:
Pra-Internet
Internet generasi I
Internet generasi II
Locus
terjadi pada satu sistem komputer atau pada Local Area Network (LAN) dan Wide Area Network (WAN).
selain masih pada satu sistem komputer, LAN atau WAN, juga di internet
cenderung hanya terjadi di internet
Sarana
perangkat komputer
menggunakan perangkat komputer yang terhubung dengan internet
menggunakan peralatan apapun, yang terhubung dengan internet
Sasaran
Data dan program komputer
segala web content
segala web content
Pelaku
menguasai penggunaan komputer
menguasai penggunaan internet
sangat menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya
Lingkup Regulasi
regulasi lokal
regulasi lokal
sangat membutuhkan regulasi global
Tabel di atas memperlihatkan dua hal yang signifikan pada kejahatan di internet generasi kedua, yaitu pelaku dapat melakukan kejahatan tersebut di mana pun (mobile) dan dengan peralatan apapun. Hal inilah yang membuat penggunaan istilah cybercrime atau kejahatan di internet akan lebih relevan dibandingkan istilah computer crime.
Meskipun begitu, ada upaya untuk memperluas pengertian computer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan peralatan apapun, seperti pengertian computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crimes Act, yaitu: "an electronic, magnetic, optical, electrochemical, or other high speed data processing device performing logical, arithmetic, or storage functions, and includes any data storage facility or communications facility directly related to or operating in conjunction with such device, but such term does not include an automated typewriter or type-setter, a portable hand-held calculator, or other similar device" (http://www.cybercrimes.net/). Namun begitu, tetap saja pada prakteknya pemahaman publik akan pengertian computer adalah perangkat komputer konvensional (PC, Notebook, Laptop) yang biasa terlihat.
Berdasarkan beberapa literatur serta prakteknya, cybercrime memiliki karakter yang khas dibandingkan kejahatan konvensional, yaitu antara lain:
*
Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi di ruang/wilayah maya (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya
*
Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang bisa terhubung dengan internet
*
Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materil maupun immateril (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional
*
Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya
*
Perbuatan tersebut seringkali dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara
Beberapa Bentuk Cybercrime
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis utama komputer dan jaringan telekomunikasi ini dalam beberapa literatur dan prakteknya dikelompokan dalam beberapa bentuk, antara lain:
*
Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet/intranet.
Kita tentu tidak lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam database berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang e-commerce, yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini dalam beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).
*
Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah, dan sebagainya.
*
Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
*
Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem yang computerized.
*
Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut, tentunya dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut sebagai cyber-terrorism.
*
Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
*
Infringements of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.
Perang Melawan Cybercrime
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul
Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
*
Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
*
Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
*
Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
*
Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
*
Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties
Rabu, 18 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar