ABSTRAK
Sistem informasi sangat mempermudah seseorang dalam melaksanakan atau menyelesaikan tugasnya. Sistem informasi berkembang sejalan dengan peradaban manusia, dengan menggunakan sarana yang ada pada saat itu, dari penggunaan batu dan dinding gua pada jaman kuno sampai dengan pengunaan teknologi informatika dewasa ini. Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangan merupakan suatu sistem yang diciptakan sebagai sarana atau sumber informasi peraturan perundang-undangan yang bermanfaat bagi para perancang dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan bagi masyarakat yang ingin mengetahui informasi hukum dan peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya sistem informasi peraturan perundang-undangan yang ada belum secara maksimal dapat dimanfaatkan oleh para perancang peraturan perundang-undangan dalam menunjang pekerjaannya, hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain tingkat kemampuan dan kemauan perancang dalam pemanfaatan sistem informasi yang masih kurang, terbatasnya sarana dan prasarana, dan belum adanya sistem informasi peraturan perundang-undangan yang standar akurasi dan validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan.
1. Sistem Informasi
A. Pendahuluan
Sistem informasi merupakan frase yang sudah tidak asing dan sering kita dengar, bahkan disadari atau tidak, kita sudah sangat sering memanfaatkannya, seperti penggunaan handphone (HP), jaringan internet, dan lain ya sebagai sarana dalam menggunakan sistem informasi. Namun apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan sistem informasi? Secara mudah, sistem informasi dapat diartikan sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat suatu proses yang saling berkaitan dalam mengolah kumpulan data menjadi suatu informasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna (user) sebagai sumber informasi dalam membantu yang bersangkutan untuk pengambilan keputusan atau menyelesaikan suatu persoalan/pekerjaan. Dari asumsi tersebut dan dalam praktiknya sistem informasi selalu dikonotasikan sebagai suatu sistem jaringan yang menggunakan teknologi yang canggih.
Hal tersebut tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar, karena dalam sejarah perkembangannya, sistem informasi sebenarnya sudah ada dan selalu sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Sejak awal peradabannya, manusia selalu termotivasi memperbaharui cara untuk menyampaikan informasi (berkomunikasi), mulai dari gambar-gambar yang dipahat di dinding-dinding gua atau batu, pencatatan tonggak sejarah dalam bentuk prasasti, dipergunakannya kertas, sampai dengan penggunaan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seperti teknologi telekomunikasi dan informatika yang ada saat ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan system informasi mempunyai hubungan erat dengan tingkat peradaban manusia sebagai pengguna sekaligus pencipta sistem dan teknologi informasi . Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem informasi secara tidak langsung juga mewakili suatu sistem nilai dalam masyarakat, karena merupakan produk sosial budaya dari suatu masyarakat tertentu (sesuai jamannya).
Oleh karena itu, apabila membahas sistem informasi yang ada pada saat ini, maka tidak akan terlepas dari penggunakan teknologi informatika atau yang lebih dikenal dengan teknologi informasi yang menjadi sarana berjalannya suatu sistem informasi, yang merupakan suatu sistem sudah pasti terbentuk terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan dan salah satunya adalah sarana berjalannya sistem informasi tersebut serta komponen pendukungnya. Adapun komponen-komponen sistem informasi saat ini paling tidak terdiri dari:
a. Hardware, terdiri dari komputer dan perlengkapannya termasuk perangkat jaringan (network).
b. Software, merupakan kumpulan dari perintah/fungsi yang ditulis dengan aturan tertentu untuk memerintahkan komputer untuk melaksanakan proses tertentu.
c. Data, merupakan komponen yang paling penting dan menjadi bahan dasar dari sistem informasi yang akan diproses lebih lanjut untuk menghasilkan suatu informasi.
d. Prosedur, termasuk di dalamnya adalah dokumentasi proses dari sistem, pedoman teknis, dan arahan atau kebijakan pimpinan.
e. Manusia, komponen ini yang akan menentukan seberapa besar manfaat dan kegunaan dari suatu sistem informasi, karena semahal dan secanggih apapun sistem informasi di bangun, tanpa ditunjang oleh sumber daya manusia yang handal dan berkompeten di bidang tersebut teknologi tersebut hanya akan menjadi tumpukan barang yang tidak memiliki manfaat besar bagi kemajuan suatu organisasi.
2. Manfaat Sistem Informasi
Pemanfaatan sistem informasi dalam berbagai bidang pekerjaan meningkat secara signifikan sejak era 1980-an, dalam suatu penelitian dilansir bahwa secara global sekitar 50% modal baru digunakan untuk pengembangan sistem informasi untuk menunjang pencapaian tujuan organisasi , menunjang dan mempermudah aktifitas pelaksanaan tugas/pekerjaan pada semua tingkatan organisasi, agar pelaksanan tugas/pekerjaan dapat dicapai secara maksimal, efektif, dan efisien. Sistem informasi yang ideal sebenarnya bukandilihat dari besarnya biaya atau modal untuk membuat sistem tersebut, namun lebih pada kemampuan untuk menyeimbangkan antara biaya (cost) yang dikeluarkan dan manfaat yang akan diperoleh, sehingga sistem informasi seharusnya dibuat dengan menerapkan biaya yang hemat, mempermudah dan mempercepat pelaksanaan tugas, serta dapat meningkatkan kinerja suatu organisasi. Dengan demikian manfaat yang diperoleh akan lebih besar dari investasi atau biaya yang dikeluarkan untuk membangun sistem tersebut.
Dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan, besarnya manfaat sistem informasi juga dirasakan oleh pemerintah dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, untuk itu pada tahun 2006 Pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membentuk Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional. Pembentukan Dewan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa teknologi informasi (termasuk di dalamnya sistem informasi) dan komunikasi:
a. merupakan salah satu pilar utama pembangunan peradaban manusia saat ini dan merupakan sarana penting dalam proses transformasi menjadi bangsa yang maju;
b. memiliki peranan yang besar dalam mensejahterakan kehidupan bangsa; dan
c. mampu mendorong terciptanya kemandirian bangsa dan peningkatan daya saing nasional.
B. Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangan
Pernahkan terlintas di benak kita pertanyaan:
1.
1.
berapakah jumlah undang-undang yang masih berlaku saat ini? Peraturan Pemerintah? Peraturan Presiden? Peraturan Menteri? Peraturan Daerah?
2.
berapakah jumlah undang-undang yang masih berlaku saat ini? Peraturan Pemerintah? Peraturan Presiden? Peraturan Menteri? Peraturan Daerah?
3.
berapakah jumlah peraturan perundang-undangan yang sudah dibuat sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini?
4.
berapa banyak peraturan peninggalan kolonial yang masih berlaku dan mengatur tentang apa? dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Kita semua pasti sepakat bahwa tidak mudah untuk menjawab bertanyaan tersebut (-paling tidak pada saat ini). Sulitnya menjawab pertanyaan tersebut salah satunya disebabkan karena tidak adanya suatu sistem informasi yang berupa pusat data (data base) peraturan perundang-undangan - atau untuk mudahnya kita sebut Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangan - yang dibuat secara terintegrasi (integrated) dan berkesinambungan. Ada beberapa institusi pemerintah maupun swasta yang telah membangun sistem informasi peraturan perundang-undangan, baik yang berbasis internet (online) maupun yang tidak berbasis internet, namun sampai sejauh ini penanganannya tidak dilakukan secara berkesinambungan sehingga pembaruan data (update) dan validitas datanya belum dapat diandalkan.
Data yang akurat, valid, dan up to date merupakan yang hal penting dalam penyelenggaraan suatu sistem informasi guna memenuhi kebutuhan informasi. Apalagi dalam sistem informasi peraturan perundang-undangan, akurasi dan validitasnya data maerupakan hal yang sangat penting bagi perancang peraturan perundang-undangan dalam rangka menunjang tugasnya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan bagi masyarakat umum sebagai sumber informasi peraturan perundangan-undangan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, siapakah yang seharusnya mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan sistem informasi peraturan perundang-undangan tersebut? Hal ini sering menjadi pertanyaan masyarakat luas karena untuk mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai peraturan perundang-undangan juga merupakan hak konstitusional masyarakat yang dijamin Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di dalam Pasal 51 dan Pasal 42-nya menyatakan:
* Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia.
* Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk menyebarluaskan Peraturan Daerah yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan peraturan di bawahnya yang telah diundangkan dalam Berita Daerah.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal 51 dan Pasal 52 tersebut, pada tanggal 25 Januari 2007 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur lebih rinci pelaksanaan Pasal 51 dan Pasal 52.
Pasal 32 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 menyebutkan bahwa dalam rangka penyebarluasan melalui media elektronik Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, sekretariat Lembaga, dan sekretariat Kementerian/ sekretariat Lembaga, serta Sekretariat Daerah menyelenggarakan sistem informasi peraturan perundang-undangan , dengan ketentuan:
1.
1. Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet, menyelenggarakan sistem informasi peraturan perundang-undangan yang disahkan atau ditetapkan oleh Presiden; dan
2. Sekretariat Lembaga, Sekretariat Kementerian, dan Sekretariat Daerah menyelenggarakan sistem informasi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pimpinan Lembaga, Menteri, dan Kepala Daerah yang bersangkutan.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa tanggung jawab penyediaan sistem informasi peraturan perundang-undangan menjadi tanggung jawab Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet untuk peraturan perundang-undangan yang ditandatangani oleh Presiden dan Sekretariat Lembaga, Sekretariat Kementerian, dan Sekretariat Daerah untuk peraturan perundang-undangan yang ditandatangani oleh Pimpinan lembaga masing-masing.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2007, dapat dikatakan bahwa Pasal 32 tersebut belum memuat adanya visi untuk membuat suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan dalam satu kesatuan database yang terintegrasi di dalam satu sistem yang utuh (tidak persial). Walaupun untuk sebuah sistem berbasis internet hal tersebut bukan lah menjadi suatu hal yang sulit untuk dilakukan, karena dapat saja dibuat tautan (link) antar instansi dan lain sebagainya.
Namun demikian, pada kenyatakaannya masing-masing lembaga yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 dan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 berjalan secara sendiri-sendiri dan data/informasi yang disajikan sering sekali tidak mutakhir (update) bahkan terkadang validitas dan keakurasiannya masih meragukan.
Penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan sangat diperlukan meskipun dalam ilmu hukum dikenal adanya teori fiksi yang mengandung makna bahwa pada saat suatu peraturan diundangkan, maka pada waktu yang bersamaan semua orang sudah dianggap mengetahui adanya peraturan tersebut. Walaupun ada teori fiksi tersebut, seharusnya Pemerintah atau lembaga yang mempunyai tanggung jawab untuk menyebarluaskan peraturan perundang-undangan tersebut untuk tetap memiliki komitmen untuk menciptakan dan menyelenggarakan suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan yang selalu diperbaharui dan berkesinambungan secara cepat dan tepat, karena teori fiksi secara ansih tidak mungkin dapat diterapkan begitu saja mengingat wilayah dan kondisi geografis negara Indonesia yang sangat luas.
Dengan demikian seharusnya (-idealnya) pemerintah membentuk atau menunjuk satu instansi atau lembaga yang diberi kewenangan penuh dan tanggung jawab untuk menyediakan sistem informasi peraturan perundang-undangan yang diselenggarakan secara tersentral, sehingga data dan informasi mengenai peraturan perundang-undangan dapat diperoleh oleh para perancang peraturan perundang-undangan dan masyarakat luas secara cepat, mudah, dan murah serta dapat dipertanggungjawabkan keakurasian dan validitasnya dapat diwujudkan.
Sebenarnya yang telah dirintis Pemerintah pada saat mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999 tentang Sistem Jaringan dan Dokumentasi Hukum dapat dikembangkan lebih jauh guna mewujudkan sistem informasi secara terintegrasi, dimana dalam Keputusan Presiden tersebut disebutkan bawa Sistem Jaringan dan Dokumentasi Hukum tersebut diharapkan dapat berfungsi:
1.
1. sebagai salah satu upaya penyediaan sarana pembangunan bidang hukum;
2. untuk meningkatkan penyebarluasan dan pemahaman pengetahuan hukum;
3. untuk memudahkan pencarian dan penelusuran peraturan perundang-undangan dan bahan dokumentasi hukum lainnya;
4. sebagai pusat data (database) dalam penyediaan serta penyebarluasan informasi dari salinan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan/atau disahkan oleh Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota atau Pimpinan Instansi Lembaga Pemerintah lainnya.
Namun pada kanyataannya sistem jaringan yang dibangun tersebut, lambat laun sudah tidak terdengar lagi dan fungsi serta manfaatnya tidak dapat dirasakan oleh para praktisi hukum dan masyarakat luas pada umumnya.
C. Manfaat Sistem Informasi Peraturan Perundang-undangan Bagi Perancang Peraturan Perundang-undangan.
Kemajuan teknologi informasi yang ada saat ini sangat membantu sesorang dalam melakukan tugas dan pekerjaan, dimana pun dan kapan pun seseorang membutuhkan suatu informasi sudah dapat diperoleh dengan cepat, mudah, dan murah. Apalagi dengan hadirnya teknologi internet dewasa ini, segala sesuatu dapat dilaksanakan dengan lebih mudah seperti pencarian data/informasi, berkomunikasi, bahkan bertransaksi. Bahkan studi banding untuk mendapatkan informasi dan bahan-bahan yang berkaitan dengan penyusunan suatu peraturan perundang-undangan misalnya sudah tidak perlu lagi dilakukan secara fisik. Hal tersebut sudah dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan teknologi informasi berbasis internet, seperti pencarian bahan, referensi hukum dan peraturan perundang-undangan, bahkan untuk berdialog dengan para ahli atau nara sumber dari luar negeri sudah dapat dilakukan dengan menggunakan teleconference yang memanfaatkan jejaring internet, sehingga dari segi manfaat, waktu, dan biaya jauh lebih murah dibandingkan dilakukan dengan cara konvensional.
Manfaat dari kemajuan teknologi tersebut juga merambah pada bidang penyusunan peraturan perundang-undangan. Bagi seorang perancang yang melaksanakan tugas menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah mencari referensi atau bahan pendukung dengan menggunakan sistem informasi peraturan perundang-undangan baik yang berbasis internet maupun yang tidak berbasis internet. Namun demikian, pada kanyataannya kemudahan tersebut belum secara maksimal dapat dimanfaatkan oleh sebagaian besar perancang peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Tingkat kemampuan dan kemauan perancang peraturan perundang-undangan dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi (termasuk di dalamnya sistem informasi peraturan perundang-undangan) masih kurang.
Adanya tumpang tindih dan tidak sinkronnya ketentuan di dalam suatu substansi peraturan perundang-undangan salah satunya disebabkan oleh ketidaktelitian atau bahkan ketidaktahuan pembentuk peraturan perundang-undangan dalam merumuskan suatu rancangan peraturan perundang-undangan bahwa materi yang akan disusun tersebut sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang lain atau akan bertentangan (saling bertolak belakang) dengan peraturan yang sudah ada. Sehingga pada saat peraturan tersebut diberlakukan akan menimbulkan permasalahan pada pengimplementasiannya, misalnya banyaknya Peraturan Daerah yang materi muatannya bertentangan dengan peraturan di atasnya, adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal yang sama, dan lain sebagainya. Hal tersebut sebenarnya dapat diperkecil dengan cara memanfaatkan teknologi informasi yang berkaitan dengan sistem informasi peraturan perundang-undangan. Dengan memanfaatkan sistem informasi peraturan perundang-undangan seorang perancang peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah mencari (search) segala sesuatu hal yang berkaitan dengan substansi peraturan yang akan dirancangnya.
Sebagai contoh, apabila seorang perancang peraturan perundang-undangan ingin mengatur mengenai suatu substansi tertentu dan ingin mengetahui di dalam peraturan perundang-undangan mana saja hal tersebut juga diatur, maka yang bersangkutan dapat memanfaatan sistem pencarian yang ada pada website misalnya yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (http://www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info) atau Legalitas (http://www.legalitas.org) untuk mengetahuinya.
Seorang perancang peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah mencari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi tersebut dengan menggunakan kata kunci (keyword) sesuai dengan yang diinginkan, maka semua daftar peraturan perundang-undangan yang mengandung kata kunci tersebut akan dapat dengan cepat didapat dan mudah (dibaca) dilihat.
Hal ini tentunya akan dapat memberikan kemudahan bagi seorang perancang peraturan perundang-undangan, paling tidak dalam upaya mencari referensi rumusan dan untuk mensinkronisasikan sekaligus mengharmonisasikan rancangan yang sedang disusun dengan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, baik secara vertical maupun horisontal. Dengan demikian, dapat mengurangi adanya peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan saling bertentangan satu dengan yang lain.
Oleh karena itu, seharusnya seorang perancang peraturan perundang-undangan selain dituntut menguasai teknik dan substansi penyusunan peraturan perundang-undangan, juga sebaiknya memiliki kemauan dan pengetahuan yang berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi khususnya yang berkaitan dengan sistem informasi peraturan perundang-undangan dalam setiap melaksanakan tugas menyusun peraturan perundang-undangan.
2. Masih banyaknya data dalam sistem informasi peraturan perundang-undangan yang tidak valid dan akurat.
Kebenaran atau keabsahan (validitas) suatu data yang ada pada sistem peraturan perundang-undangan menjadi hal yang sangat penting, karena hal tersebut berkaitan dengan penerapan hukum. Seorang yang mengutip atau mencontoh dari data peraturan perundang-undangan yang salah akan membawa dampak yang luas.
Sebagai contoh seorang dosen yang mengajar mahasiswanya dengan menggunakan pasal dari suatu peraturan perundang-undangan yang salah cetak dan lain sebagainya akan berpengaruh pada pengetahuan mahasiswa yang bersangkutan dalam memahami suatu substansi peraturan perundang-undangan. Apalagi hal tersebut terjadi pada seorang perancang peraturan perundang-undangan tentunya akan membawa dampak yang lebih luas lagi.
Sistem informasi yang ada pada saat ini terlebih lagi yang berbasis internet baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun swasta sering kali menyajikan data yang kurang valid/akurat, bahkan buku-buku salinan peraturan perundang-undangan yang atau dan dijual dipasaran juga sering ditemukan salah cetak, salah ketik, dan lain sebagainya.
Memang dalam praktiknya informasi peraturan perundang-undangan yang akurat/valid adalah yang dicetak di dalam buku himpunan Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara atau Berita Negara dan Tambahan Berita Negara, namun untuk mendapatkan buku himpunan tersebut bukanlah hal yang mudah apalagi bagi perancang peraturan perundang-undangan yang berada di daerah-dearah. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya memfasilitasi dan menyediakan suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan yang data dan informasinya dapat dipertanggungjawabkan keakuratan atau validitasnya.
3. Kurangnya sarana dan prasarana penunjang
Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa keberadaan suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan sangat penting dalam menunjang kinerja para perancang peraturan perundang-undangan, namun demikian sistem informasi peraturan perundang-undangan sebagai suatu sarana dalam memperkaya pengetahuan perancang peraturan perundang-undangan masih dirasakan kurang keberadaannya. Hal ini disebabkan karena lebih banyak instansi pemerintah membangun informasi peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada penganggaran DIPA yang sifatnya jangka pendek (proyek), sehingga apabila kegiatan tersebut sudah tidak dibiayai maka sistem tersebut tidak berjalan lagi dan bahkan mati dengan sendirinya, walaupun investasi untuk membangun sistem tersebut boleh dikatakan tidak murah.
Selain itu, sistem informasi peraturan perundang-undangan yang ada dan dikelola oleh berbagai instansi sebagai suatu sarana penunjang perancang peraturan perundang-undangan dalam mencari informasi, tidak dikelola secara profesional dan berkesinambungan, sehingga manfaatnya tidak dapat dirasakan secara maksimal. Kegagalan dalam membangun atau mengelola suatu sistem informasi khususnya yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah biasanya disebabkan karena:
a. adanya keterbatasan di dalam penguasaan sistem informasi, dan biasanya lebih tergantung pada rekanan sehingga apabila ada kerusakan pada sistem tidak dapat memperbaiki.
b. rancangan sistem informasi dibuat secara parsial dengan platform yang berbeda antar instansi, sehingga sulit untuk di-integrasikan, akibatnya untuk membuat suatu jaringan yang besar dan saling terhubung satu dengan yang lain tidak mudah dilakukan;
c. data dan informasi yang diperlukan untuk memperkaya sistem berada di luar kewenangan/tupoksi suatu satuan kerja/lembaga yang menangani sistem informasi peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga pemutakhiran data akan terhambat, tidak dapat dijamin keakuratan, dan tanggungjawab kelayakannya;
d. belum terbangunnya budaya bekerja dengan suatu pola yang saling terintegrasi dan ego-sektoral yang tinggi. Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk mewujudkan database peraturan perundang-undangan yang terintegrasi atau tersentral;
e. keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam pengelolaan sistem informasi.
Selain itu, pada beberapa kantor atau instansi pemerintah (khususnya lagi yang ada perncang peraturan perundang-undangannya) jaringan internet belum ada, kalaupun ada masih banyak yang hanya diselenggarakan ala kadarnya, dalam arti kecepatan akses dan penunjangnya tidak bagus sehingga tidak dapat mendorong para perancang untuk memanfaatkan teknologi tersebut dan bahkan menganggap lebih menyulitkan.
4. Masih rendahnya dukungan pimpinan
Partisipasi dan dukungan pimpinan instansi ditempat perancang bekerja dalam bentuk keikutsertaan pimpinan dalam mendorong terselenggaranya sistem informasi peraturan perundang-undangan, mengendalikan upaya pengembangan sistem tersebut, dan memotivasi perancang yang ada di instansi yang bersangkutan juga mempunyai peran besar dalam keberhasilan dan peningkatan kemampuan kerja perancang peraturan perundang-undangan dalam memanfaatkan sistem indormasi peraturan perundang-undangan dalam mendukung pelaksanaan tugasnya.
Contoh yang baik adalah yang telah dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi pada saat awal berdirinya Mahkamah Konstitusi, penggunaan teknologi informasi yang dikembangkan dan diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menunjang segala kegiatan dan tugasnya dapat menimbulkan citra baik lembaga peradilan di Indonesia dengan menerapkan transparansi pengurusan dan proses beracara di Mahkamah Konstitusi. Hal itu menjadikan kinerja Mahakamah Konstitusi patut dijadikan contoh yang baik dalam mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dalam menunjang kinerja sekaligus citra lembaga yang bersangkutan.
Sulitnya seorang perancang dalam mengakses sistem informasi dikarenakan tidak berfungsinya sarana yang ada menyebabkan tidak efektif dan tidak efisiennya kinerja seorang perancang dalam mendapatkan informasi dan bahan-bahan yang berkaitan dengan tugasnya.
Anggapan bahwa sistem informasi bukan merupakan hal yang terlalu penting adalah anggapan yang sangat keliru bila dikaitkan dengan visi untuk membangun suatu suatu institusi. Karena dengan berjalannya sistem informasi secara baik, akan menambah nilai yang berupa pengetahuan pegawai yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dan kemajuan instansi yang bersangkutan. Hal tersebut tentunya lebih berharga dari pada membiayai suatu kegiatan yang tidak berorientasi pada peningkatan kinerja instansi yang bersangkutan. Untuk itu dukungan atau komitmen dari penentu kebijakan di dalam organisasi atau instansi tempat perancang bekerja juga menjadi salah satu faktor penentu dalam maksimal tidaknya perancang dalam memanfaatkan sistem informasi peraturan perundang-undangan untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
Apabila faktor-faktor sebagaimana disebutkan di atas dapat diatasi atau diperbaiki, maka dapat dipastikan para perancang dapat dengan mudah untuk mendapatkan berbagai informasi dalam menunjang tugas penyusunan peraturan perundang-undangan. Adanya kemampuan dan kemauan dalam memanfaatkan teknologi informasi, adanya suatu sistem informasi yang berjalan baik, adanya sarana dan prasarana yang mendukung, dan adanya dukungan untuk terwujudnya sistem informasi akan mambawa pengaruh besar dalam menunjang para perancang dalam menambah pengetahuan dan kemampuannya dalam merancang peraturan perundang-undangan, terutama dalam mengharmonisasikan dan mensinkronisasikan rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain dengan memanfaatkan sarana sistem informasi peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, kedepan sangat diperlukan adanya sistem informasi peraturan prundang-undangan yang juga didukung oleh data yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga sistem informasi yang digunakan merupakan suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan yang dapat menyajikan data/informasi yang memenuhi kriteria informasi yang layak (quality of information) bagi penunjang pelaksanaan tugas seorang perancang dalam menyusun peraturan perundang-undangan yang memenuhi kriteria suatu informasi yang baik, yaitu:
1. Relevan (relevancy)
Sistem informasi peraturan perundang-undangan harus dapat memberikan informasi yang relevan sesuai dengan yang dinginkan serta memiliki manfaat bagi perancang peraturan perundang-undangan dan dapat dijadikan landasan atau referensi bagi perancang dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan.
2. Akurat dan dapat dipercaya (accuracy and Reliability)
Sistem informasi peraturan perundang-undangan harus bebas dari kesalahan-kesalahan sehingga tidak menyesatkan. Ketidakakuratan data sebagaimana telah disebutkan dapat saja membawa dampak yang lebih luas bagi rancangan peraturan perundang-undangan yang disusun.
3. Tepat waktu (timeliness)
Informasi yang dihasilkan atau dibutuhkan dapat segera didapat dan bukan informasi yang tidak valid atau bahkan sudah tidak berlaku lagi.
4. Ekonomis dan Efisien (Economy and Efficiency)
Informasi yang terdapat di dalam sistem tersebut memberikan efisiensi kerja dan tidak membutuhkan biaya besar untuk mendapatkannya sehingga secara ekonomis tidak membebani instansi yang bersangkutan dan dibanding bila tidak menggunakan sistem informasi tersebut. Perlu untuk diingat bahwa nilai dari informasi (value of information) ditentukan oleh dua hal, yaitu manfaat dan biaya untuk mendapatkan informasi tersebut. Suatu informasi dapat dikatakan bernilai bila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya untuk mendapatkannya. Sebagian besar informasi tidak dapat ditaksir secara pasti nilai harganya, tetapi kita dapat memperkirakan nilai efektifitas dari informasi tersebut.
D. Penutup
Sistem informasi peraturan perundang-undangan selain sebagai sumber informasi bagi masyarakat yang ingin mencari informasi mengenai peraturan perundang-undangan juga merupakan suatu sumber informasi bagi perancang peraturan perundang-undangan untuk membantu pelaksanaan tugasnya dalam merancang atau menyusun peraturan perundang-undangan agar dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas.
Penggunaan sistem informasi peraturan perundang-undangan harus memberikan nilai lebih bagi seorang perancang karena sarana tersebut dapat mempermudah dalam pencarian data yang berkaitan dengan informasi dari suatu substansi hukum yang akan dirumuskan, mempermudah dalam proses pengharmonisasian dan sinkronisasi, dan masih banyak lagi manfaat lainnya.
Namun demikian, pada saat ini keberadaan sistem informasi peraturan perundang-undangan masih dirasakan kurang maksimal, hal tersebut disebabkan belum adanya lembaga atau institusi yang mengelola sistem informasi peraturan perundang-undangan secara berkesinambungan. Pengelolaan secara parsial seperti yang dilakukan saat ini menyulitkan bagi masyarakat atau perancang dalam mencari dan mendapatkan informasi peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan.
Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan adanya suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan, agar tercipta suatu sistem informasi peraturan perundang-undangan yang handal dan dapat dipertanggung-jawabkan keakuratan datanya, sehingga informasi yang dihasilkan adalah informasi yang mempunyai nilai dan validitas yang tinggi yang pada akhirnya akan memberikan manfaat bukan hanya sebagai suatu sistem infomasi tetapi lebih jauh sebagai sarana untuk menuju pada pembangunan sistem hukum nasional secara menyeluruh, harmonis, aspiratif, dan responsif terhadap setiap perkembangan hukum yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ingat pepatah orang bijak yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang berhasil dan pintar adalah orang yang lebih dahulu tahu adanya suatu informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ari Purwadi. Kebutuhan AkanPerangkat Hukum Perjanjian di Bidang Alih Teknologi, Jakarta: Hukum dan Pembangunan Nomor 3, Januari 1993.
Departemen Komunikasi dan Informasi, Pembangunan Sistem Informasi di Kantor Pemerintah, .
Smith, T.R., S. Menon, J.L. Star, & J.E. Estes. Requirements and Principles for the Implementation and Construction of Large-Scale Geographycal Information Systems, Int. J. Geographycal Information System, 1987.
Venkatesh, V., and Davis, F.D. A Theoritical Extension of the Technology Acceptance Model: Four Longitudinal Field Studies,” Management Science, Vol. 46 No.2, Pebruari, 2000.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846).
Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.
Bookmark and Share
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 18.03 0 komentar
Label: Legal Drafting
Minggu, 04 April 2010
Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang Undangan di Indonesia
1. Pembangunan hukum di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini belum dilakukan evaluasi secara mendasar dan komprehensif terhadap kinerja model hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.
2. Hukum di Indonesia termasuk pembentukannya tampaknya di luar hukum dalam bentuknya yang murni yaitu tidak sesuai dengan dunia ide seperti yang dikemukakan oleh Plato. Machfud MD sendiri terkejut terhadap masyarakat yang heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.
3. Politik hukum, kadangkala juga merambah di lingkungan dalam pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas antar departemen terkait dengan masalah kepentingan sektor dan kepentingan lainnya.
4. Sumber daya manusia, terutama legislator yang dinilai lemah dalam merumuskan dan menuangkan keinginan politik hukumnya dan jumlah perancang peraturan perundang-undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan perundang-undangan.
5. Berdasarkan data yang ada, dapat diketahui bahwa saat ini ada ratusan program legislasi dari seluruh departemen/LPND, baik yang telah selesai disusun maupun yang dalam proses penyusunan, termasuk persiapan naskah akademiknya dan proses harmonisasi di Departemen Hukum dan HAM.
6. Peran Legislatif sebagai proses utama pembentukan undang-undang sering kali terabaikan karena banyaknya pekerjaan di luar pembentukan RUU yang harus diemban oleh anggota dewan, misalnya pekerjaan-pekerjaan melakukan fit and proper test untuk jabatan pemerintahan tertentu dan raker-raker lain di luar pembentukan rancangan undang-undang.
7. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan Pemerintah dilakukan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan;
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
8. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan:
a. Falsafah Negara;
b. Tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;
c. UUD Negara RI Tahun 1945;
d. undang-undang yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya; dan
e. kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.
9. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri. Dalam hal konsepsi RUU tersebut disertai dengan naskah akademis, maka naskah akademis dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
10. Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
a. Urgensi dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. Jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas adalah:
a. Menetapkan Perpu menjadi UU;
b. Meratifikasi atau perjanjian internasional;
c. Mengatasi keadaan luar biasa, kedaan konflik, atau bencana alam;
d. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.
11. Perlu tidaknya naskah akademis dalam Perpres tersebut merupakan pilihan bagi Pemerintah untuk menyediakan, sedangkan bagi DPR-RI melalui Tata Tertibnya, penyediaan naskah akademis diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara tidak langsung, kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu menyediakan. Jika Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU yang diajukan tidak dapat masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
12. Kesulitan lain yang dihadapi oleh Departemen Hukum dan HAM adalah masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan pengaturan kewenangan yang dimilikinya. Yang lebih sulit lagi adalah apabila RUU tersebut merupakan inisiatif DPR yang di dalamnya mengatur banyak kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya. Dengan demikian, harmonisasi dilakukan pada saat pembahasan yang sebelumnya dipersiapkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
13. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa untuk menunjang pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan. Makna "berkualitas" sebagaimana ditentukan dalam penjelasan tersebut tampaknya akan mengalami hambatan dan tantangan tersendiri dalam bidang kepemerintahan karena masih berbenah di sana-sini mengingat jabatan tersebut relatif anyar atau baru dibanding jabatan fungsional lainnya seperti jabatan peneliti atau jaksa penuntut umum. Mencari format mengenai kompetensi dan sertifikasi jabatan fungsional perancang serta kurikulum dalam diklat perancang, diperlukan kerja keras dan ketekunan yang luar biasa. Hal ini masih dalam proses penyelesaian di lingkungan Departemen Hukum dan HAM.
14. Perancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun peraturan perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. Kedudukan jabatan fungsional termasuk dalam rumpun hukum dan peradilan dan tugas perancang adalah menyiapkan, melakukan dan menyelesaikan seluruh kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di lingkungan unit peraturan perundang-undangan instansi pemerintah.
15. Permasalahan klasik yang selama ini dihadapi dalam penyediaan perancang adalah kurangnya kualitas dan kuantitas perancang dibeberapa instansi pemerintah karena salah satu masalah yang belum seluruhnya dipecahkan adalah ketersediaan kurikulum di fakultas hukum baik pada universitas negeri maupun swasta mengenai mata pelajaran wajib tentang perancangan peraturan perundang-undangan, sehingga lulusan sarjana hukum kurang memahami mengenai perancangan peraturan perundang-undangan. Bidang yang satu ini juga sering menjadi pertanyaan bagi dekan faklutas hukum, apakah termasuk pada bidang hukum tata Negara atau hukum administrasi Negara atau hukum tata pemerintahan atau bidang tersendiri. Departemen Pendidikan Nasional harus sudah menentukan bahwa bidang perancangan peraturan perundang-undangan merupakan kurikulum wajib (bukan pilihan) dan ditetapkan jumlah SKS-nya sesuai dengan kebutuhan, misalnya diperlukan jam mata kuliah pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan.
16. Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan perundang-undangan adalah mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis peraturan perundang-undangan dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma peraturan harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas masing-masing yang berasal dari delegasian peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau sederajat.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 22.17 0 komentar
Label: Legal Drafting
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan di Indonesia
1. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum dan dibuat secara sistematis sesuai dengan jenis dan hierarki yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, proses pembentukan undang-undang yang baik, harus diatur secara komprehensif baik mengenai proses perencanaan, penyiapan, pembahasan, pengesahan sampai dengan pengundangan.
2. Sering dijumpai banyak undang-undang yang kurang efektif setelah undang-undang tersebut diundangkan, bahkan banyak sekali undang-undang yang baru di sahkan menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat sampai adanya keinginan dibatalkannya undang-undang tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur hukum dan bertentangan dengan kaidah hukum, sehingga dalam menyusun undang-undang diperlukan langkah-langkah:
a. perencanaan yang matang dalam merumuskan suatu undang-undang;
b. harus melalui prosedur untuk mengantisipasi terjadinya cacat hukum terhadap undang-undang tersebut;
c. diperlukan kehati-hatian dalam merumuskan suatu undang-undang;
d. konsentrasi yang penuh terhadap bidang yang akan diatur.
3. Dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang yang harus diperhatikan diantaranya :
a. Mengapa membentuk undang-undang ?.
b. Untuk apa undang-undang dibentuk? ( harus ada maksud dan tujuan).
c. Bagaimana jika undang-undang itu berlaku? (terhadap anggaran, ahlinya dan lain-lain).
4. Secara teknis seorang perancang dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang juga harus memperhatikan masalah kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan, di mana sebelum perubahan UUD kewenangan pembentuk peraturan perundang-undanagan ada di pemerintah tetapi setelah perubahan UUD pembentukan undang-undang ada di DPR, Poinnya bahwa pemerintah tidak mempunyai kewenangan membuat undang-undang tetapi disisi lain ada undang-undang yang menyatakan adanya persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR sehingga hal ini tidak ada pemisahan yang jelas dan benar antara DPR dan Pemerintah dalam hal kewenangan pembentukan undang-undang.
5. Kenyataan yang terjadi bahwa inisiatif pemerintah lebih banyak dilakukan dari pada DPR dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini disebabkan karena yang mengetahui betul kebutuhan undang-undang adalah pemerintah, sedangkan DPR dalam rangka meningkatkan fungsinya, sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan, DPR membentuk Badan Legeslatif (baleg) yang fungsinya menyusun RUU secara prioritas (prolegnas).
6. Dengan demikian bahwa DPR dan Pemerintah dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan harus saling koordinasi yang baik. DPR akan lebih baik dalam menyusun prolegnas berkordinasi dengan biro-biro hukum dipemerintahan begitu pula sebaliknya jika pemerintah menyusun RUU juga harus dijelaskan lebih rinci dan kongkret maksud dan tujuannya dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang, hal ini dimaksud agar tidak terjadi simpang siur dalam rumusan tersebut sehingga akan lebih akurat dalam rangka pembehasan antara pemerintah dan DPR.
7. Dalam rangka mendesain suatu undang-undang seorang perancang harus memegang kunci dasar pokok yang tidak boleh dilupakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya :
a. sebutan berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa
b. persetujuan bersama pemerintah dan DPR
c. pengesahan
d. Pengundangan
8. Dalam merumuskan suatu rancangan undang-undang akan lebih baik jika diawali dengan naskah akademis, yang fungsinya antara lain :
a. sebagai dasar yang kuat untuk pembentukan peraturan perundang-undangan;
b. sebagai bahan untuk menjelaskan pembentukan peraturan perundang-undangan di DPR dalam pemandangan umum;
c. selain sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undagan juga bisa sebagai dasar dalam menyusun perjanjian, pembentukan provinsi, pembentukan pengadilan dan lain-lain yang berkaitan dengan peraturan.
9. Sehingga naskah akademis ini sangat penting untuk dipublikasikan kemasyarakat luas, keuntungan apabila naskah akademis tersebut di publikasikan, diantaranya:
a. jika ada yang keberatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut bisa tidak dilanjutkan;
b. sebagai pendorong pembentukan peraturan perundang-undangan;
c. dasar yang kuat untuk diketahui masyarakat luas alasan pembentukan peraturan perundang-undangan;
d. akan memaksimalkan dalam penyusunan Naskah Akademis ke depan.
10. Dalam rangka pembulatan konsep suatu rancangan undang-undang pengharmonisasian dilakukan akan lebih baik ketika dalam penyusunan naskah akademis hal ini dimaksud untuk menguatkan maksud dan tujuan dibentuknya suatu undang-undang, namun dalam prakteknya hal ini sulit dilakukan sehingga naskah akademis tersebut tidak terpakai disebabkan beberapa hal diantaranya:
a. tidak efektifnya dalam pengharmonisasian ( terjadi ego sektoral),
b. pengharmonsasian tersebut tidak efektif/berantakan tidak ada titik temu dengan pihak yang terkait/berkepentingan, sehingga tidak ada pembulatan konsep.
11. Undang-undang payung.
Bahwa dulu ada undang-undang pokok dan undang-undang tidak pokok, undang-undang ini bermaksud mengayomi undang-undang dibawahnya termasuk undang-undang acara.
12. Vidisikasi.
Undang-undang yang mengatur secara umum untuk semua undang-undang yang berlaku, untuk menguji undang-undang tersebut cukup waktu yang lama sehingga diperlukan kerjasama dengan bidang keilmuan tidak hanya bidang hukum saja.
13. Fungsi di undangkannya peraturan perundang-undangan adalah agar mendapatkan kekuatan hukum mengikat serta diketahui oleh masyarakat luas sehingga setiap orang dapat mengetahui.
Namun dalam pengundangan hanya ditulis “agar setiap orang mengetahui untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat” hal ini tidak dijelaskan secara jelas.
Dengan demikian bahwa pentingya diundangkannya suatu undang-undang untuk di ketahui oleh masyarakat luas maka pengundangan tersebut termasuk bagian dari sosialisasi.
14. Mahkamah Konstitusi.
Perbedaan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Mahkamah Agung (MA) Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan Mahkamah Agung menguji undang-undang yang lebih tinggi.
Mahkamah Konstitusi menguji:
a. Bagaimana jika undang-undang tersebut bertentangan dengan asas-asas hukum.
b. Bagaimana jika undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Agung menguji :
a. Bagaimana jika terjadi pelanggaran pemerintah yang melanggar hukum.
b. Apakah itu perbuatan hukum atau bukan.
15. Keputusan pemerintah administrasi yang bukan termasuk undang-undang tetapi mempunyai kekuatan hukum mengikat (apakah hal ini ada forum untuk pengujiannya)
Mengenai pengujian undang-undang yang lebih tinggi sedangkan dalam pemerintahan kita ada asas pengujian hukum yang lebih baik.
16. Perbedaan amar putusan MK dengan amar putusan MA, MK amar putusannya ( tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat) sedangkan MA amar putusannya ( tidak sah demi hukum)
17. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada intinya bagaimana suatu cara membuat suatu aturan yang baik agar bisa bermanfaat bagi masyarakat luas, sehingga dalam pembentukan suatu undang-undang di perlukan suatu ketelitian, keseriusan, kehati-hatian serta kerjasama yang baik, sehingga tercipta suatu sistem yang baik pula.
Didalam pembentukan peraturan perundang-undangan sistem akan runtuh jika:
a. terlalu bebas di dalam masyarakat
b. banyak buruk sangka dalam masyarakat
c. selalu tidak ditangani oleh bidangnya.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 22.16 0 komentar
Label: Legal Drafting
Teknik Penyusunan UU Bedasarkan UU No. 10 Tahun 2004
1. Ketentuan Umum :
Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, mengenai ketentuan umum diberikan petunjuk pada nomor 72 sampai dengan 82. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal, ketentuan Umum berisi :
a. batasan pengertian atau definisi;
b. singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c. hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
2. Definisi yang digunakan dalam peraturan merupakan ketentuan pendukung, dalam arti digunakan untuk mempermudah pengertian jika terdapat istilah yang bersifat teknis, atau makna yang tidak sepenuhnya dapat diambil dari kamus diantaranya:
a. Penggunaan definisi untuk suatu istilah yang bersifat teknis seharusnya sama untuk semua peraturan perundang-undangan, sehingga memberikan kepastian hukum. Definisi semacam ini disebut juga sebagai Definisi Umum (Algemene Definities).
b. Batasan pengertian (begripsomschrijving) walaupun sama-sama merupakan ketentuan pendukung dalam suatu peraturan, tetapi penggunaannya sedikit berbeda dengan definisi.
c. Batasan pengertian memberikan makna pada suatu istilah yang hanya berlaku pada peraturan yang bersangkutan, artinya pengertian tersebut tidak cocok atau pas jika diterapkan untuk peraturan yang lain.
d. Definisi atau batas pengertian dapat bersifat eksklusif dan inklusif.
e. Praktek yang tidak baik jika :
- memberikan definisi untuk kata yang sudah merupakan pengertian umum;
- memberikan definisi untuk istilah yang tidak terdapat dalam batang tubuh;
- kata atau istilah dalam definisi perlu definisi lagi; dan
- merumuskan norma hukum dalam definisi.
3. Untuk menjelaskan singkatan atau akronim masih digunakan istilah (frasa) yang berbeda-beda ada yang menggunakan “selanjutnya disebut” ada yang menggunakan “selanjutnya disingkat”. Tetapi disarankan untuk selanjutnya digunakan frasa yang tepat yakni “selanjutnya disingkat”.
4. Inti dari ketentuan peralihan sebenarnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap hubungan atau tindakan hukum yang telah dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan yang lama bagaimana penyelesaian atau statusnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru, sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum.Hubungan atau tindakan hukum yang terjadi sebelum, pada saat, maupun sesudah peraturan perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku , tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan baru
5. Ketentuan penutup (Closing Provisions – Slotbepalingen)dimuat dalam lampiran nomor 110 sampai dengan 133 pemahaman yang lebih jelas sebagai berikut :
nomor 111
a. huruf a yang berbunyi : penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan perundang-undangan.
b. huruf b : nama singkat, seharusnya ditulis secara jelas nama singkat peraturan (ceteer titel), sehingga tidak menimbulkan singkatan apa atau siapa.c. huruf c : status peraturan perundang-undangan yang sudah ada
- Ketentuan ini mencakup peraturan perundang-undangan yang sederajat dan Peraturan Pelaksananya.
- Untuk yang sederajat biasanya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6. Untuk peraturan pelaksananya biasanya ditentukan bahwa pada saat undang-undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang dicabut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini. Penempatan ketentuan semacam ini dalam Pasal sebelum Pasal yang memuat pencabutan.
Ketentuan semacam ini sering keliru ditempatkan dalam ketentuan peralihan.
huruf d : saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan harus dirumuskan secara tegas, sehingga tidak rancu.
7. Ketentuan dalam petunjuk nomor 111 ini sering rancu dengan petunjuk nomor 100 dalam ketentuan peralihan. namum jika dicermati esensi dari kedua petunjuk ini berbeda, yakni :
- Pada petunjuk nomor 100, dimaksudkan jika pada peraturan perundang-undangan baru terdapat ketentuan yang pelaksanaan materinya masih memerlukan jangka waktu tertentu, biasanya terkait pengalihan kewenangan untuk menangani sesuatu, maka perlu terdapat ketegasan waktu, kapan peralihan tersebut bisa mulai dilaksanakan.
- Pada petunjuk nomor 111, jelas untuk menetapkan status dari peraturan yang masih ada, masih berlaku atau tidak dengan mulai berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 22.15 0 komentar
Label: Legal Drafting
Perumusan Tindak Pidana Dalam Peraturan Perundang Undangan
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan pedoman dan teknik dasar dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Ketika hal itu menjadi bagian “Ketentuan pidana” dalam undang-undang administratif, maupun ketika merumuskannya dalam undang-undang pidana.
2. Secara umum suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang:
a. subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);
b. perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan
c. ancaman pidana (strafmaat).
Sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya tersebut. Terlalu beragamnya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan bersambungan langsung dengan masalah penafsiran atas ketentuan tersebut, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pencapaian tujuan hukum itu sendiri, seperti kepastian hukum dan keadilan, yang pada gilirannya mempengaruhi efektivitas praktek penegakan hukum.
3. Adressaat norm suatu tindak pidana umumnya di hubungkan dengan suatu istilah yang kerap disebut sebagai “kenmerk”, “elemen” atau”bestanddeel” suatu tindak pidana. Dalam hal ini adalah idiom “hij die” atau di indonesia-kan “barang siapa”.
4. Idiom ‘barang siapa” merujuk kepada addressat suatu tindak pidana, yaitu siapakah yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana
5. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang adalah “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam rumusan tindak pidana, tergantung dari jawaban apakah seseorang tersebut adalah subyek hukum yang dituju oleh norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang memuat suatu tindak pidana.
6. Berdasarkan sejarahnya semua tindak pidana dalam KUHP tertuju pada orang perseorangan, sehingga jelas merupakan kekeliruan ketika praktek hukum mencoba memasukan dalam pengertian “barang siapa” dalam KUHP, bukan hanya terdapat orang perseorangan (naturlijk persoon) tetapi juga korporasi, baik badan hukum ( recht person) ataupun bukan badan hukum untuk mendapat gambaran tentang addressat suatu tindak pidana dapat juga dilakukan dengan melihat hal ihwal kepentingan yang hendak dilindungi oleh norma-norma hukum pidana itu.
7. Ada rumusan tindak pidana yang melarang perbuatan yang “menyakiti”, merugikan atau melukai obyek hukum, seperti pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau pencuruan (Pasal 362 KUHP). Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana di tujukan kepada orang perseorangan (natuurlijke person) atau korporasi (korporatie).
8. Sepintas lalu terlihat ketika ancaman pidana hanya di tujukan terhadap orang perseorangan (KUHP), digunakan sebutan umum “Barang siapa” untuk menujukan addressaat norm-nya.
9. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom “setiap orang”, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah “barang siapa” untuk menujukan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya.
10. Lain lagi halnya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang sekalipun telah menggunakan istilah setiap orang tetapi masih ditambahkan istilah “lembaga” untuk menunjukan addressaat norm-nya. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti “Setiap pihak” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahutentang 1992 Pasar Modal atau “
11. rang asing” dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
12. Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada “saksi” karena saksi adalah orang yang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana. Demikian pula halnya Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengancam pidana bagi “saksi”, sehingga mengacaukan apakah seseorang itu sebagai pelaku pidana ataukah hanya saksi.demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, masih mengancam pidana terhadap perbuata, dengan menentukan: “Percobaan atau permufakatan jahat diancam dengan pidana yang sama”.
13. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang yang harus dibuktikan penuntut umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Tidak pidana pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu.
14. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut.
15. Bukankah hukuman pidana hanya dapat bekerja jika masyarakat mendapat peringatan yang memadai baik mengenai perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan maupun perbuatan yang justru harus dilakukan.dengan demikian, perbuatanya tetap dirumuskan dalam undang-undang.
16. Persoalannya hingga sekarang landasan demikian belum juga dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga terhadap undang-undang diluar KUHP dibentuk dengan suatu asumsi bahwa perbuatan yang dilarang di dalam ketentuan pidana selalu dipandang sebagai dolus, kecuali dinyatakan dengan tegas sebagai delik culpa. Perlu kebijaksanan pembentukan undang-undang untuk menetapkan hanya perbuatan yang dapat terjadi karena kesengajaan pembuatnya saja yang dijadikan tindakan tindak pidana.
17. Dalam peraturan perundang-undangan, kesengajaan seharusnya dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Sementara itu, mengenai kealpaan dapat tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana.
18. Ketentuan pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya (strafmaat), sedangkan perbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif ketentuan administratif ini dapat berupa suatu perintah ataupun larangan.
19. Ketika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan ketentuan administratif yang berisi atau larangan, maka ketentuan administratif tersebut menjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana.
20. Konsekuensinya, dalam lapangan hukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yang di dakwakan (berstanddeelen delict) dan karenanya harus dapat dibuktikan.
21. Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratif tersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindak pidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah ada dalam ketentuan pidana tersebut.
22. Demikian misalnya ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Dalam hal ini rumusan tindak pidananya adalah sebagai berikut:
a. “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 Peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)”.
b. Padahal tindak pidana ini dapat dibedakan dalam “pelanggaran perintah administratif”, yaitu sebagaimana dalam hal terjadi pelanggaran norma administratif yang ditentukan dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 35 ayat (1) peraturan daerah ini; sedangkan tindak pidana sebagai akibat “pelanggaran larangan administratif” terjadi dalam hal melanggar ketentuan Pasal 26 dan Pasal 35 ayat (2) peraturan ini.
23. Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut
24. Antara “perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan “ancaman pidana” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Bahkan “larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru “timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut;
25. Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan kepada pembuatannya
26. Artinya, dengan penjatuhan pidana maka celaan yang objektif ada pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi celaan subyektif kepad pembuatnya. Umumnya pengancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana, dapat mengikuti beberapa model, yaitu;
a. satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu);
b. satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana lain;
c. satu jenis pidana diancamkan secara kombinasi alternatif-kumulatif. Oleh karena itu, pengkajian terhadap rumusan ancaman pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan menujukan adanya keberagaman perumusan ancaman pidana, sebagaimana terurai di bawah ini.
27. Meskipun umumya para ahli sepakat, menggunakan istilah “pidana” tetapi istilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang.
28. Beberapa undang-undang mengunakan istilah “hukum”. dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pidana Pencucian Uang, didepan kata “Penjara” tidak digunakan kata “Pidana”, sehingga tetulis: “…Dipidana dengan penjara…”.
29. Misalnya Undang-Undang Nomor Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, menggunakan idiom ”Pidana denda”.
30. Dalam Pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan “..Dipidana dengan pidana denda…”. Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya menggunakan istilah “Denda” saja tanpa ditambahkah istilah “Pidana” didepannya.
31. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah “Paling lama” untuk pidana penjara dan “ Paling sedikit “ dan “Paling banyak” untuk denda.
32. Sementara itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggunakan istilah “serendah-rendahnya” dan “setinggi-tingginya” untuk menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya.
33. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi khususnya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti, digunakan istilah “Sebanyak-banyaknya” untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan : … Dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun…” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah uraian perbuatannya digunakan istilah “…Diancam dengan pidana penjara..”.
34. Senada dengan hal ini Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya menggunakan istilah “…Dapat dipidana dengan…”lain lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serika buruh, menggunakan anak kalimat: “…Dikenakan sanksi pidana penjara…”.
35. Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindak pidana.
36. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanya terhadap sebagian perbuatan saja (bagian perbuatan yang disebut terakhir).
37. Misalnya Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menentukan :
“Setiap orang yang senada dengan sengaja : Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan atau menyamarkan…,dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara…”.Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagai berikut :
“ Dipidana dengan pidana penjara…..,setiap orang yang: Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan atau menyamarkan…”.
38. Penempatan rumusan ancaman pidana yang tidak tepat secara demikian juga dilakukan pembentuk undang-Undang dalam banyak Undang-Undang diantaranya:
- Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004;
- Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002;
- Pasal 13 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002;
- Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
- Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
- Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63, dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
39. Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum pengancaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung “dan” diantara dua jenis pidana yang diancam) atau model kombinasi alternatif–kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau” diantara dua jenis pidana yang diancamkan).
40. Persoalannya, pada subyek tindak pidana korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan.
41. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetap saja dengan model pengancaman kumulatif hakim.
42. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasurasian.
43. Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman pidana sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP.
44. Umumnya undang-undang menempatkan ancaman minimum khusus ini “didepan” ancaman maksimum khususnya.
45. Dengan demikian, ditentukan : “…dipidana dengan pidana penjara paling singkat… dan paling lama..”.
46. Demikian pula halnya terhadap denda, ditentukan : “… Dipidana dengan denda paling sedikit .. dan paling banyak…” Namun demikian, tidak begitu halnya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
47. Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau “Pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”.
48. Dengan demikian, pidana mati disebutkan lebih dulu daripada pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara seumur hidup disebutkan lebih dahulu dari pada pidana penjara selama waktu tertentu.
49. Argumen ini juga menjadi gugur, jika diperhatikan ketentuan Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
50. Disini ancaman pidana tunggal (hanya pidana penjara selama waktu tertentu), tetapi menggunakan model minimum khusus. Minimum khusus disebutkan kemudian dari pada maksimum khususnya.
51. Sekalipun menggunakan minimum khusus, tetap saja harus disebut lebih dulu daripada maksimum khususnya.
52. Demikian misalnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Terorisme, sekalipun pidana penjara selama waktu tertentu merupakan alternatif dari pidana penjara seumur hidup dan pidana mati, dan dalam hal ini digunakan minimum khusus, maka minimum khusus disebutkan lebih dulu. Berdasarkan hal ini, mestinya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia menentukan: setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara singkat 10 (sepuluh) Tahun dan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
53. Ada tiga model perumusan jumlah pidana. pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim.
54. Kedua, categorization model, dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu.
55. Ketiga, free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim .Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang–undang Nomor 16 Tahun 2000 menggunakan free model. Demikian pula ketentuan Pasal 39 undang-undang tersebut.
56. Hal ini juga “disadari” oleh pembentuk undang-undang ini, karena dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 41 B, ancaman pidana denda disebut dengan tegas (fix model) berapa jumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Demikian pula hanya ketentuan Pasal 51, Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, tidak mencantumkan pidana denda secara jelas dalam ancaman pidana, melainkan diancamkan dengan perkalian nilai cukai yang seharusnya dibayar pelaku.
57. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan ini juga berlaku dalam undang-undang diluar KUHP, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang itu.
58. Padahal Undang-Undang tersebut tidak menyatakan menyimpang dari ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP. Hal ini akan membuka disparitas pidana yang terlalu lebar antara satu tindak pidana dan tindak pidana yang lain.
59. Ketika mencantumkan pidana pokok dalam undang-undang di luar KUHP, umumnya undang-undang menggunakan jenis-jenis pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.
60. Selain yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP, diantaranya adalah:
- Pembatasan gerak pelaku baik bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku (UU 23/2004);
- Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu (UU 23/2004);
- Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana (UU 27/2003);
- Pembayaran uang pengganti (UU 31/1999);
- Pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi (UU Nomor 20 Tahun 2002);
- Kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan (UU Nomor 16 Tqahun 2001);
- Pencabutan izin usaha (UU Nomor 5 Tahun 1999);
- Larangan pada pelaku usaha untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (Dua) Tahun dan selama-lamanya 5 (Lima) Tahun (UU Nomor 5 Tahun 1999);
- Penghentian kegitan lain atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (UU Nomor 5 Tahun 1999);
- Pembayaran ganti rugi (UU Nomor 3 Tahun 1997).
61. Sementara itu, beberap ketentuan yang bersifat punitive tidak jelas apakah masuk sebagai sanksi pidana (straf) ataukah tindakan (maatreegel), misalnya :
- Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 yang menentukan: “Semua benda hasil tindak pidana atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 dapat dirampas atau dimusnahkan oleh Negara sesuai dengan perampasan“.
- Pasal 189 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan: “Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja pekerja/buruh”.
- Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang menentukan : “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemegang izin usaha penyedia tenaga listrik dan pemegang izin operasi diwajibkan untuk memberi ganti rugi”.
- Pasal 78 ayat (15) Undanng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menentukan : ” Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini rampas untuk negara “.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 22.13 0 komentar
Label: Legal Drafting
Politik Hukum Peraturan Perundang Undangan
Abstract
The stipulation of a welfare and law state contributes a consequence that the prevailing law will provide assurances for all nations and each individual from unfair and arbitrarily conducts. The law should protect each citizen so that their rights as a citizen and human rights will be assured. All of these can only be conducted if the terms on the “assurance” are written in the constitution. Within such conception, the politics of law reform should be based on the implementations of nation ideals and or national goals. Thus, the reformed law resulted from the legislation machines can be prevailed nationally, non over lapping, hierarchically structured and based on the constitution. However, if the result is a deviant legislation, then it will still become the implementation of the national goals. Therefore, a grand design should be made so that the politics of legislations has a clear directions and acceleration towards the accomplishments of welfare state. In addition, the nature of the politics of legislations is politics policies that determine which prevailed legislations that will arrange various community and state lives.
Abstrak
Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang tindih, tersusun secara hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika terpaksa dilahirkan perundang-undangan yang menyimpang, maka ia tetap merupakan pelaksanaan tujuan nasional. Untuk itu grand design perlu disusun agar politik hukum perundang-undangan memiliki arah yang jelas dan akselerasi terhadap terwujudnya negara kesejahteraan. Sebab, hakikatnya politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding fathers sejak awal perjuangan kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusia-nya terjamin.
Namun, sejarah menunjukan bahwa selalu saja terdapat kesenjangan atas apa yang diharapkan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Dalam hal ini, meskipun pemerintah telah memiliki idealisme dan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi kesenjangan antara harapan dan cita-cita dengan kenyataan yang terjadi itu. Pemerintah juga telah berjuang, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengatasi keadaan itu, tetapi hasilnya hingga saat sekarang memang belum dapat memuaskan semua warga negara, masih banyak dari mereka yang belum memiliki akses terhadap keadilan (access to justice).
Namun “kesenjangan” yang masih ada seperti itu tidak boleh membuat kita semua kehilangan energi, kehilangan semangat atau menyerah, apa lagi putus asa untuk tetap memperjuangkan. Perjuangan untuk mewujudkan suatu yang ideal memang memerlukan waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Eropa, Amerika dan Jepang di mana sebuah peradaban, tatatanan dan sistem nilainya dibangun dalam waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi.
Oleh karena itu kita semua harus memiliki keyakinan bahwa suatu saat nanti, apa yang menjadi harapan itu akan menjadi kenyataan. Meskipun juga harus disadari bahwa problema kemanusiaan akan selalu muncul sepanjang kehidupan manusia. Karena itu setiap generasi, termasuk generasi sekarang harus berbuat secara maksimal untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga apa yang telah dirintis dan telah diperbuat oleh generasi sekarang akan diteruskan oleh generasi-generasi yang akan datang. Tugas mereka nanti adalah mengatasi masalah yang muncul pada zamannya. Tugas kita adalah menyelesaikan masalah-masalah yang sekarang kita hadapi, sambil memberikan landasan bagi penyelesaian masalah-masalah yang akan muncul di masa depan. Dan landasan itu salah satunya adalah peraturan perundang-undangan, yang merupakan bingkai pelaksanaan pembangunan nasional.
Dari konstruksi berpikir seperti itulah maka ada beberapa hal berikut yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam melaksanakan politik hukum perundang-undangan.
B. Visi Pembangunan Hukum
Kita semua hampir melupakan bahwa gagasan negara berlandaskan konstitusi dan hukum dalam perdebatan pada Sidang Pleno Konstituante saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 ternyata tidak berkembang dan terinternalisasi ke dalam berbagai norma hukum dan praktek hukum, serta ketatanegaraan. Akibatnya, dalam waktu yang cukup lama kita mengalami suatu periode di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam menyelenggarakan berbagai kepentingan, yakni kepentingan kelompok dan kekuasaannya.
Karena itu dengan kembalinya kepada konstitusi hukum yang berlandaskan hak asasi manusia yang diupayakan oleh pemerintahan pasca orde baru melalui amandemen konstitusi sebanyak empat kali tersebut diharapkan mampu mengembangkan prinsip-prinsip negara hukum selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya masyarakat global. Sehingga rule of law tidak lagi dipahami sebagai konsepsi yang tipis (thiner conception) atau formal rule by law, tetapi dipahami sebagai konsepsi yang paling tebal (thicker conception), yakni substantive social welfare.
Selain itu dengan empat kali amandemen yang meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945 tersebut diarahkan untuk mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar. Hal ini jelas dimaksudkan untuk menjadikan semua lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945 memiliki kedudukan sederajat dan berjalannya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), serta merupakan upaya untuk menjadikan UUD 1945 sebagai acuan dasar yang benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution). Hal ini ditujukan agar supremasi konstitusi yang memang dikehendaki dalam sebuah negara hukum dapat diwujudkan.
Berdasarkan prinsip negara hukum seperti itu sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini harus diartikan sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Karena itu pelaksanaan politik hukum perundang-undangan tidak boleh menghadirkan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi demokratische rechsstaat (democratic rule of law).
Sejalan dengan itu agar politik hukum perundang-undangan tetap dalam kerangka implementasi UUD 1945, maka harus selaras dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya, cita-cita pembentukan negara atau biasa disebut tujuan negara itu harus dijadikan alas sekaligus arah dalam setiap penyusunan program legislasi nasional (prolegnas) dan pembahasan dalam penyusunan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Hal ini diperlukan agar konsepsi negara hukum yang demokratis tadi dapat berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara, yakni welfare rechsstaat. Atau dalam bahasa sederhananya bahwa pelaksanaan politik hukum melalui pembaharuan hukum harus mampu membawa kemajuan, melindungi seluruh tumpah darah dan mensejahterakan seluruh warga negara.
C. Politik Hukum Unifikasi Hukum
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan dan setelah diundangkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 seharusnya segera berlaku suatu sistem hukum nasional yang utuh guna menghapus semua warisan hukum pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini disadari karena hukum-hukum kolonial itu tidak selaras dengan cita-cita proklamasi, juga bersifat menindas dan eksploitatif. Namun pada kenyataannya hukum-hukum itu tetap dipakai sebagai rujukan dan dipertahankan untuk menghindari kekosongan hukum.
Bersamaan dengan itu perundang-undangan ternyata juga masih mengakui berlakunya hukum adat, dan hukum Islam. Karena itu, politik hukum unifikasi dalam pembaharuan hukum dilaksanakan untuk mendorong kebijakan pembaharuan hukum yang mengarah pada penggantian hukum-hukum warisan kolonial, dan pengkooptasian hukum adat yang sangat beragam serta hukum Islam menjadi hukum positif negara.
Sementara itu ketentuan hukum-hukum internasional yang tercipta akibat masuknya Indonesia sebagai anggota organisasi badan-badan internasional, regional dan atau kerjasama bilateral serta ratifikasi berbagai perjanjian maupun yang berkaitan dengan hak asasi manusia juga telah berimplikasi terhadap kewajiban negara untuk membuat undang-undangnya, bahkan sekaligus kewajiban untuk menyelaraskan prinsip-prinsip hukum nasional yang kita miliki terhadap instrumen-instrumen internasional di mana kita terkait di dalamnya.
Pluralisme hukum tersebut juga diperbanyak oleh berkembangnya peraturan daerah (perda) sebagai dampak penyelenggaraan otonomi daerah serta aturan-aturan tertulis di luar tata urutan perundang-undangan. Di mana ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut lebih menekankan pada peran dan kekuasaan lembaga-lembaga negara (termasuk pemerintahan daerah) dalam membentuk dan menafsirkan hukum tertulis guna mencapai tujuan lembaga-lembaganya.
Karena itu, dalam pelaksanaan politik hukum unifikasi tidak sepenuhnya dapat terlaksana. Kekuasaan negara untuk melakukan unifikasi hukum tetap saja terbatas. Bahkan dalam negara yang menganut sistem politik totaliter sekalipun, tidak begitu saja dapat menghapuskan keanekaragaman hukum yang hidup dan berkembang di wilayah kekuasaannya. Karena selain keterbatasan kemampuan negara tadi, hukum dalam kenyataannya tidak semata-mata “ditemukan” dalam masyarakat seperti yang dipikirkan oleh von Savigny. Hukum hakekatnya adalah aturan atau ketentuan yang merupakan hasil interelasi sistem sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai dalam masyarakat, perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah kekuasaan. Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan dominasi sistem politik yang menyelimuti. Di mana dari berbagai penilitian yang telah ada dapat disimpulkan; (1) dalam negara yang memiliki sistem politik demokratik, produk hukumnya berkarakter populis, progresif, dan terbatas interpretasi, dan (2) dalam negara yang memiliki sistem politik non-demokratik, produk hukumnya berkarakter elitis, konsevatif dan terbuka interpretasi.
Meskipun demikian, yang terpenting dalam politik hukum unifikasi perundang-undangan ini adalah bagaimana mengambil sebanyak mungkin nilai-nilai dari plurailisme hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat tersebut menjadi hukum positif negara, sehingga hukum yang dilahirkan dapat diterima oleh seluruh warga negara sebagai energi positif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Karenanya, kemungkinan masih adanya pluralisme hukum di masa yang akan datang semata-mata hanya untuk mewadahi kearifan lokal yang memang merupakan kekhasan daerah dan atau etnis tertentu yang justru memberikan keuntungan lebih jika tidak dilaksanakan politik hukum unifikasi secara kaku.
D. Politik Legislasi Pasca Amandemen
Ternyata tidak saja lembaga-lembaga negara kemudian menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan yang fundamental. Dari yang semula presidensial heavy, bergeser ke DPR. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Tidak hanya sampai disitu, perubahan tersebut diikuti dengan berubahnya pula Pasal 20 UUD 1945, yaitu (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rencangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang; (5) dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Perubahan Pasal 20 UUD 1945 ini jelas menghilangkan dominasi presiden dalam proses pembentukan undang undang, dan sekaligus menggesernya ke DPR.
Fungsi legislasi DPR itu juga menunjukkan adanya superioritas terhadap fungsi legislasi DPD. Karena DPD hanya diberi kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, meskipun DPD memiliki ruang dalam proses legislasi, tetapi tidak cukup untuk dapat mengatakan bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi. Sebab, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai pemberian persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Superioritas atau monopoli fungsi legislasi DPR seperti itu ternyata telah menjadi catatan banyak pakar untuk perlunya koreksi terhadap Pasal 20 hasil amandemen tersebut. Karena, dalam lembaga perwakilan rakyat yang menganut sistem bikameral, dua lembaga yang ada memiliki harmoni kewenangan dalam fungsi legislasi. Dalam hal ini, meskipun Majelis Tinggi (Senates/House of Lords) tidak memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang tetapi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis Rendah (Kongress/House of Representatives). Di beberapa negara, jika kewenangan seperti itu tidak ada, maka House of Lords diberi hak untuk dapat menunda pengesahan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan dari House of Representatatives.
Hal yang demikian itu tentu dimaksudkan agar fungsi legislasi DPR tidak dijadikan kekuatan politik untuk melanggengkan kepentingan partai-partai politik yang mendominasi DPR. Sebab, menurut banyak pakar, dengan fungsi legislasi DPR yang ada sekarang ini sering digunakan sebagai instrumen untuk memproduksi undang-undang yang memperkuat supremasi DPR dengan tanpa dialasi kebutuhan rasional.
Pendapat seperti itu tentu debatable, sebab meskipun DPD tidak memiliki fungsi legislasi secara utuh tatapi tidak serta merta politik hukum perundang-undangan kita telah menyimpang dari konstitusi. Karena jika hal yang demikian itu terjadi maka pihak yang berkepentingan yang memiliki legal standing dapat mengajukan keberatan terhadap isi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Yang terpenting dalam kaitan dengan fungsi legislasi DPR ini adalah bagaimana program legislasi nasional yang merupakan instrument utama perencanaan program pembentukan hukum nasional, yang ditetapkan setiap tahun itu merupakan kebutuhan rasional bangsa dan negara. Sejalan dengan itu berbagai langkah perbaikan dalam penataan kelembagaan berikut fungsinya, termasuk DPD dapat dicapai secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar perundang-undangan yang telah dibentuk dapat menjadi “bagian-bagian” dari bangunan yang berpondasi UUD 1945. Persoalannya adalah bagaimana kita segera dapat menyusun grand design bangunan rumah undang-undang kita, agar dapat dibayangkan bentuk arsitekturnya sehinga dapat dijadikan acuan dalam mengkonstruksi politik hukum perundang-undangan nasional.
E. Harmonisasi Hukum
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa dalam negara hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Di mana setiap norma hukum dalam sistem tersebut tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan norma hukum yang lainnya.
Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga jika terjadi konflik antar norma-norma tersebut maka akan tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam konstitusi.
Karakteristik dari norma hukum yang bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan legitimitas. Di mana suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri. Dalam karakteristik tersebut maka berlaku prinsip-prinsip, antara lain lex posterior derogate legi priori (norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), lex superior derogate legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya membatalkan norma hukum yang lebih rendah), dan lex specialis derogate legi generalis (norma hukum yang bersifat khusus membatalkan norma hukum yang bersifat umum).
Namun demikian terhadap prinsip hukum yang terakhir di atas (baca: lex specialis) tersebut tentu berlaku yang sebaliknya, artinya merupakan keadaan “menyimpang” dari ke-harmonisasian norma-norma dalam tatanan hirarki sistem hukum nasional. Hal ini tentu hanya boleh terjadi apabila norma-norma hukum yang umum memang tidak jelas atau mengatur norma hukum yang memang dibutuhkan. Sehingga meskipun lex specialis dapat dipandang sebagai suatu “masalah” dalam politik harmonisasi hukum, ia masih berada dalam koridor atau kerangka hukum beralas dari norma-norma dasar dalam konstitusi.
Dalam kaitan politik harmonisasi hukum tersebut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain diatur: (1) mengenai asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5; (2) materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6; (3) jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7; dan Bab V tentang pembentukannya. Di mana khusus tentang “harmonisasi” dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini memang hanya disebut satu kali, yakni dalam Pasal 18 ayat (2). Dalam Pasal ini disebutkan; “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan” (baca: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia).
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu kementerian, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dikandung maksud agar norma-norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain. Sayangnya dalam politik harmonisasi hukum ini tidak mutatis mutandis diberlakukan terhadap rancangan undang-undang hasil inisiatif DPR, dan juga jenis peraturan perundang-undangan yang lain: (a) Peraturan Pemerintah; (b) Peraturan Presiden; (c) Peraturan Daerah. Akibatnya, secara normatif terhadap peraturan perundang-undangan itu tidak terikat “proses” harmonisasi dalam pembentukannya. Bersyukur bahwa dalam penyusunan jenis peraturan perundang-undangan tersebut secara konvensi prosesnya juga diharmonisasikan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun jelas hal itu tidak mengikat secara hukum, padahal politik harmonisasi ini sesungguhnya wajib hukumnya. Hal ini diperlukan guna meminimalisir judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Selain itu politik harmonisasi hukum sendiri adalah keniscayaan dalam suatu negara hukum.
F. Penutup
Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu visi pembangunan hukum yang merupakan arah kebijakan politik hukum nasional juga harus diletakan di atas tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan oleh founding fathers kita dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan supremasi konstitusi dan menjadikan konstitusi benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Dalam hal itu, maka politik hukum pembaharuan peraturan perundang-undangan diarahkan menuju unifikasi hukum yang harmonis dalam bingkai grand design, sehingga norma-normanya tidak saling bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal, atau bahkan menjadikan hukum kita “lepas dari orbit”. Meskipun harus disadari bahwa unifikasi dan harmonisasi dapat saja terlanggar, sepanjang hal tersebut karena ke khas-an Indonesia, lex specialis dan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavy nya telah bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai” untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation, maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat diwujudkan. People are the true legislators, and parlemen is people representative.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Basah, Sjachran, 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum, Armico, Bandung
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Carney, Gerard, 1993. Sparation of Powers in the Westminster System, Parliement House Brisbane, Australia
Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hamilton, Lee H., 2004. How Congress Works and Why You Should Care, Indiana University Press, New Heaven
Jimly Asiddiqie, 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah pada Syposium Nasional BPHN, Jakarta
______________, 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, BIP, Jakarta
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York
Kusumaatmadja, Mochtar, 1986. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung
Lijphart, Arend, 1999. Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in Thirtysix Countries, Yale University Press, New Heaven and London
Logeman, J.H.A., 1975. Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Iktiar Baru-Van Hoeve, Jakarta
Lubis, M. Solly, 1992. Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung
Manan, Bagar, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, IND-Hill, Co, Jakarta
Rajaguguk, Erman, 1999. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, FH UII, Yogyakarta
Rasjidi, Lili, 1996. Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Rawls, John, 1973. A Theory of Justice, Oxford University Press, New York
Saragih, Bintan R., Tanpa Tahun. Politik Hukum, Pusat Studi HTN Univ. Trisakti, Jakarta
Sidharta, Bernard Arief, 1999. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung
Tourine, Alain, 1997. West is Democracy?, West Press, Colorado
Utrecth, E, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Rabu, 18 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar