Kamis, 12 Agustus 2010

Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi oleh Prof DR Esmi Warassih Pujirahayu, SH.MS

A. CITA HUKUM
1. Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya mengatur tingkah laku dalam masyarakat tetapi hukum lebih sudah berkembang sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of social enginnering) mengikuti proses yang berlaku dalam berbagai bidang baik secara sosiologis, kultur, politis maupun ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Hukum sebagai sarana ini tercetus pada hasil keputusan Seniman Hukum Nasional ke III tahun 1974 di Surabaya sebagai berikut “ Perundang-undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan sedang berkembang merupakan sarana untuk merealisasikan kebijakan Negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan, keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan nasional”

Pengertian Hukum
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam kehidupan bersama ; keseluruhan tentang tingkah laku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi )
Namun demikian hingga sekarang belum diperoleh pengertian hukum yang memadai dengan kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk dan meliputi segala lapangan kehidupan yang meliputi beberapa aspek seperti aspek filosofis, sosiologis, kultur, politis, religi, iptek maupun aspek yuridis normatif itu sendiri.
Hukum sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat karena mengatur perilaku dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, untuk itu melalui proses tertentu dan merupakan keputusan pejabat yang berwenang serta berisi jalinan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat.

Tujuan Hukum
Hukum sesungguhnya merupakan karya manusia sebagai cerminan kehendak dan sasaran-sasaran masyarakat yang ingin dicapainya.
Teori tentang tujuan hukum :
a. Teori Etis
Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan, salah seorang pendukung teori ini adalah Geny ). Keprihatinan mendasar dari teori etis ini berfokus pada dua pernyataan tentang keadilan, yaitu (1) menyangkut hakikat keadilan dan (2) menyangkut isi atau norma untuk berbuat konkrit dalam keadaan tertentu.
Menurut para penganut teori etis, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuaan, misalnya antara orang tua dan anak, majikan dan buruh, hakim dan yustiabel, pemerintah dan warganya serta kreditur dan debitur ).
Idealnya hakekat keadilan itu harus dilihat dari dua belah pihak. Kesulitan yang timbul yaitu terletak pada pemberian batasan terhadap isi keadilan, akibatnya dalam praktek ada kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap rasa keadilan hanya menurut pihak yang menerima perlakuan saja.
Menurut Aristoteles keadilan dibedakan menjadi dua macam keadilan yaitu :
• Yustisia Distributiae, yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya,
• Yustisia Commutative, yang menghendaki setiap orang mendapatkan hal yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).

b. Teori Utilitas
Penganut teori ini antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (The greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi sejumlah orang yang terbanyak.

c. Teori Campuran
Bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.
Disamping ketertiban, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda, baik isi mapun ukurannya menurut masyarakat dan zamannya )

Fungsi-fungsi Hukum
Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu : )
1. menetapkan hubungan antara anggota masyarakat dengan menunjukan jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2. menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sankinya yang tepat dan efektif;
3. menyelesaikan sengketa;
4. memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah.

Hukum pada dasarnya mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pada masyarakat sederhana yang masih kecil jumlahnya, dimana pola hubungan antara para anggota masyarakat terjalin sangat erat berdasarkan azas kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan yang sama dan mempunyai lingkungan yang relatif stabil maka penyelenggara keadilan lebih nampak mudah. Dalam suasana kebersamaan seperti itu keterperincaian tata aturan tidak terlalu diutamakan, bahkan peraturan-peraturan tidak resmi yang dipandang sebagai standar bertingkah laku dalam masyarakat dianggap sudah sangat memadai. Hart menyebutkan tatanan hukum seperti itu sebagai Primary Rules of Obligation. Kelemahan yang dijumpai pada peraturan yang demikian adalah ketidakpastian karena ikatan peraturan yang tidak merupakan satu sistem, peraturan-peraturannya bersifat statis dan cara-cara mempertahankan tatanan hukum itupun tidak dilakukan secara efisien.
Sebaliknya dalam masyarakat yang sudah semakin komplek, tidak cukup tatanan hukum primer (primary rules) melainkan sudah membutuhkan tatanan hukum yang memiliki kewajiban sekunder (secondary rules of obligation), peraturan-peraturan sekunder itu antara lain peraturan-peraturan yang berisikan tentang pengakuan norma tertentu (rules of recoguition) sehingga jelas dan pasti apa yang merupakan kaidah mengenai perbuatan atau hubungan tertentu, peraturan-peraturan yang menggarap perubahan-perubahan (rules of change) dan peraturan bagi penyelesaian sengketa (rules of adjudication). Beranjak dari sini, maka kedepan perlu pengaturan dalam pengelenggaraan keadilan secara lebih terorganisasi )
Hukum sebagai suatu sistem norma, menurut Hane Kelsen dalam teori Stufen yaitu hukum dalam sistem berjenjang dengan susunan piramida terbalik, yang tertinggi adalah Grund norm sebagai cita hukum hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut individual norm. Oleh karena itu dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Pemahaman ini semakin penting artinya Hukum harus efisien, eksis dan mengandung sanksi sebagai suatu sistem norma mempunyai daya guna dalam menjalankan tugasnya dalam kehidupan masyarakat.

2. Fungsi Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis.
Cita Hukum atau grundnorm merupakan kunci pembentukan Hukum bagi Negara kita Indonesia. Cita Hukum (Rechtsidee) tidak lain adalah Pancasila karena cita Hukum ada didalam cita bangsa Indonesia baik berupa gagasan, rasa, cipta dan pikiran, sedangkan Hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada nilai-nilai tersebut.
Dalam pembentukan Hukum agar mencapai sasaran dengan cara yang sebaik-baik nya perlu kiranya bantuan dari Sosiologi Hukum, Tata Hukum dan ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan, artinya masalah pengaturan oleh Hukum bukanlah semata persoalan-persoalan legalitas formal yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur Hukum, melainkan juga tentang bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh Hukum.
Apalagi kehidupan dewasa ini semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung menjadikan pranata Hukum sebagai sandaran nya. Oleh karena itu pemahaman yang luas tfungsi Hukum di zaman sekarang menjadi sangat penting artinya dalam pembentukan Hukum yang demokratis terlebih dahulu melalui konteks pemahaman masalah baik secara sosiologis maupun politis. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan peraturan harus sudah melalui tahapan sosio – politis secara final dan proses ini memerlukan waktu yang panjang.
Dari proses ini akhirnya dapat diprediksikan seperti apa norma yang akan lahir ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma Hukum tersebut.
Dengan memasukkan tahapan sosiologis dan politis sebagai bagian dari kegiatan penyusunan produk Hukum yang demokratis, sesungguhnya bukan sekedar proses Yurudis, akan tetapi merupakan proses yang melibatkan berbagai komponen sistem yang cukup rumit dan berragam. Pemahaman yang demikian akan menjadi titik tolak untuk menilai apakah sesuatu produk Hukum yang dihasilkan itu berkualitas atau tidak, apakah didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau ditentang.
Keadaan Hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis. Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi Hukum yang responsive sehingga dapat menjawab berbagai tuntutan di masyarakat. Hal ini dapat tercapai bila legal and political aspiration integrated, occees eularged by integrated of legal and social advocacy. Disamping itu penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis membutuhkan partisipasi, problem centered dan pendelegasian yang lebih luas.

3. Pergeseran Paradigma Hukum : Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral.
Pergeseran Paradigma Hukum dari Paradigma kekuasaan menuju Paradigma Moral membutuhkan dukungan semua komponen bangsa terutama kaum intelektual akademisi dengan mengembangkan pokok-pokok pikiran, ide-ide, konsep dan pemikiran yang positif agar gerakan reformasi ini dapat mencapai tujuan yang dapat dinikmati oleh semua rakyat Indonesia.
Kehidupan Hukum Indonesia yang cenderung berkiblat pada paradigma kekuasaan. Kehidupan Hukum yang demikian itu menuntut suatu perombakan mendasar dengan menggantikan paradigma kekuasaan dengan paradigma moral agar Hukum tampil lebih demokratis dan dapat merespon kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam cita Hukum kita.
Transformasi Hukum dalam era global mengharuskan Indonesia untuk menata sebuah tatanan Hukum Nasional yang tidak hanya memperhatikan karakteristik-karakteristik local, melainkan juga perubahan-perubahan yang terjadi ditingkat global. Terutama sekali dalam hal mempersiapkan bangsa ini menghadapi millennium ke 3. Tantangan yang cukup berat terutama bagi kalangan akademisi adalah tanggung jawab untuk secara aktif dan ketulusan kita membantu, menggali, membahas, menemukan dan memberikan makna bagi setiap isu yang muncul kepermukaan, agar dapat diketemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan akibat reformasi disegala bidang kehidupan baik politik, ekonomi maupun Hukum menuju terciptanya masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai dasar Pancasila.
Dalam era globalisasi ini yang merupakan proses kebudayaan dimana ada kecenderungan wilayah di dunia menjadi satu dalam format social – politik – ekonomi. Disatu sisi globalisasi menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahan material, sementara disisi lain menciptakan berbagai problem sosial (budaya konsumtif), memicu peningkatan kriminalitas, korupsi, kerusakan ekologi, gaya hidup baru, dan sebagainya.
Untuk menghindari budaya konsumtif (consumer culture) perlu diciptakan iklim yang demokratis agar dapat menumbuhkan kesadaran Hukum dan kesadaran kritis bagi semua lapisan masyarakat dalam mewujudkan lembaga atau institusi yang dapat memberikan perlindungan dan keadilan (misalnya perlindungan konsumen, etika bisnis, etika profesi, etika periklanan beserta alat kontrolnya).
Untuk mengaktualisasikan tujuan membentuk masyarakat madani yang berdasarkan cita Hukum Pancasila, maka perubahan pada paradigma dalam tatanan Hukum perlu diwujudkan dalam setiap tahap pekerjaan Hukum. Tugas berat ini perlu didukung oleh sumber daya manusia yang dididik dengan kurikulum yang diorientasikan terwujud nya cita-cita bangsa. Tanpa melibatkan unsur pendidikan, khususnya pendidikan Hukum mustahil reformasi Hukum yang berparadigma moral dapat berhasil.
Demikian pula perlu penataan kembali secara simultan bidang ekonomi, politik dan membangun budaya Hukum yang dilandasi oleh nilai-nilai dasar bangsa yang terumus secara normative, selain itu dalam mengimplementasikan nilai-nilai dasar bangsa tidak boleh mengabaikan aspek kenyataan sosial ditingkat domistik maupun internasional. Langkah ini penting dilakukan karena masing-masing karena masing-masing sub system tersebut saling merasuki secara intensif.Oleh karena itu Hukum hendaknya benar-benar memiliki fungsi sebagai pengintegrasi yang menerima, mengolah dan menghasilkan berbagai masukan dari sub sistem-sub sistem tersebut.

B. BUDAYA HUKUM.
1. Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum
Pada hakekatnya Hukum mengandung ide atau konsep. Konsep yang abstrak, sekalipun abstrak tapi dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut kedalam masyarakat. Rangkaian kegiatan ini dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan yang merupakan suatu proses penegakkan Hukum.
Ketika hukum yang srat dengan nilai-nilai itu hendak dilaksanakan, maka hukum harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan sosialnya.












Penegakkan Hukum hendaknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri melainkan selalu berada diantara berbagai faktor, hubungan Hukum dengan factor-faktor non Hukum terutama factor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya disebut dengan Kultur Hukum.
Hukum sebagai system yang selalu berorientasi pada suatu tujuan dan system itu selalu berinteraksi dengan system yang lebih besar yaitu lingkungannya dan bekerjanya system itu menciptakan sesuatu yang berharga.
Pemahaman sistem yang demikian itu mengisyaratkan bahwa persoalan Hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Disatu sisi Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan dipayungi oleh suatu norma dasar yang disebut grund norm atau basic norm. Norma dasar itulah yang dipakai sebagai dasar sekaligus pembentuk penegakkan Hukum. Sebagai system nilai, maka grund norm itu merupakan sumber nilai dan juga sebagai pembatas dalam penerapan Hukum.
Dari perspektif yang lain, Hukum merupakan bagian dari lingkungan sosialnya. Dengan demikian, Hukum merupakan salah satu sub sistem diantara subsistem-subsistem sosial lain, seperti sosial, budaya, politik dan ekonomi. Itu berarti Hukum tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerja nya. Disini tampak bahwa Hukum berada diantara dunia nilai atau dunia ide dengan dunia kenyataan sehari-hari yaitu dunia nilai dan dunia realitas )
Faktor kultur Hukum memegang peranan yang sangat penting didalam penegakkan Hukum. Kultur Hukum berfungsi untuk menjembatani sistem Hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang menggunakan atau tidak menggunakan dan patuh antara tidak patuh terhadap Hukum sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat.

2. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum.
Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan Hukum. Campur tangan Hukum yang semakun meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan Hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan artinya Hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi masyarakat yang sedang membangun, Hukum selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat, kearah yang lebih baik. Oleh karena itu peranan Hukum semakin menjadi penting dalam mewujudkan tujuan itu.
Fungsi Hukum tidak cukup hanya sebagai kontrol sosial melainkan fungsi Hukum diharapkan untuk melakukan usaha menggerakkan rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Untuk bertingkah laku sesuai dengan ketentuan Hukum inilah diperlukan kesadaran Hukum dari masyarakat karena faktor tersebut merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan Hukum dengan tingkah laku anggota-anggota masyarakat.
Menurut Lawrence M. Friedman hal ini terkait erat dengan budaya-budaya Hukum, yang dimaksudkan dengan Budaya Hukum disini adalah berupa katagori nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi bekerja nya Hukum.
Sekarang ini fungsi Hukum seolah-olah sedang mengalami pergeseran, itu berarti Hukum harus mendukung usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk membangun masyarakat baik secara phisik maupun spiritual.
Hukum menjadi sarana bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan untuk menetapkan dan menyalurkan berbagai kebijaksanaan pembangunan. Dengan demikian segala kebijaksanaan pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan terbuka melalui institusi yang nama nya Hukum. Disini Hukum menjadi sandaran bagi semua pihak, terutama instansi yang terlibat di dalam proses pembangunan atau pelaksanaan keputusan-keputusan pembangunan )
Namun harus diakui bahwa pembuat kebijaksanaan mempunyai kedudukan sosial yang berbeda dengan mereka yang menjadi sasaran kebijaksanaan, bahkan posisi pembuat kebijaksanaanlah yang lebih strategis dan menentukan dalam posisi inilah mereka “cenderung” menetapkan keputusan yang lebih mencerminkan nilai-nilai dan keinginan-keinginan dari golongan mereka. Kebijaksanaan menyangkut peningkatan kesejahteraan hanyalah merupakan tanggung jawab mereka sebagai golongan elite yang sedang berkuasa- Dengan demikian, para pengambil kebijaksanaan dapat dengan leluasa membuat apa saja, termasuk menjatuhkan pilihannya kepada sistem Hukum yang modern rasional sebagai saluran legitimasi. Sementara seluruh hal yang diputuskan tidak selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat untuk menerimanya, akibatnya apa yang diputuskan melalui Hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai, sikap-sikap serta pandangan-pandangan yang telah dihayati oleh anggota masyarakat.



Hukum Modern dan Budaya Hukum.
Sistem Hukum yang modern mempunyai cirri-ciri tertentu. Menurut Marc Galanter, sistem Hukum yang modern bersifat teritorial, tidak bersifat personal, universitalitas, rasional, Hukum dinilai dari kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat )
Membicarakan persoalan Hukum yang demikian itu senantiasa dikaitkan dengan basis sosial dimana Hukum itu bekerja. Ternyata perkembangan struktur sosial Indonesia kurang sesuai dengan Hukum modern yang dikembangkan elite penguasa. Dengan kata lain struktur sosial bangsa Indonesia belum seluruhnya diserap oleh Hukum modern sebagai basis sosialnya. Akibatnya banyak contoh yang menggambarkan kepincangan pelaksanaan Hukum modern buatan elite penguasa.
Nenurut Lon Fuller ada 8 (delapan) prinsip legalitas yang harus diikuti dalam membuat Hukum, yaitu : )
- harus ada peraturannya terlebih dahulu
- peraturan itu harus diumumkan secara layak
- peratutan itu tidak boleh berlaku surut
- perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci serta harus dapat dimengerti oleh rakyat
- hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
- diantara sesame peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
- peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah
- harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat Hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan itu.
Namun demikian sebaik apapun Hukum yang dibuat, tapi pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya Hukum masyarakat yang bersangkutan.
Harus disadari bahwa sekitar 80% rakyat Indonesia hidup dipedesaan yang menyebar, disekitar 60.415 desa diseluruh Indonesia. Pada umumnya taraf hidup mereka miskin dan tingkat pengetahuan nya tergolong rendah, bagaimana mungkin kita dapat menuntut rakyat desa tersebut untuk bertingkah laku sesuai dengan makna peraturan Hukum, mereka tidak dapat mengetahui isinya karena sulit mengerti bahasa Hukum, komunikasi Hukum pun semata-mata hanya sekedar untuk memenuhi syarat formal, yaitu dengan dimuatnya dalam Lembaran Negara. Saluran komunikasi yang tidak terorganisasi secara baik dan rapih akan berdampak pada kekeliruan informasi mengenai isi peraturan Hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
Sebagai akibat lanjutannya, timbul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh Undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat . bagaimana seseorang dapat diharapkan bertingkah laku sesuai dengan perubahan yang dikehendaki oleh Hukum apabila tidak mengerti pembuatan bagaimana sesungguhnya harus dilakukannya.
Tiadanya komunikasi tentang makna peraturan maka rakyat tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah melembaga.

Kegagalan Hukum Modern : Kasus Bagi Hasil
Contoh kegagalan Hukum modern menurut temuan Fakultas Hukum Undip tentang Peranan Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Pelaksanaan Undang-undang Bagi Hasil (UUPBH) tahun 1976, dalam konsiderans UUPBH : pertama mengupayakan agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan secara adil, kedua mengupayakan agar kedudukan Hukum penggarap dapat terjamin dengan baik, dengan merumuskan secara tegas hak-hak dan kewejiban-kewajiban penggarap maupun pemilik.
Jelaslah bahwa para pembuat undang-undang itu berkeinginan untuk mengangkat kedudukan petani penggarap dengan melindungi hak-haknya untuk mencapai tujuan itu, UUPBH menentukan beberapa syarat sebagai berikut : )
 tanah garaapan tidak boleh melebihi 3 ha
 perjanjian dibuat secara tertulis dihadapan Kepala Desa dengan 2 orang saksi
 batas waktu minimum untuk masa perjanjian adalah 3 tahun untuk tanah basah, dan 5 tahun untuk tanah kering
 besarnya bagian hasil tanah bagi penggarap dan pemilik ditetapkan oleh Bupati
 pembayaran/pemberian benda apapun kepada pemilik dengan maksud untuk memperoleh tanah garapan adalah terlarang
 penuntutan perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu hanya mungkin dengan persetujuan kedua pihak atau atas permintaan pemilik dalam hal penggarap tidak mengusahakan tanah sebagaimana mestinya
 kewajiban untuk membayar Pajak dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
Dari hasil penelitian ternyata tingkat kebutaan masyarakat terhadap undang-undang melampaui 75% sedangkan penyimpangan dari norma-norma yang telah ditentukan terungkap dalam 92,2% perjanjian bagi hasil.
Penyimpangan itu antara lain tidak membutuhkan saksi, tidak dilakukan secara tertulis, tidak mengindahkan batas waktu perjanjian.
Faktor yang agak menarik dalam penelitian ini adalah kebiasaan untuk memberi sesuatu kepada pemilik tanah agar dapat memperoleh tanah garapan tetap dilaksanakan walaupun undang-undang melarang.
Kebiasaan itu terjadi didaerah subur seperti Delanggu. Disana dijumpai semacam seller’s market dan dengan sendirinya para calon penggarap harus bersaing terlebih dahulu untuk dapat memperoleh tanah garapan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan oleh budaya Hukum disitu ditentukan oleh cara mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan.

Kegagalan Hukum Modern : Kasus Perkawinan
Penelitian yang dilakukan oleh PSHP Fakultas Hukum Airlangga tentang efektivitas ketentuan umur minimal untuk Kawin (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita) di Bangkalan Madura ), dari hasil penelitian tersebut pengetahuan Kepala Desa yang dapat menyebutkan batasan umur kawin dengan tepat hanya mencapai 25,38%, selebihnya bahkan sebagian besar Kepala Desa tidak mengetahui dengan pasti ketentuan batas umur kawin.
Penelitian ini menemukan juga bahwa kebiasaan mengawinkan anak dibawah umur 16 tahun tetap saja dilaksanakan oleh masyarakat desa di wilayah Kabupaten Bangkalan. Sekitar 64,62% perkawinan dibawah umur ditemukan disebagian besar desa-desa wilayah Kabupaten Bangkalan.
Temuan-temuan sebagaimana diuraikan diatas mengisyaratkan, bahwa untuk memasukkan nilai-nilai yang baru ke dalam masyarakat memerlukan perubahan sikap dari anggota masyarakatnya.

Hukum Sebagai Karya Kebudayaan.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan pengertian kebudayaan itu sebagai hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. )
Hasil karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan materiil yang diperlukan oleh manusia untuk memanfaatkan alam sekitar, untuk memenuhi segala keperluan hidupnya.
Rasa meliputi kejiwaan manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah serta nilai-nilai social dan budaya yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.
Kebudayaan mencakup suatu system tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu artinya kebudayaan merupakan suatu blue print of behavior yang memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang dilarang, sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku manusia didalam proses interaksi social.
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat menghasilkan kebudayaan, maka Hukumpun selalu ada di setiap masyarakat dan tampil dengan ke khasannya masing-masing, mempunyai bahasa sendiri, yang tidak dapat diterapkan Hukum suatu Negara tertentu kepada Negara dan bangsa lain, karena Hukum mencerminkan jiwa rakyat (volks geist).

Komponen Budaya Hukum.
Daniel S. Lev ) didalam karangannya “Yudicial Institution and Legal Culture in Indonesia” menguraikan tentang sistem Hukum dan budaya Hukum.
Menurut Lev sistem Hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya orang-orang itu menyelesaikan masalahnya didalam kehidupan sehari-hari.
Adapun budaya Hukum diperinci kedalam “nilai-nilai Hukum procedural” dan “nilai-nilai Hukum substantip” yaitu cara pengaturan masyarakat dan manajemen konflik, sedangkan komponen substantip terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam masyarakat.
Budaya hokum merupakan unsure yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara sistem Hukum yang satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Lawrence M. Friedman memasukkan komponen budaya Hukum sebagai bagian integral dari suatu sistem Hukum.
Friedman membedakan unsur system itu ke dalam 3 (tiga) macam yaitu (1) struktur; (2) substansi dan (3) kultur ).
Komponen struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem Hukum dengan berbagai fungsi nya dalam mendukung bekerja nya sistem Hukum.
Komponen substansi adalah luaran dari sistem Hukum termasuk didalam nya norma-norma yang antara lain berwujud peraturan perundang-undangan yang semua nya itu digunakan untuk mengatur tingkah laku manusia.
Sedangkan “kultur” (budaya) adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem itu ditengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.
Friedman menegaskan bahwa a legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact.

Menuju Efektivitas Hukum.
Hukum efektif apabila perilaku-perilaku manusia didalam masyarakat sesuai dengan yang telah ditentukan dalam aturan-aturan Hukum yang berlaku.
Menurut Paul dan Dias ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan system Hukum yaitu :
1. mudah tidaknya makna aturan-aturan Hukum untuk ditangkap dan dipahami.
2. luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan Hukum yang bersangkutan.
3. effisien dan efektif tidak nya mobilisasi aturan-aturan Hukum.
4. adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang musah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa.
5. adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata Hukum memang sesungguhnya berdaya kemampuan efektif.
Dengan contoh hasil penelitian di Bangkalan Madura tentang Kepala Desa sebagai orang yang memegang peranan penting tetapi tidak mengetahui isi Undang-undang Perkawinan bahkan batas umur minimum saja untuk kawin tidak tahu persis, maka masyarakat tetap bertingkah laku sesuai dengan pandangan-pandangan maupun nilai-nilai yang telah ada didalam masyarakat.
Oleh karena itu komunikasi Hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar Hukum berlaku efektif, selain factor sarana juga perlu diperhatikan penyampaian isi suatu peraturan agar dapat dimengerti, demikian (Fuller, Paul & Dias, Howard, Mumners, maupun Friedman menyatakan hal yang serupa.

Melembagakan Nilai Hukum Baru.
Pada akhirnya anggota-anggota masyarakat sebagai adresat dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan makna undang-undang.
Menurut Chambliss dan Seidman adresat adalah pemegang peran yang diharapkan (Role Expectation) karena yang paling ber`pengaruh terhadap pemegang peran adalah budaya Hukum nya maka terjadilah berbagai macam kepincangan dalam pelaksanaannya.
Timbulah ketidakcocokan antara peran yang diharapkan dengan peran yang dilakukan (Role performance). Dalam rangka pembentukan kesadaran Hukum perlu adanya proses pelembagaan dan internalisasi, organisasi yang rapi, sistem pengawasan yang rapi dan tidak putus-putus nya berusaha menjangkau hal-hal yang tampaknya tidak mungkin dicapai.

Bagan Proses Pelembagaan )



Proses pelembagaan = Efektivitas menanamkan unsur-unsur
baru Kekuatan yang menentang dari masyarakat
Kecepatan menanamkan unsur-unsur baru


3. Pembinaan Kesadaran Hukum.
Membina kesadaran hukum masyarakat merupakan tuntutan pembaharuan social dewasa ini dan menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha pembangunan.
Dalam masa pemerintahan ORBA melalui TAP MPR No. IV/MPR/1978 sebagaimana dirumuskan sebagai berikut :
1) pembangunan di bidang hukum didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti terkandung dalam Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945.
2) guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam mengayomi masyarakat, yang merupakan syarat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka aparatur pemerintah pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya perlu terus dibina dan dikembangkan untuk peningkatan kemampuan serta kewibawaannya.
3) pembangunan dan pembinaan dibidang hukum diarahkan agar hukum mempu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan sehingga dapat diciptakan ketertiban dan kepastian umum.
4) usaha-usaha penertiban badan-badan penegak hukum perlu dilanjutkan.
5) usaha meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum perlu dilanjutkan.
6) meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
7) meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan pembinaan perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Jadi tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap warga mayarakat.

Terminologi Kesadaran Hukum.
Kesadaran hukum dalam konteks ini, berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yaitu merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah laku hukum anggota masyarakat.
Sedangkan Friedugan lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum” yaitu nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekunya hukum.
Menurut Sunaryati Hartono, kesadaran hukum itu berakar didalam masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional dari pada perasaan hukum yang hidup didalam masyarakat.

Sikap Moral : Kunci Kesadaran Hukum.
Masalah kesadaran hukum ini timbul apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan nilai-nilai yang baru.
Sudah cukup banyak penelitian yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat terhadap peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh Negara masih jauh dari harapan.
Sikap moral ini memang dapat diubah, tetapi dengan cara perlahan-lahan dan dengan suatu usaha yang terus menerus serta bervariasi sesuai dengan kultur setempat.

Motivasi Bertingkah Laku.
Ada tiga variable utama seseorang pemegang peran aakan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak yaitu :
1) apakah normanya telah disampaikan.
2) apakah normanya serasi dengan tujuan –tujuan yang diterapkan bagi posisi itu
3) apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.
Menurut Seidman model dibawah ini menunjukan pemegang peran berkehendak meneyesuaikan diri dengan keharusan norma karena komunikasi hukum itu sangat penting. Sementara pemegang peran mempunyai tingkah laku yang mungkin conform mungkin pula tidak konform.

TINGKAH LAKU
Konform (+) Konform (-)
Konform (+) (1) + + (2) + -
Konform (-) (2) + - (4) - -

adanya ketidakcocokan antara peranan yang diharapkan oleh norma dengan tingkah laku yang nyata, karena fungsi hukum tidak lagi sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat. Melainkan hukum ingin membentuk pola-pola tingkah laku yang baru. Ciri ini mengandung arti bahwa fungsi hukum tidak hanya sebagai sosial kontrol melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan suatu masyarakat (baru) yang dicita-cita kan, hukum sebagai sarana social engineering sehingga untuk memaksimalkan fungsi hokum mau tidak mau harus ditunjang oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat yang memadai.

Faktor Penentu Kesadaran Hukum.
Menurut bagan yang telah diberikan oleh Seidman kita dapat memahami bahwa proses bekerja nya hukum itu sangat ditentukan oleh beberapa factor penting yaitu :
1) peraturan-peraturan hukum nya
2) badan pembuat undang-undang
3) badan pelaksana hokum (sanctioning agencies)
4) masyarakat sebagai sasaran pengaturan
5) proses penerapan hukum
6) komunikasi hukum nya
7) kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undang-undang, birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran.
8) proses umpan balik antara semua komponen tersebut.
Salah satu sumber bagi tidak ditaatinya suatu peraturan adalah faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum disamping faktor komunikasi hukumnya juga.
Pertimbangan Pembuatan Hukum.
Perlu adanya persiapan fasilitas dan sarana yang dapat menumpang terlaksananya suatu yang peraturan sebelum dikelaurkannya peraturan sehingga pembuatan hukum merupakan suatu “rencana bertindak” (plan of action) )
Menurut A. Podgorechi ada empat azas pokok yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan tujuan sosial yang dikehendaki, yakni : )
1. suatu penggambaran yang baik menegenai situasi yang dihadapi.
2. membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam suatu urutan hirarki. Analisis disini meliputi pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik malah memperburuk keadaan.
3. melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk dilakukan itu pada akhirnya membawa kita kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.

Pembinaan Kesadaran Hukum
Pada dasarnya kesadaran hukum itu merupakan kontrol agar hukum yang telah dibuat itu dapat dijalankan dengan baik didalam masyarakat. Masalah pembinaan kesadaran hukum menjadi penting artinya bila kita bicara soal hukum sebagai konsep yang modern, bukan dilihat dari legitimasinya saja melainkan juga dari segi efektivitasnya. Oleh karena itu jika kita ingin agar hukum modern itu dapat terlaksana dengan baik maka struktur masyarakat pun perlu dikembangkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum yang demikian itu. Ini penting dilakukan mengingat struktur masyarakat Indonesia hingga saat ini belum seluruhnya memenuhi tuntutan sistem hukum modern.
Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai sarana yang sengaja dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki dinyatakan pula dalam salah satu keputusan Seminar Hukum Nasional ke III tahun 1974 di Surabaya, yang dirumuskan sebagai berikut : “Perundang-undangan terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana untuk merealisasi kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dan pertahanan pembangunan nasional”




C. HUKUM DAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
1. Hukum dan kebijaksanaan public merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijaksanaan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum saat ini.
Peranan Hukum yang berperan untuk membantu pemerintah dalam usaha menemukan alternative kebijaksanaan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Apabila pembangunan itu merupakan suatu kegiatan untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat, maka dapat dipahami bahwa peranan pemerintah sebagai lembaga eksekutif menjadi semakin menonjol dan hal ini dapat dilaksanakan dalam tindakan nyata.
Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik dan alat untuk melaksanakan kebijaksanaan , agar rencana pembangunan mendapat kekuatan dalam pelaksanaan nya maka perlu mendapatkan status formal atau dasar hukum tertentu.
Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pada hakekatnya hukumpun mengandung nilai, konsep-konsep dan tujuan.
Proses perwujudan ide dan tujuan itu merupakan hakikat dari penegakan hukum. 12)
Sebagai contoh :
Garis-garis Besar Haluan Negara merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan public yang dilegitimasi melalui Ketetapan MPR mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga masyarakat.
Hukum banyak dipengaruhi oleh unsure-unsur yang lain yang ada didalam masyarakat. Oleh karena itu hukum tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat control sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan perubahan didalam masyarakat. Bahkan hukum pun dapat dipakai sebagai sarana untuk mewejudkan tujuan-tujuan politik sebagaimana dikemukakan oleh N. Luhman bahwa hukum berfungsi sebagai social engineering as a political approach to law, hukum sebagai indicator politik.

PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Pada umumnya isi kebijaksanaan yang diterangkan dalam sistem hukum diletakan dibagian “menimbang” sedangkan konkretisasinya dituangkan dalam ketentuan pasal-pasalnya terutama tampak dalam tujuan yang ditetapkan. Harus disadari bahwa hukum adalah hal yang abstrak, perumusan hukum bukanlah fakta empiris contoh misalnya konsep hak, kewajiban, kesalahan dan seterusnya merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga orang sulit memahaminya dan bahkan dapat memberikan penafsiran yang berbeda pula.
Itulah sebabnya perumusan secara umum tentang sesuatu hal dapat menimbulkan perbedaan dalam penerapannya, oleh karena itu penjabaran secara konkrit sangat diperlukan.

IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Kegiatan Implementasi sebenarnya merupakan bagian dari policy making, keadaan ini harus benar-banar disadari mengingat proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda disetiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang, baik propinsi, maupun kabupaten.
Langkah-langkah kebijaksanaan meliputi :
1. menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan, standard pelaksana, biaya dan waktu yang jelas.
2. melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staff, biaya, resources, prosedur dan metode
3. membuat jadual pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana.
Berangkat dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan action plan (rencana tindakan).
Menurut Gladden, klasifikasi kebijaksanaan itu menurut tinggi rendahnya tingkatan/level yaitu : 13)
1. kebijaksanaan politis (political policy)
2. kebijaksanaan eksekutif (executive policy)
3. kebijaksanaan administratif (administrative policy)
4. kebijaksanaan teknis atau operasional (technical or operational policy)
Mengenai tingkatan kebijaksanaan itu telah tampak didalam perundang-undangan di Indonesia.

DISKRESI PENJABARAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan kebijaksanaannya sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya, seperti informasi, dana tenaga ahli, tenaga terampil maupun mengenai pengetahuan yang mereka miliki.
Pemberian otonomi dan diskresi disertai sumber-sumber daya yang memadai merupakan dimensi yang paling strategis didalam melaksanakan suatu aktivitas. Ini berarti segala aktivitas yang dikehendaki agar dilakukan oleh pemegang peran lebih banyak ditentukan oleh aktivitas para birokrat itu sendiri.
Pada akhirnya kita ketahui bahwa untuk memahami hokum tidak cukup memahami hukum dalam bentuk rumusan pasal-pasal yang hanya bergerak di bidang penafsiran, penerapan dan konstruksi hukum, melainkan memahami hukum dari sisi yang lain.
Karena hukum dibuat manusia untuk mengatur hidup manusia maka tidak terlepas dari unsure manusia, memahami peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai dasar hukum khususnya nilai keadilan dalam masyarakat, selain itu diharapkan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara maksimal dan dapat mengantar kita menuju masyarakat yang sejahtera.

2. HUKUM DAN KEBIJAKSANAAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN.
Dasar Hukum nya adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Untuk mewujudkan semua itu, maka kunci persoalan sebenarnya terletak dalam tekad politik (political well). Dalam melaksanakan pembangunan maka usaha peningkatan pendapatan nasional harus sekaligus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan rasa keadilan dalam rangka diwujudkannya azas keadilan sosial.
Adanya 8 (delapan) jalur pemerataan dalam Repelita III sebagai berikut :
1. pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya paangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan,
3. Pemerataan Pembagian Pendidikan
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Peranan Pemerintah dirancangkan untuk memberantas kemiskinan terutama dipedesaan.
Menjelang pelaksanaan Repelita III, pada waktu itu Presiden Soeharto telah memberikan dua pokok kebijaksanaan yang memberi ciri tersendiri pada pembangunan sekarang ini, yaitu :
1. Mengusahakan berkurangnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
2. Melaksanakan delapan jalur pemerataan, campur tangan dan peran aktip dan bantuan pemerintah bagi mereka keluar dari lingkaran kemiskinan ini menjadi penting.

Perombakan Tata Ekonomi
Pembangunan untuk banyak negara berkembang diarahkan mencapai laju pertumbuhan pendapatan per jiwa yang oktimal.
Hal ini diperkirakan dapat dicapai apabila jumlah Produk nasional Bruto meningkat lebih cepat dari pertambahan Penduduk.
Untuk negara berkembang yang masih lemah sektor modernnya dan belum maju industrinya masih menitikberatkan pembangunannya pada sektor pertanian, kemampuan masyarakatnya untuk menabung masih sangat kecil, akibatnya proses pembangunan pendapatan dunia semakin pincang dan sangat menguntungkan negara-negara maju.
Dalam keadaan serupa itu tidaklah menghiraukan apabila di forum internasional tumbuh keinginan untuk merombak tata ekonomi yang berlaku dewasa ini disamping adanya kelompok negara berkembang melakukan perjuangan menegakkan tata ekonomi internasional baru. Pada saat ini makin jelas tindakan lembaga-lembaga internasional dan beberapa negara industri untuk mengutamakan perbaikan nasib rakyat yang hidup pada kondisi miskin absolut.
Seiring dengan itu muncullah di banyak dunia ketiga pembicaraan soal pemerataan pendapatan. Kredit internasional pun semakin dituntut untuk mengarahkan programnya kepada si miskin secara langsung.

Kunci Keberhasilan Pemerintah
Adanya beberapa komponen sistem hukum yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerataan, antara lain ; melakukan tindakan-tindakan konkrit dan positip sebagai implementasinya yaitu fokus perhatian pemerintah perlu diarahkan pada rakyat miskin yang hidup di desa. Walaupun desa merupakan hasil pembangunan secara nasional tetapi tetap merupakan satu kesatuan yang utuh dalam rangka pembangunan secara menyeluruh, melihat manusia secara utuh.
Sebagai konsekwensi logis dari itu semua, maka kegiatan pembangunan yang dilakukan bukan hanya kegiatan pembangunan yang dilakukan bukan hanya kegiatan fisik tetapi juga perubahan sikap mental yang menghambat pembangunan.
Dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978, maka peranan hukum tidak hanya sebagai dasar dari pelaksanaan kebijakaksanaan melainkan juga sebagai sarana yang menyalurkan kebijaksanaan pemerataan untuk menciptakan keadaan-keadaan baru, atau mengubah sesuatu ke arah yang dicita-citakan.

3. Hukum dan Pembangunan
Pembangunan berarti perubahan terus menerus dan mencakup bidang-bidang perilaku, ekonomi dan kelembagaan, karena pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik yang ditopang oleh hukum agar hukum lebih berperan dalam pembangunan tentunya diperlukan pendekatan lain yang bersifat interdisipliner agar hukum dapat pula bertindak sebagai motor penggerak pembangunan dan membentuk masyarakat ke arah perwujudan nilai-nilai pembangunan. Apabila pertalian antara hukum dan pembangunan dilihat sebagai suatu proses untuk mengubah masyarakat maka hukum dapat berperan dalam bermacam-macam fungsi.
Hukum secara sadar dapat dipakai oleh manusia untuk mengubah lingkungan hidupnya. Dengan demikian hukum sangat diharapkan peranannya secara efektip dalam pembangunan.
Apabila hukum berperan dalam pembangunan, baik sebagai alas dasar maupun sarana pengaturan dalam arti sebagai sarana bagi proses pembaharuan masyarakat, maka upaya-upaya pengangkatan harkat dan martabat manusia dapat terwujud dan dengan demikian pembangunan akan lebih bermakna.

Hukum dan Social Engineering
Dalam era pembangunan seperti sekarang ini telah mendorong agar hukum mapu menampakkan sosoknya sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan juga sebagai proses perubahan dan pengembangan masyarakat untuk proses seperti ini maka para sarjana hukum yang dihasilkan oleh studi hukum tidak hanya memiliki keterampilan sebagai “tukang“ melainkan suatu keahlian yang mampu menggunakan sarana-sarana hukum untuk menciptakan masyarakat sesuai dengan yang dicita-citakan.
Sarjana hukum harus mampu sebagai social engineer yang berperan sebagai pembaharu sosial, pertencana sosial atau arsitek sosial. Peranan tersebut diutamakan dengan senantiasa mendorong peran mahasiswa untuk melihat peranan hukum sebagai fungsi masyarakat.
Mereka tidak hanya menerima hukum sebagai hukum begitu saja melainkan berusaha untuk dapat memberikan penjelasan mengenai kehadiran hukum dalam masyarakat dengan segala seluk beluknya.

Sarjana Hukum yang Handal
Adalah memenuhi kriteria antara lain :
(1) Mampu berbuat secara kreatip daripada hanya mengembangkan keterampilan yang reproduktif.
(2) Mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam konteks sosialnya.
(3) Mampu mengubah pola pikir bahwa ilmu hukum itu juga policy oriented.
(4) Mampu sebagai perencana sosial dan seorang perunding sosial untuk lembaga-lembaga hukum yang baru.
(5) Mampu menafsirkan hukum dan juga mendapatkan atau menemukan hukum, jadi bukan menjadi mesin hukum saja yang melihat hukum sebagai seperangkat peraturan-peraturan atau pasal-pasal.

4. Paradigma Reversal
Pemberdayaan Hukum melaui Pembangunan Alternatif

Dalam era roformasi setelah runtuhnya rezim orde baru maka terjadi penggeseran bidang politik maka hukumpun ikut bergeser. Pada era ini diharapkan konfigurasi politik berubah ke arah yang demokratis sehingga menghasilkan produk-produk hukum yang lebih responsif, jadi tidak terbatas pada upaya untuk menghasilkan produk-produk hukum saja, melainkan sampai pada penegakannya di masyarakat.
Dalam pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik mengingat hukum bukan sekedar formalitas normatif melainkan unsur kultur pun perlu mendapat perhatian disamping struktur dan subtansinya.
Para lawyers tidak hanya sebagai para profesional yang bekerja secara formalitas normatif, tetapi juga harus peka terhadap kultur yang mengalami perubahan maupun pendidikan politik sehingga mereka pun dapat memberikan layanan kepada pihak yang miskin agar dapat dibangun pengetahuannya akan hak-hak hukumnya.
Para lulusan dari Fakultas Hukum tidak hanya memiliki keahlian hukum maupun keahlian profesional melainkan juga dapat memahami, membaca dan menjelaskan fenomena hukum yang terjadi di masyarakat disamping memiliki kemampuan di bidang legal drafting.
Pendekatan alternatif terhadap pembangunan berfokus pada upaya untuk memampukan kaum miskin, melindungi kepentingannya, hak-haknya, kewajibannya sehingga mereka tidak lagi kaum yang tersingkirkan.

5. Perlindungan Hukum terhadap Pasien
Kasus Malpractice

Penyebab terjadinya malpractice adalah tindakan dokter yang kurang hati-hati dalam merawat pasien yang menyebabkan kerugian pasien.

Usaha-usaha untuk mengurangi terjadinya malpractice yaitu :
(1) Penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam KEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sebaiknya dilakukan sendini mungkin,
(2) Pemberian izin praktek dokter harus diperketat, misalnya dokter spesialis tidak boleh praktek sebagai dokter umum,
(3) Perlu dilakukan peninjauan secara berkala terhadap izin praktek,
(4) Peningkatan pengetahuan maupun ketrampilan dokter perlu dilakukan melalui diskusi-diskusi maupun sara yang lain,
(5) Dokter harus memenuhi hak-hak pasien sebagaimana telah dijelaskan dimuka,
(6) Dokter yang melanggar KEKI harus dikenai sanksi yang tegas, misalnya pencabutan izin sementara prakteknya.

Hak-hak pasien dalam transaksi teurapentik dengan dokter yaitu :
- Persetujuan dari pasien sebelum perawatan,
- Informasi yang lengkap dari dokter
Barulah terjadi transaksi dokter – pasien yang bebas dari tekanan, paksaan maupun kecurangan.

1 komentar:

  1. assalam.....

    mau tnya, ap hubungan peradilan dengan pranata hukum, pranata sosial, pranata ifta' dan pranata ijtihad?

    trim's

    BalasHapus