1. 1.Kesengajaan
Menurut sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu (Jonkers 1946: 45).
Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie)bahw aakibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.
Dalam kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan (Prof. Moeljanto,S.H. Kuliah: 224).
di 08:12 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
3. Beberapa Jenis dan Pengertian Lain Dari Beberapa “Dolus”
Di dalam beberapa literature hokum pidana antara lain tulisan Vos (1950 : 121), Jonkers (1946 : 55) dan D. Hazewinkel Suringa (1968 : !07-108) dapat disusun beberapa jenis dan pengertian yang lain dan pengertian yang lain dari pembagian dolus, yang terdiri atas :
a. dolus generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada orang banyak atau kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak perbuatan yang dilakukan. Misalnya, melempar bom ditengah-tengah orang-orang berkerumun.
b. Dolus indirectus, yaittu melakukan suatu perbuatan yang dilarang undang-undang yang terbit akibat lain yang tidak dikehendaki.
Misalnya, mendorong seorang wanita hamil dari suatu tangga sehingga jatuh dengan mengakibatkan gugurnya kandungan. Bangunan dolus yang demikian ini sudah banyak tidak diikuti, seperti halnya sengaja melakukan penganiayaan tetapi akibat perbuatanya si korban menjadi mati, yang dalam peristiwa ini pembuat dituntut pasal 351 ayat 3 dan bukan oleh pasal 338 KUHP.
c. dolus determinatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada tukuan tertentu, baik terhadap pada pembuatnya maupun pada akibat perbuatanya. Apabila tujuan yang dimaksudkan hanya semata-mata dipandang sebagai objek tidaklah mempunyai arti karena tidak pernah ada.
d. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang atau tidaka mempedulikan apa/siapa saja yang menjadi korban. Misalnya menuangkan racun kedalam mata air sungai dimana tempat itu dipakai untuk keprluan air minum bagi umum.
e. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dari pembuat menghendaki akibat yang satu atau akibat ynag lain, jadi memilih diantara dua akibat. Misalnyasi pembuat bertujuan untuk membunuh terhadap A atau B saja, dan untuk membunuh orang sebanyak mungkin seperti terror yang disebut kesengajaan umum atau generalis;
f. Dolus premiditatus, dan dolus repentitus, yaitu yang peetama merupakan kesengajaan yang dilakukan dengan telah dipertimbangkan masak-masak lebih dahulu dalam hati yang tenang, sedangkan yang kedua merupakan kesengajaan dengan sekonyong-konyong.
Perbedaan antara kedua bentuk kesengajaan itu terletak pada pemberatan pidananya.
di 08:10 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
4. Suatu Kesengajaan Dapat Terjadi Karena Salah Paham atau Kekeliruan (Dwaling)
Seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancan dengan pidana oleh peraturan hokum pidana itu dilakukan dengan sengaja karena kekeliruan. Mengenai dwaling ada beberapa bentuk, dan biasanya dibarengi dengan masalah hubungan antara kesengajaan dengan sifat melawan hukum,, yaitu ada tidaknya penginsyafan atas unsur melawan hukum daripada delik. Apabila menginsyafi atas sifat melawan hukum itu berdasarkan atas kesalahfahaman (dwaling) mengenai hal-hal di luar hukum pidana maka di situ tidak ada opzet (feitelijke dwaling), akan tetapi apabila kesalahfahaman itu berdasarkan atas hukum pidan maka di situlah kesalahfaman tidak mempunyai arti sama sekali untuk melepaskan diri dari tuntutan pidana (rechtsdwaling).
di 08:08 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
a. Feitelijke dwaling
Jika kekeliruan itu ternyata tidak ada kesengajaan yang ditujukan pada salah satu unsur perbuatan pidana, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana. Misalnya : seseorang mengira dengan jalan membayar sesuatu barang sudah menjadi pemilik, dengan kemudian atas barng tersebut dipreteli sehingga tidak seperti aslinya laginya lagi padahal pemilikan itu belum sempurna karena belum ada penyerahan yang masih dibebani biaya diluar harga, disini tidak dapat dituntut dengan pasal 406 KUHP. Demikian pula seseorang yang bermaksud mengambil sebuah barang yang dikira kepunyaan orang lain, ternyata barang itu dihibahkan oleh pemilik semula kepadanya, disini tidaka dapat dituntut dengan pasal 362 KUHP
di 08:06 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
b. Rechtsdwaling & c. Error in persona
Rechtsdwaling
melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan bahwa hal itu tidak dilarang oleh undang-undang. Didalam rechtdwaling dapat dibedakan menjadi, kekeliruan yang dapat dimengerti (verscoonbaredwaling) dan kekeliruan yang tidak dapat dimengerti (onverschoonbare dwaling). Misalnya orang irian barat yang biasanya hidup sebelum tahun 1962, masih selalu telanjang bulat, dan kebiasaan telanjang itu dilakukan di tempat lain di jawa, karena itu orang irian barat tidak dapat diharapkan untuk mengetahui undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan itu dapat dimengerti atas kekeliruan hukum yang dikira tidak dilarang (verschoonbare dwaling). Sebaliknya seorang Monaco yang biasanya tidak dilarang untukmengadakan perjudian ditempat umum setelah ia di Indonesia meneruskan mata pencaharian dengan berjudi iti dengan mengira tidak dilarang oleh undang-undang yang sebenarnya terjadi kekeliruan hukum sehingga kepadanya tetap dapat dituntut walaupun ada kekeliruan tentang hukum yang berlaku (onverschoonbare).
Error in persona
Kekeliruan mengenai orang yang menjadi tujuan dai perbuatan pidana. Misalnya A hendak membunuh B, oleh karena belum kenal dekat ternyata yang dikira B yang dibunuh iitu adalah C. perbuatan A itu tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan hukum pidana karena kekeliruan.
di 08:03 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
d. Error in objecto
Kekeliruanmengenai objek yang menjadi tujuan dari perbuatan pidana. Misalnya A melepaskan tembakan kepada suatu sasaran yang dikira seekor rusa, akan tetapi ternyata adah orag yang sedang begerak – gerak dianara pepohonan, sehinga luka parah dan akhirnya meninggal. Dalam peristiwa ini tidak terjadi perbuatan pidana pembunuhan dalam passal 338 KUHP melainkan dapat dituntut karena perbuatan pidana pasal 351 ayat 3 KUHP yang lebuh ringan yaitu menyebabkan matinya seseorang karena penganiayaan.
di 08:02 0 komentar Link ke posting ini
Label: pidana
e. Aberratio ictus
kekeliruan dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in persona karena orangnya, akan tetai karena macam-macam sebab perbuatanya menimbulkan akibat yang berlainan daripada yang di kehendaki. Misalnya A hendak embunuh dengan lemparan pisau kepada B yang tidak mengenainya, akan tetapi terkena pada C yang berdiri di dekat situ. Kepada A dapat dituntut hukum pidana karena kealpaanya menyebabkan metinya orang lain, ataupun tuntutan lainya tergantung dari hasil pemeriksaan sidang dengan hasil kemudian sebagai kejahatan terhadap nyawa orang. Karena jlanya aberratio ictus sedemikian rupa , adakalanya pendapat lain bahwa aberratio ictus itu tidak ada dwaling, melainkan suatu perbuatan pidana yang jalnya kausal menjadi lain dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.
Seperti diketahi dalam KUHP dikenal beberapa macam istilah “sengaja” (opzet) sebagaiman dirumuskan pada tiap-tiap pasal. Bebrapa istilah itu dapat dipandang sebagai istilah lain atau sama artinya dengan istilah sengaja, oleh karena MvT telah menetapkan kata sengaja sama artinya telah dikehendaki dan diketahui, willen en watens, seperti misalnya istilah : padahal mengetahui (wetende dat) dalam pasal 220 KUHP, yang diketahui (waarvanhij weet) dalam pasal 275 KUHP, yang telah diketahui (waarvanhij kent) dalam pasal 282 KUHP, dan diketahuinya (waarvan hem beken is) dalam pasal 247 KUHP.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.53 0 komentar
Label: Pidana
Sabtu, 24 April 2010
Delik Pers
Pers, kata yang identik dengan wartawan, kamera, pemberitaan, bahkan acara infotainment. Pers di Indonesia mengalami dinamika yang panjang. Mulai dari perannya sebagai corong informasi publik, alat kontrol kebijakan pemerintah, media pengaduan masyarakat, media kampanye, sarana penghimpun bantuan kemanusiaan dan lain-lain, termasuk adanya pemukulan terhadap wartawan atau sebaliknya pemberitaan pers yang mencemarkan nama baik seseorang.
Dari barbagai dinamika pers di atas, satu hal yang menarik dan selalu menjadi masalah bahkan mungkin momok yang menakutkan bagi dunia pers adalah delik pers yang katanya identik dengan upaya pengekangan kebebasan pers. Kebanyakan delik pers dimulai dari pengaduan pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan kepada pihak yang berwajib dengan menggunakan pasal "pencemaran nama baik" dalam KUHP. Hal inilah yang dinilai kalangan pers sebagai kriminalisasi terhadap pers, dimana menggunakan ketentuan KUHP, padahal sudah ada UU No 40/1999 tentang Pers.
Kriminalisasi Pers
UU No 40/1999 diundangkan pada tanggal 23 September 1999. Dalam sejarah perkembangan Pers, telah terjadi beberapa kali amandemen, dimana sebelumnya ada UU No 21/1982, UU No 4/1967 dan UU No 11/1966.
Sebagai negara hukum, setiap orang harus taat hukum, termasuk kalangan pers. Artinya kalangan pers harus bekerja profesional, obyektif, taat kode etik profesi dan bertanggungjawab terhadap setiap informasi yang disampaikan kepada masyarakat. Apabila pemberitaannya tidak seimbang, obyektif dan berdasarkan fakta, serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan lain-lain, tentunya harus diproses, baik melalui jalur hukum maupun di luar jalur hukum, tergantung sarana mana yang paling efektif dan bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Adanya UU Pers tentunya bukan bermaksud untuk mengkriminalisasikan pers atau lebih jauh ingin mengekang kebebasan pers. Justru UU Pers tersebut sangat menjamin adanya kebebasan pers, namun harus diiringi dengan obyektivitas, independensi dan tanggungjawab dalam segala pemberitaannya sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Walaupun ini sulit, karena pemberitaan tidak selalu berdampak positif terhadap semua pihak, sehingga ada yang merasa dirugikan. Namun kalangan pers tidak perlu cemas, karena masyarakat akan sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang tinggi apabila yang media ungkap memang sebuah fakta yang harus diketahui publik, dari nara sumber yang tepat dan obyektif dan dilengkapi dengan data yang akurat.
Dalam UU No 40/1999 diatur ketentuan pidana dalam Bab VIII Pasal 18, yaitu Pasal 18 ayat (1) : Setiap orang yang menghambat/menghalangi kebebasan pers (seperti : penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran) dan menghambat/menghalangi pelaksanaan hak pers (seperti : mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi) dipidana penjara paling lama 2 tahun/denda paling banyak Rp 500.000.000; Pasal 18 ayat (2) : Perusahaan Pers yang memberikan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, asas praduga tak bersalah, tidak melayani hak jawab dan memuat iklan yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku; serta memuat iklan dengan meragakan wujud rokok dan atau penggunaan rokok, dipidana denda paling banyak Rp 500.000.000, dan Pasal 18 ayat (3) : Perusahaan Pers yang tidak berbentuk badan hukum Indonesia dan tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, serta penerbitan pers yang tidak menyebutkan nama dan alamat penerbitan, dipidana denda paling banyak Rp 100.000.000,-
Kelemahan Aturan
Beberapa kasus yang melibatkan kalangan pers, baik wartawan maupun institusinya lebih banyak bermuara pada perihal "pencemaran nama baik" dengan ketentuan KUHP. Akibatnya terkesan bahwa undang-undang pers tidak ada gunanya. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, media hak jawab dan hak koreksi selama ini tidak berjalan dengan optimal, sehingga jalur mediasi dengan penyelesaian "kekeluargaan" tertutup dan meja hijau menjadi satu-satunya alternatif penyelesaian. Kedua, tidak efektifnya Pasal 18 ayat (2). Dalam pasal ini diantaranya disebutkan bahwa Perusahaan Pers yang memberikan peristiwa dan opini dengan tidak menghormati asas praduga tak bersalah sebenarnya memiliki makna yang identik atau termasuk didalamnya sebagai upaya pencemaran nama baik. Namun selama ini asas praduga tak bersalah lebih dimaknai sempit. Disamping itu, sanksi pidana yang lebih rendah dibandingkan dengan Pasal 310 (2) KUHP, yaitu maksimal 1 tahun 4 bulan juga menjadi alasan KUHP lebih "disukai" untuk digunakan. Menurut saya aparat penegak hukum harus dapat memisahkan mana tindak pidana pencemaran nama baik yang masuk domain KUHP dan mana yang masuk domain UU Pers. Ketika berkaitan dengan pemberitaan pers, maka hendaknya UU Pers lah yang digunakan, karena ia bersifat lebih khusus (lex specialis).
Disamping permasalahan di atas, ada beberapa kelemahan lain dari UU Pers, seperti tidak diatur tentang kualifikasi delik. Hal ini akan menimbulkan masalah yuridis. Misalnya dalam hal terjadi percobaan dan pembantuan tindak pidana. Apabila kembali ke KUHP sebagai sistem induk akan mengalami kesulitan, karena dalam KUHP ada kualifikasi delik. Kemudian UU Pers hanya mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, namun kapan korporasi/badan hukum dikatakan melakukan tindak pidana tidak disebutkan dengan jelas. Selain itu, sanksi denda bagi korporasi tidak disertai dengan pedoman pemidanaan, seperti jika tidak terbayarnya denda tersebut.
Ketentuan pidana dalam UU Pers menganut sistem perumusan alternatif dan tunggal. Kedua sistem ini bersifat kaku dan imperatif, sehingga dapat menimbulkan masalah apabila diterapkan terhadap badan hukum/korporasi. Menurut penulis lebih tepat digunakan sistem alternatif-kumulatif agar dapat memberikan fleksibelitas bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat bagi pelaku, baik untuk orang maupun korporasi.
Sementara untuk jenis sanksi pidananya hanya pidana penjara dan denda, sedangkan untuk sanksi administrasi atau tindakan tidak diatur. Padahal dalam UU Pers ini, subjek tindak pidana berupa korporasi lebih banyak diatur, sementara sanksinya hanya denda tanpa ada pidana tambahan maupun sanksi administrasi. Sebenarnya bisa saja dirumuskan adanya pemberian peringatan dan penutupan perusahaan pers untuk sementara/selamanya sebagai pidana pokok dan pidana tambahannya berupa sanksi administrasi/tindakan. Perumusan ini dapat mengantisipasi apabila sanksi denda tidak dapat dibayar.
Beberapa kelemahan di atas hendaknya menjadi perhatian aparat penegak hukum, kalangan pers, masyarakat dan terutama pihak legislatif untuk dapat diperbaiki, sehingga UU Pers benar-benar efektif dan menjamin kebebasaan pers yang bertanggungjawab. Akhirnya para jurnalis, tidak perlu takut atau was-was dalam mencari, menulis dan memberitakan sebuah fakta obyektif yang menjadi informasi publik. Namun demikian, jurnalis juga harus berani bertanggungjawab apabila memang dalam melaksanakan tugas melanggar kode etik profesinya, serta pemberitaannya terbukti tidak berdasarkan fakta dan bersifat subyektif, sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 03.05 0 komentar
Label: Pers, Pidana
Rabu, 21 April 2010
Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik
PENGHINAAN atau pencemaran nama baik seseorang adalah ketentuan hukum yang paling sering digunakan untuk melawan media massa. Fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander.
Fitnah lazimnya merupakan kasus delik aduan. Seseorang yang nama baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pencemaran nama baik.
Ancaman hukum yang paling sering dihadapi media atau wartawan adalah menyangkut pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Dalam KUHP setidaknya terdapat 16 pasal yang mengatur soal penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal 134, 136, 137. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi atau badan umum (seperi DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur dalam pasal 310, 311, dan 315. Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321 (pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal-Pasal Penghinaan
Pasal 134, 136, 137
>>Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden, dengan cara menyiarkan,
menunjukkan, menempelkan di muka umum
>>Pidana 6 tahun penjara
Pasal 142
>>Penghinaan terhadap Raja/Kepala Negara sahabat
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 143, 144
>>Penghinaan terhadap wakil negara asing
>>Pidana 5 tahun penjara
Pasal 207, 208, 209
>>Penghinaan terhadap Penguasa dan Badan Umum
>>Pidana 6 bulan penjara
Pasal 310, 311, 315, 316
>>Penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang, tuduhan
dengan tulisan
>>Pidana 9 bulan, 16 bulan penjara
Pasal 317
>>Fitnah pemberitahuan palsu, pengaduan palsu
>>Pidana 4 tahun penjara
Pasal 320, 321
>>Penghinaan atau pencemaran nama orang mati
>>Pidana 4 bulan penjara
(Diolah dari buku Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana yang Ada Kaitannya dengan Media Massa, Departemen Penerangan RI, 1998).
Delik Aduan
Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang mengadu. Artinya, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers—nama baiknya tercemar atau merasa terhina—harus mengadu ke aparat hukum agar perkara bisa diusut.
Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak sebagai pengadu.
Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan, akibatnya perkara hukum yang terjadi seringkali merupakan penafsiran yang subyektif. Seseorang dengan mudah bisa menuduh pers telah menghina atau mencemarkan nama baiknya, jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan (dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers, karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers atau wartawan.
Selain itu ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”, karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan. Terlebih-lebih jika pelanggaran itu terkait dengan presiden, wakil presiden, dan instansi negara..
Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan, termasuk orang yang sudah meninggal.
Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan fitnah tuduhan. Kategorisasi penghinaan tersebut tidak ada yang secara khusus ditujukan untuk pers, meskipun demikian bisa dikenakan untuk pers, dengan ancaman hukuman bervariasi antara empat bulan hingga enam tahun penjara.
Pers sering harus berhadapan dengan anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Penafsiran adanya penghinaan atau pencemaran nama baik (dalam pasal 310 KUHP) ini berlaku jika memenuhi unsur:
1. Dilakukan dengan sengaja, dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar)
2. Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan itu.
3. Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Misalnya, kasus yang terjadi pada tabloid Warta Republik yang menulis laporan Utama berjudul “Cinta Segitiga Dua Orang Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”. Laporan yang dimuat pada edisi pertama, November 1998, itu ditulis tanpa ada wawancara atau konfirmasi dari sumber berita, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik diadukan ke pengadilan dijatuhi hukuman percobaan, karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (purn.) Try Sutrisno dan Jendral TNI (purn.) Edi Sudradjat.
Dalam kasus itu wartawan tabloid Warta Republik memenuhi unsur sengaja melakukan penghinaan, menuduh tanpa bukti dan telah mencemarkan nama baik pengadu.
Kasus gugatan terhadap majalah Gatra yang diajukan oleh Tommy Soeharto berkaitan dengan tulisan berjudul “Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut” (Edisi No. 48, 17 Oktober 1998), ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat Gatra telah telah melakukan peliputan yang sesuai dengan standar kode etik, dan berupaya melengkapi sumber-sumber yang bisa memberikan keterangan dalam melengkapi akurasi laporan.
Dua contoh di atas adalah kasus penghinaan yang bersifat delik aduan, yaitu anggota masyarakat yang merasa dirugikan pers mengadu, sehingga kasusnya diproses secara hukum. Namun,pasal-pasal delik penghinaan ini pada era Orde Baru sering digunakan untuk menekan pers itu untuk kepentingan kekuasaan.
Sejumlah Koran menjadi korban dari pasal-pasal penghinaan yang digunakan secara subjektif oleh aparat, salah satu contoh adalah yang menimpa majalah Sendi, pada 1972. Majalah itu dibredel, surat izin terbitnya dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Tentu saja tuduhan “penghinaan” tersebut tidak pernah dibuktikan dan tanpa melalui proses hukum.
Kasus
Beberapa Kasus Tuntutan Hukum kasus “penghinaan” terhadap berita media cetak
1. Berita Buana, 4 November 1989
>>Judul: Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi
>>Kasus/dakwaan: menyiarkan berita bohong (pasal 160 KUHP), tidak meneliti
kebenaran informasi
>>Hasil akhir: pidan 18 bulan penjara untuk redaktur pelaksana
2. Pos Kota, Juni 1990
>>Judul: Permainan Sidang Tilan di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah
diralat
>>Hasil akhir: bebas
3. Warta Republika, 25 Agustus 1999
>>Judul: Cinta Segitiga Dua Jenderal: Try Sutrisno dan Edi Sudradjat
Berebut Janda
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik Try S dan Edi S. Sumber tidak jelas,
tidak konfirmasi
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
4. Majalah D&R, 6 Juni 1999
>>Judul: Tender Proyek, KKN Gubernur
>>Kasus/dakwaan: Pencemaran nama baik Gub. Sulsel
>>Hasil akhir: tidak jelas
5. Majalah Gatra, 17 Oktober 1998
>>Judul: Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
>>Kasus/dakwaan: Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak
menyenangkan
>>Hasil akhir: Bebas, memenuhi kode etik
6. Sriwijaya Pos, 26 AGustus 1999
>>Judul: KaBakin Terima 400 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
>>Hasil akhir: hukuman percobaan
7. Tajuk, 23 Juni 1999
>>Judul: Di Balik Setoran Pribadi itu
>>Kasus/dakwaan: digugat 10 miliar atas perbuatan melawan hukum
>>Hasil akhir: meminta maaf secara terbuka
8. Info Bisnis 66/Tahun IV/1999
>>Judul: Baramuli danm Kredit Rp 800 Milyar
>>Kasus/dakwaan: pencemaran nama baik
>>Hasil akhir: tidak jelas.*
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 01.11 0 komentar
Label: Pidana
Senin, 05 April 2010
Tindak Pidana Perbankan
Tindak Pidana Perbankan
Agar industri perbankan menjadi industri yang makin sehat dan dapat dipercaya masyarakat, Bank Indonesia menerapkan law enforcement atas tindak pidana perbankan bekerjasama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Upaya ini sejalan dengan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API), khususnya Pilar 3, yaitu menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
Kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan secara lengkap tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 (UU BI) maupun dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk :
1. memberikan izin (right to licence);
2. mengatur (right to regulate);
3. mengawasi (right to supervise); serta
4. mengenakan sanksi (right to impose sanction).
Terkait dengan kewenangan mengenakan sanksi, Bank Indonesia selaku otoritas perbankan melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan hanya dapat menyelesaikan perbuatan yang bersifat administratif serta hanya berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap suatu bank yang terbukti melakukan kegiatan usaha yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sedangkan penyimpangan yang mempunyai indikasi tindak pidana, proses pengenaan sanksinya diserahkan kepada penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan dan Law Enforcement itu sendiri merupakan dua komponen yang tak terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada sistem pengawasan dan tidak akan ada rule of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Berkaitan dengan keterbatasan kewenangan tersebut, dalam rangka menegakkan hukum pada industri perbankan dan mengamankan dana masyarakat serta kekayaan negara yang ada pada bank, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana di bidang perbankan. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kepala Kepolisian R.I, Jaksa Agung R.I, dan Gubernur BI, yang dikeluarkan pertama kali pada tanggal 6 November 1997 dan diperbaharui pada tanggal 20 Desember 2004, ketiga instansi tersebut sepakat untuk bekerjasama dalam penanganan dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Melalui kerjasama ini, diharapkan setiap kasus perbankan dapat diselesaikan secara lancar, cepat dan optimal.
Untuk mendukung pelaksanaan SKB dan melakukan tindakan represif terhadap pelanggaran dan penyimpangan serta ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, khususnya yang mengandung unsur tindak pidana di bidang perbankan, Bank Indonesia membentuk satuan kerja yang khusus menangani dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Pembentukan DIMP diharapkan dapat menimbulkan announcement effect terhadap dunia perbankan yaitu law enforcement dalam kegiatan perbankan tetap dilaksanakan dan ditegakkan serta segala bentuk penyimpangan akan membawa konsekuensi hukum bagi para pelakunya.
Dalam pelaksanaannya, diperlukan langkah yang memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan dugaan tindak pidana di bidang perbankan maka pada tahun 2007 dibuat Petunjuk Teknis SKB yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI dan Deputi Gubernur BI.
Sejak tahun 1999 hingga saat ini, terdapat 580 kasus dugaan tindak pidana perbankan yang terjadi baik di bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang telah dilaporkan oleh Bank Indonesia kepada penegak hukum melalui mekanisme SKB. saat ini masih terdapat 448 kasus yang masih dalam proses penanganan penegak hukum. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari kasus-kasus tindak pidana perbankan yang telah dilaporkan oleh Bank Indonesia melalui mekanisme SKB sejak tahun 1999.
Disamping melakukan kerjasama dengan penegak hukum, Bank Indonesia juga melakukan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Mediasi Perbankan
Sebagai bagian dari pelaksanaan perlindungan konsumen, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Arsitektur Perbankan Indonesia yang salah satu pilarnya (Pilar 6) adalah Perlindungan Nasabah. Pilar tersebut menjelaskan bahwa perbankan wajib menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah secara jelas dan mudah dipahami nasabah, pembentukan lembaga mediasi perbankan independen guna menjembatani sengketa yang terjadi antara bank dan nasabah, penyusunan transparansi informasi produk dan promosi edukasi untuk nasabah yang diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan memadai sehingga masyarakat mengerti dan paham mengenai produk dan jasa perbankan.
Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia yang dimulai sejak tahun 2006 terutama dilakukan untuk menjembatani kepentingan nasabah dan bank sebagai alternatif penyelesaian sengketa perbankan yang bermanfaat bagi perlindungan nasabah dan dalam upaya menjaga terpeliharanya reputasi bank. Hingga saat ini Bank Indonesia telah menerima 737 kasus pengaduan nasabah di 71 bank. Prosentase terbesar, terkait masalah sistem pembayaran, penyaluran dana dan penghimpunan dana.
Nasabah yang memanfaatkan produk/jasa bank dan menemui permasalahan dalam pemanfaatan produk/jasa tersebut, dapat mengajukan pengaduan kepada bank untuk mendapatkan penyelesaian. Apabila kemudian nasabah tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan bank, maka nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian permasalahannya melalui mediasi perbankan yang saat ini fungsinya dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Keunggulan pelaksanaan fungsi mediasi itu sendiri adalah :
1. Kesepakatan para pihak (voluntary);
2. Terjaganya hubungan baik (forward looking);
3. Terjaganya kepentingan masing-masing pihak (interest based); dan
4. Proses yang murah, cepat dan sederhana
Dalam melaksanakan fungsi mediasi, Bank Indonesia juga melakukan berbagai kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan industri perbankan sendiri (melalui pembentukan Working Group Mediasi Perbankan), akademisi, praktisi dan lembaga/asosiasi mediasi.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 09.06 0 komentar
Label: Bank, Pidana
Tanggung Jawab Kolegial
Dalam beberapa kesempatan, akhir-akhir ini kita sering mendengar kata “kolegial”, tanggung jawab “kolegial”, kebijakan yang diputuskan secara “kolegial” di media massa.
Apakah asas kolegial itu?
Secara mudah dapat dimengerti dengan membaca uraian berikut ini, namun dengan menggunakan permisalan sebuah perseroan terbatas.
Perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam kacamata hukum bisnis khususnya mengenai tanggung jawab direksi.
Direksi adalah lembaga atau organ Perseroan. Sedangkan individunya adalah direktur. Walaupun dalam struktur terbagi dalam direktur utama, direktur 1, direktur 2, direktur keuangan, direktur kepatuhan, tetapi sebagai lembaga yang merupakan organ Perseroan Terbatas [PT] adalah Direksi. Tanggung jawab direksi adalah kolegial yaitu tanggung jawab yang berimbas kepada tanggung jawab tanggung renteng.
Tanggung jawab tanggung renteng adalah tanggung jawab bersama antar anggota direksi sampai ke harta pribadi, apabila melakukan penyalahgunaan wewenang yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu saja sebagai penyeimbang, tanggung jawab kolegial diimbangi dengan adanya tanggung jawab residual.
Tanggung jawab kolegial contohnya adalah sebagai berikut: Dalam satu PT. terdapat organ direksi yang strukturnya terdiri dari Direktur Utama, Direktur 1 dan Direktur 2 dan Direktur Keuangan.
Bila suatu ketika Dirut melakukan sesuatu dengan pihak ketiga, sedangkan direktur 1 dan direktur 2, dan direktur keuangan tidak melakukan sesuatu [berhubungan hukum dengan pihak ketiga], apapun hubungan hukumnya. Bisa perjanjian kredit, pengadaan barang dan lain sebagainya. Diilustrasikan justru pihak ketiga yang mengalami kerugian. Kemudian pihak ketiga akan menuntut kepada PT. selaku badan hukum, dan berhak bertemu dengan anggota direksi manapun.
Yang semula berhubungan hukum adalah dengan direktur utama, lalu direktur utama tersebut tidak ada, maka pihak ketiga dapat berhubungan dengan direktur 1 atau direktur 2 dan dalam rangka tanggung jawab kolegial direktur 1 dan direktur 2 tidak boleh menolak pihak ketiga yang datang dan memiliki hubungan hukum dengan PT. tersebut.
Tanggung jawab residual contohnya adalah: Bahwa apabila direktur 1 yang dahulu tidak setuju atas perbuatan hukum direktur utama yang atas nama PT tadi melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga, secara internal direktur 1 dapat melepaskan tanggung jawab.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 09.04 0 komentar
Label: Pidana
Pidana Perbankan: Antara Asas Kolegial dan Vicarious Liability
Penanganan kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan (tipibank) dalam suatu bank yang berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), perlu dipahami oleh penegak hukum mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organ PT, sehingga batasan tanggung jawab di dalam suatu perbuatan hukum yang memenuhi unsur tipibank dapat dipahami secara tepat dan memudahkan di dalam menentukan para pelaku dugaan tipibank.
Ada perbedaan pandangan para penegak hukum terkait penerapan hukum di dalam penanganan suatu kasus, misalnya dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, dengan beberapa direktur di dalamnya, asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya akan kontradiktif dengan asas kolegial dalam hukum perusahaan yang termaktub dalam UU No.40. tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Bagi ahli hukum pidana kecenderungan bahwa hanya pelaku yang secara langsung melakukan “kesalahan” yang akan dipidana dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain. Sedangkan dalam hukum perusahaan, secara jelas dan tegas, setiap pihak memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat dimungkinkan bahwa karena kewenangannya, suatu pihak, misalnya direksi, harus bertanggung jawab atas nama PT. dalam suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan.
Berkembangnya wacana pemberlakuan vicarious liability yang menjadi perhatian sekaligus kekuatiran praktisi perbankan, merupakan kajian menarik dan penting dalam penanganan kasus tipibank. Doktrin yang diadopsi dari common law tersebut menyatakan bahwa
“Korporasi/ perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak lain yang menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini korporasi dapat dipersalahkan meskipun tindakan yang dialakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat dikontrol (Prof. Dr. Bismar Nasution, “Kejahatan Korporasi dan pertanggungjawabannya”-2006).
Hal tersebut berarti bahwa pemidanaan tidak selalu didasarkan kepada adanya unsur kesalahan, yang berbeda dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Pandangan sebagian besar penegak hukum mengenai asas “Ambelijk bevel” atau perintah jabatan yang termaktub dalam Ps. 51 ayat 1 KUHP, sering digunakan untuk mengintepretasikan perbuatan hukum para pegawai bank yang turut melakukan tipibank atas “tekanan dan paksaan” atasan.
Walaupun sesungguhnya asas tersebut digunakan dalam “perintah untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan/ wettelijk voorschrift“, bagi pejabat publik. (Prof. Wirjono Prodjodikoro, “Asas-asas hukum pidana di Indonesia”-1967). Namun, pada umumnya dengan penerapan asas tersebut kurang tepat kiranya di dalam penanganan kasus dugaan tipibank yang dilakukan pada bank umum dan BPR.
Atas beberapa hal yang telah dikemukakan tersebut di atas mengenai adanya perbedaan pandangan, kontradiksi antara penerapan lapanagan hukum pidana dan keperdataan merupakan topik bahasan yang menarik dan perlu dikaji, demi kemajuan yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Catatan:
Bagi teman-teman yang sedang menyusun skripsi beberapa hal ketentuan dalam UU PT yang baru dan konsep maupun asas lama mengenai hukum perusahaan maupun mengarah pada hukum pidana dapat dijadikan bahan kajian. Perlu adanya terobosan yang membedah “irisan” antara dua lapangan hukum, bahkan lebih.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 09.03 0 komentar
Label: Bank, Pidana
Gratifikasi
Oleh: Andi Wahyu W
[Penulis adalah praktisi dan pemerhati hukum]
Dikisahkan pada jaman Nabi Muhammad terdapat seorang pejabat penarik zakat di Distrik Bani Sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prakteknya ia mengambil sedikit harta zakat yang dikumpulkannya yang ia klaim sebagai hadiah. Mendengar hal itu, Nabi memberi reaksi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa orang yang telah diangkatnya sebagai pejabat maka jika ia menerima sesuatu yang di luar gajinya adalah tindakan korupsi.
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian gratifikasi sebagai “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.
Pemidanaan Gratifikasi.
Gratifikasi berbeda dengan hadian dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan semata. Gratifikasi pemberian untuk memperoleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran inilah yang menjadi landasan pasal pemidanaan gratifikasi. Pasal pemidanaan gratifikasi, Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Dari rumusan pasal tersebut, berarti tidak semua gratifikasi menjadi suap. gratifikasi yang menjadi suap yang berakibat hukuman pidana (pemidanaan gratifikasi) (pasal 12B(2)).
Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi.
Dari rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi.
Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata”apabila berhubungan dengan”. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata “apabila” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap.
Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut.
Sahkah Tangkap Tangan Gratifikasi ?
Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi menjadi tindak pidana sehingga aparat hukum atau penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana.
Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1)).
Gratifikasi sebagai simbol.
Berdasarkan kontruksi hukum diatas, sesungguhnya penangkapan tangan penerimaan gratifikasi tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 12C (1). Namun, disisi lain, penangkapan gratifikasi sangat bermanfaat untuk mengungkapkan adanya kesepakatan perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena gratifikasi menjadi artefak atau simbol atau kesepakatan tersebut. Gratifikasi merupakan wajah di ujung permainan konspiratif tindak pidana korupsi.Tanpa ada tangkan tangan gratifikasi tidak mungkin atau sulit mengungkapkan adanya konspirasi tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, seharusnya KPK jika berhasil menangkap tangan peristiwa gratifikasi, lantas jangan berkutat di gratifikasinya tapi harus menjadikan tangkap tangan gratifikasi sebagai cara menangkap tangan adanya perbuatan konspirasi koruptif. Jangan sampai penerima gratifikasi ditangkap diproses pidana, sementara yang berada dikonspirasi (awal permainan konspiratif) tidak tersentuh proses pidana. Bisa jadi yang tertangkap tangan hanyalah satu dua orang dari peserta konspirasi yang mana peserta lain lebih besar menikmati keuntungan materi yang diperoleh dari perbuatan konspirasi.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 08.34 0 komentar
Label: Korupsi, Pidana
Minggu, 04 April 2010
Kriminologi vs Hukum Pidana
Perbedaan hukum pidana dengan kriminologi dari artian ilmu pengetahuannya adalah Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan dogmatis, dan berkerjanyapun adalah secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan lam kondrat, menggunakan metoda empiris-deduktif. Namun, hukum pidana sampai batas-batas tertentu juga menggunakan induksi dan empiris. Namun antara kedua ilmu pengetahuan inin dianggap ada suatu perbedaan. Ilmu pengetahuan hukum pidana masih saja terutama dipandang sebagai pengetahuan normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu dalam rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan. Sedangakan kriminologi lebih banyak menelusuri dan meyelidiki tentang kondisi-kondisi sosial dari konflik, dan akibat-akibat serta pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkan secara kritis efek-efek dari represi yang besifat kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu.
Ilmu hukum pidana memiliki objek adalah hukum yang belaku, norma-norma dan sanksi-sanksi hukum pidana yang berlaku. Ilmu pengetahuan inilah yang harus meneliti tentang asas-asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan undang-undang. Tugas dari hukum pidana bersifat kritis. Disinilah kriminologi memainkan peranannya pula, kepntingan kriminologi berusaha untuk menhadi pasangan yang tangguh dari ilmu hukum pidana yang kritis. Secara klasik dikatakan, bahwa sumber adalah undang-undang, kebiasaan, peradilan, dan ajaran-anjaran hukum. Tetapi diantara sumber-sumber hukum ada kepatuhan-kepatuhan. Kriminologi banyak membuat penerangan jalan kearah sumper kepatuhan ini, kriminologilah yang membantu ilmu hukum pidana disini. Bahkan dikatakan bahwa kriminologi mendobrak hukum pidana yang telah berpuas diri itu dan menunjukan kepada pembentuk undang-undang dan hakim mengenai tanggung jawab mereka yang sangat besar dalam bidang kemanusiaan ini.
Keadaan perundang-undangan yang berlebihan merupakan keadaan yang sering kita lihat. Banyak lahirnya hukum “tanpa kepala”, maksudnya tanpa suatu pandangan kemanusiaan yang jelas. Melalui sejarah hukum seorang ahli kriminologi mengetahui bagaimana perundang-undangan duu mengenai hal tersebut. Atau melalui perbandingan hukum: mengatur tentang hal yang sama. jadi kriminologi dan ilmu hukum pidana saling mempengaruhi. Kriminologi menerima hukum itu seperti dimaksudkan oleh hukum pidana sebaliknya kriminologi dan praktek hukum memperkaya ilmu hukum pidana dan mengadakan evaluasi atas hukum pidana itu.
Ilmu pengetahuan sekarang menjadi alat untuk dapat lebih baik mengerti tentang individu dan masyarakat. Dalam proses ini kriminologi lalu menjadi otonom sebagai suatu cara pendekatan tersendiri dari manusia. Kriminologi lebih banyak memperhatikan prevensi dari kejahatan dan berusaha lebih positif lagi bagi kesejahteraan masyarakat. Ketentuan-ketentuan yang ada itu tidaklah semata-mata untuk kepentingan dari delinkuen, dimaksudkan oleh ketentuan-ketentuan ini adalah juga hal-hal yang menjadi tujuan dan akan dicapai oleh hukum pidana secara umum, yaitu menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan umum. Dan ini tidak hanya untuk delinkuen, tetapi juga untuk kehidupan masyarakat. Kedua-duanya harus didorongdan dimajukan oleh perkembangan ini.
Pada dasarnya, seorang ahli hukum, terutama bilamana dia mempunyai tugas sebagai hakim, masih harus menyentuh sekitar hakekat dari keadilan, justru dipandang sebagai suatu keharusan. Dan ini justru diakibatkan hal-hal dari “praktek itu sendiri”. Dikatakan bahwa jika seorang ahli hukum berpraktek hakim menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada hal-hal yang “telah ditetapkan” maka ia akan sampai berada didalam suatu lingkungan praktek dimana disebut mengadili. Ketidaktenangan itu adalah suatu rasa khawatir, yaitu khawatir oleh karena tidak termasuk dalam lingkungan yang dapat dikatakan “aman” didalam praktek. Dia akan dikatakan oleh umum menympang dari biasanya. Harus diakui bahwa persoalan ini lebih merupakan persoalan moral, bukan masalah praktis.
Ahli-ahli hukum, tentunya juga hakim pidana harus menyadari bahwa ada suatu bahaya yang lebih besar, yaitu disebabkan oleh teori-teori yang banyak mengenai hukum dan undang-undang, mereka akan menjadi lupa mengenai hukum sebagai suatu tujuan dan pengisi kehidupan manusia. Mereka menjadi buta mengenal hukum, dimana asas setiap orang akan menerima haknya benar-benar suatu kenyataan hidup. Hal yang pertama-tama harus direnungkannya adalah bahwa adalah keliru jika ilmu hukum pidana sebagai ilmu pengetahuan normative dipertentangkan dengan kriminologi dan ilmu-ilmu social lainnya yang disebut ilmu pengetahuan tentang kenyataan. Karena perbedaan itu, ilmu hukum pidana adalah semata-mata suatu ilmu pengetahuan mengenai norma-norma yang telah ditetapkan. Sebaliknya, seorang kriminolog mempunyai pengetahuan tentang kenyataan dari kejahatan sebagai gejala kejahatan. Menurut pandangan itu juga, untuk menjadi hakim pidana tidak perlu disyaratkan bahwa ia harus mempunyai pengetahuan kriminologi.
Perluasan dari pengetahuan dan pandangan itu juga dapat didorong bilamana dining antara ilmu pengetahuan normatif diterobos, bagi ahli-ahli hukum penerobosan ini mempunyai arti yang cukup besar, sebab bagi mereka hukum dan mengadili akan mendapat arti yang lebih dalam dan lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kini hubungan antara lembaga seperti lembaga kriminologi, dengan para hakim-hakim pidana itulah yang dapat mendorong kepada adanya kerjasama yang baik antara hakim-haki dan petugas-petugas lain yang terlibat dalam pidana dan peradilan pidana itu. Hanya caranya perlu dipikirkan agar terjadi integrasi satu dengan yang lain.
Diposkan oleh Excellent Lawyer di 19.36 0 komentar
Label: Kriminologi, Pidana
Sabtu, 03 April 2010
Hukum Pidana
> Hukum Pidana
Satu sisi hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel Indonesia.
> Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
>> Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
>> Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
>>> Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799 : Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat. Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya. Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
>>> Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855) : Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC. Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid). Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.
>>> Masa Regering Reglement (1855-1926) : Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang”. Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturanperaturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
>>> Masa Indische Staatregeling (1926-1942) : Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918..
>>> Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) : Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
>> Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
>>> Tahun 1945-1949 : Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.
>>> Tahun 1949-1950 : Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
>>> Tahun 1950-1959 : Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan :
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini.
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang undang Hukum Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan :
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
>>> Tahun 1959-sekarang : Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
> Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia-Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1873. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
Rabu, 18 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar