BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejarah perburuhan di Indonesia boleh dikatakan tidak pernah menggembirakan dimana nasib para pekerja selalu tragis dan menyedihkan hal ini bukan saja karena tenaga dan pikiran mereka yang harus dicurahkan untuk membantu tuan atau majikanya ( pengusaha ) melainkan nasib mereka juga dipertaruhkan, pada awal kemerdekaan sistem upah di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber sumber tetapi juga memiliki fungsi kebijakan sosial yaitu untuk melindungi yang lemah dengan mengaitkan upah sedemikian rupa dengan kebutuhan. Jika kita menyimak kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini terlihat betapa komplek dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya dan hal itu terus bermunculan tak ada kunjung penyelesaian sehingga mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran, sedikitnya ketersediaan lapangan kerja, sumber daya manusia yang berkualitas rendah, masalah upah, masalah kesejahteraan buruh, tunjangan sosial dan PHK semakin menjadi persoalan yang semakin kusut.
Berkaitan dengan upah minimum di Propinsi Jawa Barat tahun 2006 keputusan Gubernur telah menuai pro dan kontra dari kaum pekerja yang menilai bahwa upah minimum propinsi ( UMP ) itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diakibatkan karena harga harga yang meningkat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak yang membuat biaya hidup semakin mahal, bagi pengusaha sebagai pemberi upah juga punya persoalan yang sama yaitu merasa cemas melihat kenaikan biaya produksi yang dapat membuat prospek usaha mereka menjadi memburuk padahal sebenarnya upah minimum yang ditetapkan Gubernur di atas sangat jauh dari tuntutan para buruh yang mereka ajukan melalui Serikat pekerja dimana kenaikan upah rata rata yang mereka minta diharapkan sama dengan hasil dari survey kebutuhan hidup layak ( KHL ) dimana dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan upah yang telah ditentukan Gubernur tersebut hanya mengakomodir kebutuhan bagi mereka yang tidak mempunyai tanggungan anak atau keluarga tetapi sebagai standar hidup yang harus dipenuhi bagi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, non fisik maupun secara sosial selama satu bulan1).
Adapun kondisi pengupahan di daerah kabupaten Cirebon sendiri yang berkaitan dengan upah minimum kabupaten ( UMK ), pemerintah kabupaten Cirebon tahun 2008 menetapkan upah minimum diwilayahnya sebesar Rp 661.000,- berdasarkan survey angka kebutuhan hidup layak ( KHL ) bahwa masyarakat di daerah kabupaten Cirebon telah mencapai Rp 723.259,- jadi upah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten Cirebon tersebut masih jauh dari kebutuhan hidup yang layak2). Di Indonesia dimana tenaga kerja ( penawaran ) melimpah sementara kesempatan kerja ( permintaan ) sangat terbatas hal ini mengakibatkan posisi tawar pekerja menjadi rendah dan itulah sebabnya kenapa upah pekerja rendah disamping itu peningkatan upah pekerja mempunyai efek domino yang panjang. Ia akan meningkatkan daya beli, dan pada giliranya meningkatkan konsumsi, peningkatan konsumsi membutuhkan peningkatan kapasitas produksi barang konsumsi dan barang modal, peningkatan kapasitas produksi membutuhkan investasi baru dan penambahan tenaga kerja, penambahan tenaga kerja berarti bertambahnya jumlah orang yang berpenghasilan dan akan meningkatkan konsumsi serta membutuhkan peningkatan kapasitas produksi demikian seterusnya berulang bagai bola salju dan paradigma upah murah telah menghambat menggelindingya bola salju perekonomian tersebut. Bagi pengusaha penganut upah murah umumnya beralasan bahwa industri mereka padat karya dan akan sangat rentan terhadap dampak kenaikan upah pekerja, seberapa kecilpun kenaikan upah bila dikalikan dengan jumlah pekerja yang ribuan akan berdampak pada terkurasnya laba perusahaan, bahkan bisa merugi3).
Ditengah krisis keuangan global yang melanda dunia imbasnya terasa membawa dampak pada perekonomian di Indonesia dimana para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan pekerjanya demi kelangsungan hidup perusahaan, maka untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat berani demi kelangsungan hidup para pengusaha dan pekerja yaitu dengan diterbitkanya Surat Keputusan Bersama ( SKB ) 4 menteri yang ditandatangani oleh para menteri yaitu Menteri tenaga kerja dan transmigrasi ,Menteri perindustrian, Menteri perdagangan dan Menteri dalam negeri. Dimana isi salah satu point pasalnya dalam Surat Keputusan Bersama ini pemerintah tidak lagi ikut campur dalam menetapkan besaran upah melainkan menyerahkan masalah ini untuk dinegoisasikan antara management dengan serikat pekerja / buruh sesuai dengan kemampuan perusahaan, dimana yang sebenarnya SKB 4 menteri itu berisi tentang “ pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi pekembangan perekonomian global “. Rencana penerbitan Surat Keputusan Bersama itu langsung mendapat tanggapan dari pihak pengusaha yang berdalih tentang krisis keuangan global yang sedang melanda, pengusaha mengaku apabila upah dinaikan maka akan berimbas pada terjadinya putusan hubungan kerja ( PHK ) dalam hal ini industri yang paling berat menaikan upah minimum adalah industri padat karya dan industri rumah tangga.
Adanya krisis perekonomian global banyak para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan karyawanya dan pemutusan hubungan kerja ( PHK ), hal ini akan menjadi ancaman bagi pekerja / buruh sebagai dampak dari turunya permintaan komoditas eksport dan import, fenomena sosial ekonomi yang sedang berlangsung saat ini yang menyebabkan pemerintah merumuskan berbagai kebijakan emergency yang bersifat lebih pragmatis untuk menstabilkan dunia usaha dengan mengeluarkan SKB 4 menteri guna mensikapi akses krisis keuangan global dalam hal ini sifat arif dari pemerintah sedang diuji kapasitasnya sebagai penjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya serta apa yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akan menjadi landasan perilaku pengusaha dan juga bagi kalangan buruh untuk saling menjaga kepentingan ekonominya masing masing. Tetapi hal itu menimbulkan rasa pesimistis dari kalangan pengusaha dan pekerja atas terbitnya SKB 4 menteri dengan ditandai adanya daerah daerah yang tidak merespons dengan baik apa yang sudah menjadi putusan kebijaksanaan pemerintah serta masih banyaknya demo demo dari kalangan pekerja / buruh yang menginginkan kebijakan pemerintah tersebut agar direvisi kalau perlu dicabut.
Jawa Tengah adalah salah satu daerah yang mengabaikan adanya SKB 4 menteri dimana Gubernurnya tidak memberlakukan apa yang menjadi kebijakan pemerintah tersebut dikarenakan setelah Gubernur mendapat masukan dari unsur gabungan stakeholder industri yaitu Serikat pekerja, Apido, Dewan pengupahan, BPS dan perguruan tinggi maka Gubernur memutuskan untuk lebih berfihak kepada pekerja / buruh yaitu melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan didalam Undang undang ketengakerjaan yang berkaitan dengan upah minimum karena SKB 4 menteri dinilai cacat hukum sebab melanggar UUD 1945 dan Undang undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan Gubernur tersebut disambut baik oleh para pekerja karena Gubernur tidak mengindahkan SKB 4 menteri dengan mengeluarkan SK Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 561.4/52/2008 yang pada intinya UMK tahun 2009 naik rata rata 12,9 persen4).
Terbitnya SKB 4 menteri adalah langkah antisipasi awal yang berfungsi sebagai jaring pengaman terhadap kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja agar tidak terjadi PHK massal, dan SKB 4 menteri bukan berarti melarang terjadinya kenaikan UMR sesuai dengan kemampuan perusahaan akan tetapi dalam penentuan UMR tetap berdasarkan Undang undang ketenagakerjaan dengan mekanisme melalui rekomendasi dewan pengupahan daerah masing masing kepada pemerintah kabupaten /kota selanjutnya pemerintah kabupaten / kota merekomendasikan kepada Gubernur mengingat berdasarkan ketentuan Undang undang ketenagakerjaan adalah kewenangan Gubernur. Menteri tenaga kerja dan transmigrasi menambahkan bahwa kekhawatiran akan SKB 4 menteri ini akan membatasi kenaikan upah buruh tidak terbukti, hal itu dapat dilihat di 11 propinsi dimana kenaikan upah minimum 2009 lebih dari 10 persen beberapa daerah tersebut diantaranya DKI Jakarta yang naik 10 persen, Jawa Barat 10,56 persen, Sulawesi selatan mencapai 22,21 persen untuk kabupaten Cirebon sendiri kenaikan upah tahun 2009 mencapai 12,85 persen ( 85.000,- )dimana UMK ditentukan sebesar Rp 746.000,-
Polemik di daerah lain seputar penetapan upah minimum kabupaten / kota ( UMK ) adalah daerah Jawa Timur diharapkan tahun 2009 dipaksa sudah tuntas. Gubernur akhirnya menyetujui seluruh usul UMK dari seluruh kabupaten/kota dengan demikian besaran UMK tersebut harus sudah diterapkan per tahun 2009. Hal tersebut membuat pengusaha yang masih kesulitan menggaji sesuai dengan UMK tahun 2009 diijinkan memberlakukan besaran gaji seperti tahun sebelumnya namun harus melalui audit keuangan oleh pemerintah provinsi jika memang kondisi keuangan perusahaan tidak kuat. Keputusan Walikota Surabaya yang telah menetapkan UMK tahun 2009 sebesar Rp 948.500 atau naik 17 persen dari UMK tahun 2008 yang Rp 805.500, Bila dikaitkan dengan keluarnya SKB 4 menteri itu maka keputusan Walikota tersebut telah mengabaikan kebijakan pemerintah tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan krisis ekonomi global5).
Permasalahan permasalahan lain yang timbul akibat ketidakpuasan tentang terbitnya SKB 4 menteri adalah maraknya demo demo yang dilakukan oleh para pekerja / buruh di daerah daerah seluruh Indonesia. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( SPSI ) Kabupaten Bandung menyatakan menolak keras SKB 4 menteri yang berisi kesepakatan untuk tidak memberlakukan satu standarisasi upah minimum di satu wilayah tertentu, SKB itu sangat membingungkan disatu sisi UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mengenai upah minimum, disisi lain pemerintah memberikan patokan mengenai upah melalui kebijakan SKB 4 menteri6).
Begitu juga di daerah Kabupaten Cirebon dimana puluhan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam gerakan mahasiswa penyelamat reformasi serta solidaritas buruh Cirebon, melakukan aksi unjuk rasa menolak SKB 4 menteri tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global, bahwa SKB 4 menteri itu tidak berfihak kepada buruh, hanya menguntungkan pengusaha dan meminta Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah kabupaten Cirebon mengabaikan SKB itu dalam menentukan besaran UMK Kabupaten / kota di Jawa Barat tahun 20097), karena menimbulkan banyak kontroversi akhirnya SKB 4 menteri oleh pemerintah direvisi menjadi ”Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing masing daerah” dan ketentuan ini berlaku semenjak diumumkan pemerintah pada tanggal 27 November 2008 ,dimana tingkat inflasi bulan Januari sampai Oktober 2008 mencapai 10.96 persen8). Sebanarnya revisi yang dilakukan pemerintah terhadap ” pasal 3 ” yang menjadi kontroversi pemahaman dan persepsi sudah dikatakan terlambat karena dilakukan setelah sebagian besar pemerintah daerah dan dewan pengupahan sudah menetapkan kenaikan upah tahun 2009 untuk wilayah masing masing dimana 90 persen usulan kenaikan upah didaerah sudah diteken.
B. FOKUS STUDI DAN PERUMUSAN MASALAH
Kebijakan pemerintah tentang SKB 4 menteri telah menuai pro dan kontra dikalangan pengusaha maupun pekerja, khususnya ” pasal 3 ” yang menjadi sumber utama pemicu munculnya perbedaan persepsi dan pemahaman dimana dalam pelaksanaan dilapangan ada daerah yang mengabaikan kebijakan SKB 4 menteri dan dengan direvisinya SKB 4 menteri setelah ditolak melalui unjuk rasa dan disambut gembira oleh kalangan pekerja / buruh namun bagi kalangan pengusaha hal itu menjadi beban perusahaan, berdasarkan pada kontroversi yang terjadi akibat terbitnya SKB 4 menteri tersebut maka dalam penelitian ini akan membuat fokus studi yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah persepsi pengusaha rotan terhadap terbitnya SKB 4 menteri ?
2. Mengapa pekerja / buruh menolak adanya SKB 4 menteri ?
3. Bagaimanakah rekontruksi kebijakan SKB 4 menteri yang berkeadilan ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar