BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Gagasan pendiri bangsa bahwa desa sebagai suatu komunitas otonomi berdasarkan keaslian adat istiadat yang selalu dikaitkan dengan asal-usul senantiasa dihormati. Penghormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengakuan dalam UU tentang pemerintahan daerah baik perubahannya sejak UU No.tahun 1945. Perubahan ditiap UU hingga UU No. 22 tahun 1999 dan sekarang telah lahir undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan batasan yang berbeda-beda tentang desa namun pada intinya batasan tersebut bahwa desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri.
Bila dikaji rumusan desa ditiap perubahan UU tentang pemerintahan yang ada, tampak pemerintah menemukan kesulitan tersendiri untuk menetapkan arah apa saja yang menjadi kewenangan desa. Namun uniknya kewenangan yang tidak jelas tersebut tetap dihormati oleh UU yang ada. Oleh karena itu berbagai intervensi yang dilakukan pihak luar baik pemerintah maupun LSM belum mengacu pada kewenangan yang dimiliki oleh desa. Bahkan intervensi ini sering kali justru memperkenalkan sesuatu yang menurut pihak luar akan bermanfaat bagi masyarakat desa. Mari kita simak kembali beberapa intervensi yang ada didesa misalnya :
1. Hampir seluruh departemen yang ada kecuali departemen luar negeri memiliki perpanjangan tangan di desa dalam bentuk organisasi misalnya Kelompok Tani ( Deptan), Karang Taruna (depsos), PKK, Pemdes, LKMD/LMD/BPD (Depdagri) P3A (PU/), Kelompencapir (Deppen/BIN, Kelompok Usaha bersama (BKKBN), Koperasi Unit Desa (Menkop/PKK), Kelompok Tani Hutan (Dephut) dll. Chemma G. Shabhir, menyebutkan organisasi ini dikelompokkan menjadi organisasi standar. Hampir seluruh program yang digagas oleh perencana diaras desa dimasukkan ke desa melalui kelembagaan ini.
2. Organisasi asli desa yaitu organisasi yang tumbuh atas inisiatif masyarakat itu sendiri seperti Serikat Tolong Menolong, Arisan, kelompok olah raga, remaja mesjid dll kurang mendapat perhatian pemerintah. Organisasi ini oleh FAO dikategorikan sebagai organisasi sukarela.
3. Intervensi pemerintah diaras desa, masuk kedesa tanpa konsep yang jelas, semua didasarkan atas kepentingan instansi pembina organisasi standar desa dan biasanya tidak terintegrasi dengan baik. Dengan demikian masyarakat desa tidak mempunyai suatu sistem yang terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya (kapital) eksternal tersebut. Akibatnya sumber daya tersebut terdistribusikan seluruhnya tanpa diiringi kemampuan untuk memperbaharui ataupun mengadakan sumber daya tersebut. Apalagi saluran masuk intervensi ini seringkali melalui organisasi standar desa saja seperti pemerintahan desa dan kelembagaan lainnya.
4. Sumber daya internal desa kurang termanfaatkan, pemerintahan desa dibiayai mayoritas dari sumberdana diaras desa baik dalam bentuk Inpres/bantuan pembangunan desa maupun proyek-proyek yang masuk ke desa. Akibatnya governance desa sangat tergantung pada hubungan baiknya dengan kekuasaan diaras desa. Sementara akumulasi sumber daya internal tidak terjadi.
Melihat kecenderungan yang terjadi seperti diuraikan diatas tampaklah pemikiran sebagian para ahli yang menyatakan bahwa pembangunan desa selama ini terkooptasi oleh kepentingan pemerintah. Pembangunan desa disandarkan pada kepentingan pemerintah untuk membangun desa bukan atas kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa untuk membangun dirinya sendiri.
I.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut diatas penulis mencoba untuk mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakan Desa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999?
2. Bagaiamanakah perwujudan kewenangan Pemerintah Desa dalam mewujudkan otonomi desa menurut Undang-undang nomor 32 Tahun 2004?
Sabtu, 07 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar