HUKUM INTERNASIONAL
1. SUMBER KERAGUAN
Suatu gagasan serikat buruh adalah sebuah aturan sekunder dan utama yang sedemikian penting telah dituliskan dalam buku ini yang berkenaan dengan hukum. Teori tentang undang-undang telah mencari kunci pemahaman tentang hukum kadang-kadang sangat sederhana gagasan yang kompleks dalam konteks kesusilaan. Hukum ini mempunyai banyak hubungan yang dekat dan koneksi; dalam melihat berbagai hubungan antar hukum maupun paksaan, dan kesusilaan untuk mempertimbangkan apa yang ada.
Meskipun demikian gagasan untuk sebuah perserikatan tentang aturan sekunder dan utama mempunyai kebaikan atau kelebihan dan demikian dari karakteristik ini sebagai suatu kondisi yang cukup untuk diaplikasikan sebagai ungkapan yang sah tentang undang-undang. kita tidak mempunyai clamed bahwa kata hukum harus digambarkan dalam terminologi nya . sebab kita tidak membuat apapun. klaim itu untuk mengidentifikasi atau mengatur penggunaan kata-kata seperti 'hukum' atau undang-undang' .Buku ditawarkan untuk menerangkan tentang konsep hukum, dibanding suatu definisi hukum yang mungkin secara alami diharapkan untuk menyediakan aturan-aturan dalam penggunaan ttg ungkapan ini. Secara konsisten hal tujuan ini untuk menyelidiki. Didalam bab yang terakhir, Kasus Jerman ttg kejahatan/kebengisan moral mereka, sungguhpun mereka mempunyai suatu sistem yang berjalan ttg aturan sekunder dan utama. Pada akhirnya kita menolak klaim ini; tetapi kita harus mengikuti, bukan sebab itu conflicted dengan pandangan yang telah diatur mempunyai rasa memiliki ke dalam sistim yang demikian yang disebut 'hukum', Sebagai gantinya kita mengkritik usaha untuk membatasi ttg tekanan dari apa yang secara moral bengis, untuk lakukan ini tidak membantu atau memperjelas baik pemeriksaan teoritis maupun moral deliberation. Karena ini bermaksud, konsep yang lebih luas yang mana adalah konsisten dengan banyak pemakaian dan yang peduli ttg aturan. Hukum internasional mengatur tentang kasus yang sebaliknya. Konsistensi tentang pemakaian yang terakhir menggunakan ungkapan 'hukum' sudah berjalan 150 th, ketiadaan dari suatu badan pembuat undang-undang internasional, dengan yurisdiksi, dan sanksi, bagaimanapun juga dari ahli teori yang sah tentang undang-undang. Ketiadaan dari institusi ini berarti bahwa aturan untuk Negara yang menyerupai format dari struktur sosial, terdiri atas hanya peraturan tentang kewajiban utama/pokok, yang isinya antar masyarakat individu, kita terbiasa membandingkan dengan suatu sistem tentang undang-undang yang dikembangkan. tentu saja hal itu dapat dibantah, ketika kita akan menunjukkan bahwa, hukum internasional adalah tidak hanya peraturan tentang perubahan dan putusan hakim saja tetapi juga menyediakan badan pembuat undang-undang dan pengadilan atau lingkungan. Perbedaan ini tentu saja membentur dan timbul suatu pertanyaan bahwa' Apakah hukum internasional itu benar-benar hukum?'. Tetapi dalam hal ini juga, kita tidak akan kehilangan keraguan itu, yang mana hanya mengkonfirmasikan pada atas kedudukan bahwa keberadaan serikat buruh aturan sekunder dan utama adalah suatu yang sangat perlu seperti halnya suatu kondisi cukup untuk penggunaan yang sesuai ungkapan 'sistem tentang undang-undang'. Sebagai gantinya kita akan menanyakan bagi karakter yang terperinci keraguan yang telah dirasakan, dan, seperti Kasus di Jerman, kita akan bertanya apakah pemakaian lebih luas yang umum yang berbicara tentang 'hukum internasional' mungkin untuk membatasi tentang tujuan teoritis atau praktis.
Meskipun demikian kita akan menjelaskan itu pada bab tunggal beberapa para penulis sudah mengusulkan mempertanyakan mengenai karakter hukum internasional. Telah nampak bahwa ada suatu pertanyaan 'Apakah hukum internasional itu benar-benar hukum?' suatu hal yang sepele tentang arti dari kata-kata yang salah mengira untuk suatu pertanyaan serius tentang berbagai hal: yang membedakan hukum internasional dari hukum nasional, satu-satunya pertanyaan untuk dimantapkan adalah apakah kita perlu mengamati konvensi yang ada atau meninggalkan itu, dan ini suatu perihal untuk masing-masing orang bersedia menerima dirinya. Tetapi hal yang kecil tentang pertanyaan ini sungguh pasti terlalu sederhana dan singkat. Adalah benar bahwa di antara alasan yang sudah mengilhami ahli teori untuk meragukan hal diatas adalah perluasan kata 'hukum' ke hukum internasional. suatu yang terlalu sederhana, dan tentu saja pandangan absurd, dari apa yang membenarkan aplikasi kata yang berbeda-beda pada beberapa bagian, variasi jenis prinsip yang biasanya memandu perluasan ttg penggolongan umum terminologi sering juga diabaikan jurisprudensinya. Semakin sedikit, sumber keraguan tentang hukum internasional adalah lebih menarik dibanding salah mengira 'memandang tentang penggunaan kata-kata. Lebih dari itu, dua alternatif yang ditawarkan dalam hal yang kecil pendek/singkat adalah pertanyaan 'haruskah mengamati konvensi yang ada atau haruskah meninggalkan itu?', ada alternatif bagaimana membuat tegas/eksplisit dan menguji prinsip itu yang sudah dan sesungguhnya memandu pemakaian yang ada.
Jalan pintas yang diusulkan akan tentu saja sesuai jika kita adalah berhadapan dengan suatu nama diri. Jika seseorang adalah tanya apakah tempat contoh 'London' adalah benar benar London, semua kita dapat melakukan untuk mengingatkan tentang konvensi dan meninggalkannya untuk mentaati atau memilih nama lain yang sesuaikan. dan bersifat absurd. Menangani suatu kasus, pada apakah prinsip ini bisa diterima. Ini akan bersifat absurd sebab, mana hanya pada atas konvensi khusus terminologi yang umum tentang segala tidak pernah tanpa dasar pemikiran atau prinsip nya, meskipun demikian mungkin tidak jelas nyata apa yang terjadi. Ketika, Kita mengetahui yang disebut hukum, apakah itu sungguh hukum?'
Kita akan mempertimbangkan dua sumber yang prinsip meragukan mengenai karakter hukum internasional yang sah/tentang undang-undang dan, dengan mereka, yang langkah-langkah ahli teori sudah mengambil untuk temu keraguan ini.
INTERNATIONAL LAW
1. SOURCES OF DOUBT
The idea of a union of primary and secondary rules to which so important a place has been assigned in this book may be regarded as a mean between juristic extremes. For legal theory has sought the key top the understanding of law some times in the simple idea of an order backed by threats and sometimes in the complex idea of morality. With both of these law has certainly many affinities and connections; yet, as we have seen, there is a perennial danger of exaggerating these and of obscuring the special features which we have taken as central that it permits to see the multiple relationships between law, coercion, and morality for that they are, and to consider afresh in what, if any, sense these are necessary.
Though the idea of union of primary and secondary rules has these virtues, and though it would accord whit usage to treat the existence of this characteristic union of rules as a sufficient condition for the application of the expression ‘legal system’, we have not clamed that the word ‘law’ must be defined in its terms. It is because we make no such claim to identify or regulate in this way the use of words like ‘law’ or ‘legal’ that this book is offered as an elucidation of the concept of law, rather than a definition of ‘law’ which might naturally be expected to provide a rule of rules for the use of these expressions. Consistently whit this aim, we investigated, in the last chapter, the claim made in the German cases, that account of their moral iniquity, even though they belonged to an existing system of primary and secondary rules. In the end we rejected this claim; but we did so, not because it conflicted with the view that rules belong into such a system must be called ‘ law ‘, nor because it conflicted with the weight of usage.
Instead we criticized the attempt to narrow the class of valid us by the extrusion of what was morally iniquitous, on the sound that to do this did not advance or clarify either theoretical inquiries or moral deliberation. For these purposes, the broader concept which is consistent with so much usage and which would permit us to regard rules however morally iniquitous as law, proved on examination to be adequate. International law presents us with the converse case. For, tough it is consistent with the usage of the last 150 years to use the expression ‘law’ here, the absence of an international legislature, courts with compulsory jurisdiction, and centrally organized sanctions have inspired misgivings, at any rate in the breasts of legal theorists. The absence of these institutions means that the rules for states resemble that simple form of social structure, consisting only of primary rules of obligation, which, when we find it among societies of individuals, we are accustomed to contrast with a developed legal system. It is indeed arguable, as we shall show, that international law not only lacks the secondary rules of change and adjudication which provide for legislature and courts, but also a unifying rule of recognition specifying ‘sources’ of law and providing general criteria for the identification of its rules. These differences are indeed striking and the question ‘Is international law really law?’ can hardly be put aside. But in this case also, we shall neither dismiss the doubts, which many feel, with a simple reminder of the existing usage; nor shall we simply confirm them on the footing that the existence of a union of primary and secondary rules is a necessary as well as a sufficient condition for the proper use of the expression ‘legal system’. Instead we shall inquire unto the detailed character of the doubts which have been felt, and, as in the German case, we shall ask whether the common wider usage that speaks of ‘international law’ is likely to obstruct any practical or theoretical aim.
Though we shall devote to it only a single chapter some writers have proposed an even shorter treatment for this question concerning the character of international law. To them it has seemed that the question ‘Is international law really law?’ has only arisen or survived, because a trivial question about the meaning of words has been mistaken for a serious question about the nature of things: since the facts which differentiate international law from municipal law are clear and well known, the only question to be settled is whether we should observe the existing convention or depart from it, and this a matter for each person to settle for himself. But this short way whit the question is surely too short. It is true that among the reason s which have led theorists to hesitate over the extension of the word ‘law’ to international law a too simple, and indeed absurd view, of what justifies the application of the same word to many different things has played some part, the variety of type of principle which commonly guide the extension of general classifying terms has too often been ignored in jurisprudence. None the less, the sources of doubt about international law are deeper, and more interesting than these mistaken ’views about the use of words. Moreover, the two alternatives offered by this short way whit the question (‘shall we observe the existing convention or shall we depart from it?’) are not exhaustive l; for, besides them, there is the alternative of making explicit and examining the principles that have in fact guided the existing usage.
The sort way suggested would indeed be appropriate if we were dealing with a proper name. If someone were to ask whether the place called ‘London’ is really London, all we could do would be to remind him of the convention and leave him to abide by it or choose another name to suit his taste. It would be absurd, in suck a case, to ask on what principle London was so called and whether this principle was acceptable. This would be absurd because, where as the allotment of proper names rests only on ad hoc convention, the extension of the general terms of any serious discipline is never without its principle or rationale, though it may not be obvious what that is. When as, in effect say, ‘We know that it is called law, but it is really law?’, what is demanded-no doubt obscurely-is that the principle be made explicit and its credentials inspected.
We shall consider two principal sources of doubt concerning the legal character of international law and, with them, the steps which theorists have taken to meet these doubts.
Sabtu, 07 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar