Selasa, 10 November 2009

Hukum Dan Perilaku

Oleh Satjipto Raharjo
Untuk melihat perilaku manusia sebagai hukum, diperlukan kesediaan untuk mengubah konsep mengenai hukum, yaitu tidak hanya menganggapnya sebagai peraturan tetapi juga sebagai perilaku. Selama ini kita bersikukuh bahwa hukum itu semata-mata adalah peraturan. Tidak ada yang lain. Maka, sulitlah untuk memahami bahwa hukum juga bisa muncul dalam bentuk perilaku.

Bagaimana hubungan antara hukum dan perilaku? Manakah yang lebih utama, berhukum dengan perilaku atau berhukum dengan teks? Penulis ingin membuktikan perilaku lebih menentukan kualitas berhukum suatu bangsa, bukan pada bahan hukum, sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya. Fundamen hukum terletak pada cara hidup dan perilaku yang baik

Sabtu, 07 November 2009

Filsafat Ilmu

Tujuan Filsafat Ilmu :
 Memberikan pemahaman tentang landasan substansi ilmu, dasar pijakan berpikir, memahami sumber dan status kebenaran, menumbuhkan semangat berpikir, pendekatan dan prosedur berpikir ilmiah, tanggungjawab ilmiah, cakrawala ilmu sosial dan ilmu alam, dan tujuan ilmu.

Silabus Filsafat Ilmu :
 Ilmu (sains) sebagai pengetahuan yang dipandu secara normatif dari (Tuhan Yang Maha Esa) pencarian atau penguasaan ilmu. Sumber & status kebenaran dan nilai ilmu. Manusia yg berkemampuan untuk mengetahui, nalar, sejarah perkembangan filsafat & ilmu, dunia rasa & ratio, ikhtiar versus takdir, sains empiris, penalaran deduktif, hubungan filsafat, sains dan metodologi, persamaan & perbedaan ilmu alamiah & ilmu sosial, perintisan ilmu (sains) berdasarkan agama.

Kompetensi dasar berkembang atau dikembangkan ?
Kemampuan dapat dibangkitkan :
• Oleh orang lain (dituntut belajar, diaktifkan instrumennya).
• Berupaya bangkit sendiri atas kesadarannya.
• Terdorong oleh kekuatan lingkungan.

Segala sesuatu yang dilewati dalam hidup, akan menjadi pengalaman (memory) dan akan terakumulasi menjadi kekuatan. Nilai yang terkandung akan mengalami reaksi (antara kebaikan dan keburukan).

Kompetensi dasar yang dimiliki diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan isi silabus yang meliputi :
Teori Hukum, Organisasi Hukum, Hukum Publik, Hukum Privat, Politik Hukum, hingga Metodelogi penelitian.

Kesinambungan Filsafat Ilmu, Metodologi Penelitian, dan statistik meliputi;
• Filsafat ilmu, mengantarkan dorongan dan semangat manusia untuk mengembangkan ilmu. Menerangkan latar belakang pencarian ilmu dan kebenaran relatif suatu ilmu untuk menuju kesejahteraan, kemudahan memulai, memproses, serta kemudahan mengembangkan kegunaannya mengenai urusan Administrasi Publik, tanpa mengabaikan firman Allah SWT sebagai penjamin hidup-mati-dan hidup dalam kemuliaan.
• Metode penelitian, penunjang kemampuan proses pengkajian substansi, meliputi latar belakang, tujuan, dsb ============> hingga berbagai model penetapan dalam penarikan simpulan.
• Statistik, kolerasi, dan regresi, menunjang teknik tabulasi, penghitungan, dan penetapan nilai terhadap hasil perhitungan, untuk mendapatkan akurasi penarikan simpulan.

Substansi dasar kemampuan manusia (kompetensi dasar menulis) meliputi: kemampuan melihat, mendengar, membaca, menulis, menggambar, mencium, merasa, membayangkan, berbicara, berargumen, dan keterampilan teknis atas anggota badannya.

Pembagian operasi beberapa organ tubuh :
Mata => melihat, observasi
Telinga => mendengar
Mulut => membaca, berbicara, berargumen
Hidung => mencium
Lidah => merasa
Otak => berfikir, mengingat, menghitung, membayangkan,
berimajinasi
Tangan => menulis dan menggambar

Pengaturan Otonomi Seluas luasnya Berdasarkan UUD 1945

Pengaturan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan UUD 1945

Oleh : Dr. Iis Krisnandar, SH.CN .

Pelaksanaan Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami pasang surut sejak kemerdekaan sampai dengan sekarang. Setelah adanya amandemen kedua UUD 1945 telah ditentukan bentuk otonomi yang dianut yaitu otonomi yang seluas-luasnya. Namun demikian dalam UU No. 32 Tahun 2004 masih terdapat inkosistensi dari makna otonomi seluas-luasnya dan ketidak jelasan pembagian urusan tiap-tiap susunan pemerintahan

A. Pendahuluan
Sejak kemerdekaan Indonesia, pengaturan otonomi daerah selalu berubah-ubah mulai diatur dalam UU No. 1 Tahun 1945 dan lebih tegas dalam UU No. 22 Tahun 1948 sampai dengan saat ini dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004.
Sering terjadinya perubahan UU pemerintahan daerah dipengaruhi oleh dua keadaan, pertama : Konstitusi (UUD 1945 sebelum amademen) memberikan kebebasan kepada pembuat undang-undang untuk menentukan bentuk otonomi, kedua : pengaturan otonomi diwarnai konfigurasi politik yang berkembang saat itu dan adanya spanning kepentingan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terlepas dari kepentingan politik terhadap pengaturan otonomi daerah, dimulai dengan adanya amandemen kedua UUD 1945 terutama Pasal 18 terdapat ketentuan yang jelas bentuk otonomi apa yang akan diberikan kepada daerah. Pengaturan otonomi daerah dalam UUD 1945 ini merupakan tonggak sejarah bagi pelaksanaan pemerintahan daerah, oleh karena itu undang-undang pemerintahan daerah harus dijiwai oleh semangat otonomi seluas-luasnya akan tetapi tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Identifikasi Masalah
Bagaimana implementasi otonomi seluas-luasnya berdasarkan UUD 1945 dalam pengaturan undang-undang pemerintah daerah saat ini?


C. Kerangka Teori
Bentuk negara di dunia pada dewasa ini terdapat 2 (dua) bentuk yaitu bentuk negara federal (serikat) dan negara kesatuan, sedangkan satu lagi bentuk negara konfederasi sudah ditinggalkan menjadi bentuk Negara federal atau kesatuan .
Bentuk negara yang dianut oleh Negara Republik Indonesia adalah bentuk negara kesatuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Pengertian Negara kesatuan adalah the habitual exercise of supreme authority by one control, lebih lanjut C.F. Strong menyatakan bahwa the essential qualities of a unitary state may therefore be said to be :
1) the supremacy of the control parliament
2) the absence of subsiadary soverign bodies
Pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa Negara Kesatuan adalah suatu Negara yang merdeka dan berdaulat yang berkuasa hanya satu pemerintahan yaitu pemerintah pusat yang mengatur seluruh daerah sebagai bagian dari negara.
Pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya terdapat dua subsistem pemerintahan yaitu :
Pertama : Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi, berarti seluruh kewenangan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat disebut dengan sistem konsentrasi. Dalam sistem konsentrasi ini tidak ada daerah atau wilayah bawahan. Kemudian dalam sistem sentralisasi ini ada pula yang memakai sistem pemencaran kewenangan yaitu yang melaksanakan kewenangan pusat didelegasikan kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah untuk melaksanakan kehendak dari pemerintah pusat, hal ini disebut dengan sistem dekonsentrasi.
Kedua : Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, berarti sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Salah satu latar belakang Negara Kesatuan yang menganut sistem desentralisasi seperti halnya Negara Indonesia adalah luas wilayah, makin banyaknya tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat adanya perbedaan daerah yang satu dengan yang lain yang sukar diatur dan diurus secara sama (uniform) oleh pemerintah pusat.
Pengetian etimologis desentralisasi berasal dari bahasa latin yang berarti lepas dari pusat, kemudian dalam kamus wesber memberikan perumusan : to dezentralize means to devide and distribute, as governmental administration to withdraw from the center or place of concentration (desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya administrasi pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi).
Pengertian Desentralisasi terdapat pendapat yang berlainan diantara para ahli, diantaranya Hans Kelsen membahas desentrralisasi diimplemantsikan dalam tatanan hukum (legal order) yang berlaku untuk wilayah tertentu atau bagian-bagian wilayah yang berbeda (decentral or local norm) yang membagi dalam dua macam desentralisasi yaitu desentralisasi statis dan dinamis
Rondinelli dan cheema mengartikan decentralization decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or nongovernmental organizations, (desentralisasi adalah perpindahan perencanaan, pegambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat pusat ke organisasi bidangnya, unit administratif local, semi-autonomous dan parastatal organisasi, pemerintah local, atau organisasi non pemerintah). Kemudian Bayu Surianingrat dan R. Tresna dalam Bukunya Bertamsja Ke- Taman Ketatanegaraan mengemukakan desentralisasi dikenal dalam 2 macam, yaitu desentralisasi jabatan (ambtelijke desentralisatie) dapat juga disebut dengan dekonsentrasi dan desentralisasi kenegaraan (staatskundige desentralisatie), desentralisasi kenegaraan ini dibagi dua yaitu desentralisasi territorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie), kemudian Van der Pot yang membagi desentralisasi dalam dua bagian yaitu desentralisasi territorial ( teritorriale decentralisatie ) dan desentralisasi fungsional ( fungctioneele decentralisatie).
Dari uraian berbagai pendapat tersebut pengertian desentralisasi dapat digolongkan kedalam kelompok sebagai berikut :
Pertama : Desentralisasi dilihat dari segi berlakunya tatanan hukum (legal order), pendapat ini dikemukakan oleh Hans Kelsen, dan
Kedua : Desentralisasi dilihat dari pemencaran kewenangan, kebanyakan para sarjana yang telah disebutkan diatas, terbagi lagi dalam kelompok :
1). Pengertian desentralisasi mencakup dekonsentrasi, yaitu Bayu Surianingrat, Tresna, Bulthuis, Rondinelli dan cheema, Riggs dan Ateng Syarifudin. Walaupun sama-sama memasukkan dekonsentrasi dalam pengertian desentralisasi namun terdapat beberapa perbedaan bentuk-bentuk desentralisasi yang seperti tersebut yang dikemukakan diatas.
2). Pengertian desentralisasi tidak mencakup dekonsentrasi, yaitu Van Der Pot yang membagi desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional demikian juga Amrah Muslimin, walaupun pengertian desentralisasi dan dekonsentrasi masing-masing mengandung pengertian sendiri tapi keduanya merupakan termasuk dalam asas kedaerahan.
Dari pelbagai rumusan desentralisasi pendapat para ahli tersebut dalam perundang-undangan di Indonesia umumnya menggunakan desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional yang berwujud dalam bentuk otonomi dan tugas pembantuan (medebewind).
Menurut Logeman dalam tulisannya Het Staatsrecht der zelfregende gemeenschappen yang dikutip dan diterjemahkan Ateng Syafrudin menerangkan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom berarti memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakasanya sendiri dari segala macam kekuasaannya, untuk mengurus kepentingan umum (penduduk). Ateng Syafrudin lebih lanjut menerangkan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid).
Mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dalam teori pada umumnya dikenal ada tiga ajaran, yaitu :
Pertama : ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoundingleer), menurut ajaran ini pembagian tugas, antara pemerintah pusat dan daerah ada pembagian tugas, kewenangan, dan tanggung jawab yang dirinci secara pasti atau limitatif di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan daerah, ada materiale taakverdeling. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu per satu, jadi secara limitatif diatur didalam undang-undang pembentukan daerah itu.
Kedua : ajaran rumah tangga formal (formale huishoundingleer), ajaran ini merupakan kebalikan dari ajaran rumah tangga materiil. Dalam ajaran rumah tangga formal kewenangan daerah tidak dirumuskan secara terperinci dalam UU pembentukan daerah melainkan dirumuskan asas-asasnya saja. Batasan kewenangan daerah ditentukan apa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sedangkan sisanya merupakan urusan rumah tangga daerah.
Ketiga : ajaran rumah tangga riil (reele huis houndingsleer), pengertian ajaran ini adalah suatu sistem yang didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam daerah itu sendiri, maupun dengan pemerintah pusat.

Hukum Internasional

HUKUM INTERNASIONAL

1. SUMBER KERAGUAN
Suatu gagasan serikat buruh adalah sebuah aturan sekunder dan utama yang sedemikian penting telah dituliskan dalam buku ini yang berkenaan dengan hukum. Teori tentang undang-undang telah mencari kunci pemahaman tentang hukum kadang-kadang sangat sederhana gagasan yang kompleks dalam konteks kesusilaan. Hukum ini mempunyai banyak hubungan yang dekat dan koneksi; dalam melihat berbagai hubungan antar hukum maupun paksaan, dan kesusilaan untuk mempertimbangkan apa yang ada.
Meskipun demikian gagasan untuk sebuah perserikatan tentang aturan sekunder dan utama mempunyai kebaikan atau kelebihan dan demikian dari karakteristik ini sebagai suatu kondisi yang cukup untuk diaplikasikan sebagai ungkapan yang sah tentang undang-undang. kita tidak mempunyai clamed bahwa kata hukum harus digambarkan dalam terminologi nya . sebab kita tidak membuat apapun. klaim itu untuk mengidentifikasi atau mengatur penggunaan kata-kata seperti 'hukum' atau undang-undang' .Buku ditawarkan untuk menerangkan tentang konsep hukum, dibanding suatu definisi hukum yang mungkin secara alami diharapkan untuk menyediakan aturan-aturan dalam penggunaan ttg ungkapan ini. Secara konsisten hal tujuan ini untuk menyelidiki. Didalam bab yang terakhir, Kasus Jerman ttg kejahatan/kebengisan moral mereka, sungguhpun mereka mempunyai suatu sistem yang berjalan ttg aturan sekunder dan utama. Pada akhirnya kita menolak klaim ini; tetapi kita harus mengikuti, bukan sebab itu conflicted dengan pandangan yang telah diatur mempunyai rasa memiliki ke dalam sistim yang demikian yang disebut 'hukum', Sebagai gantinya kita mengkritik usaha untuk membatasi ttg tekanan dari apa yang secara moral bengis, untuk lakukan ini tidak membantu atau memperjelas baik pemeriksaan teoritis maupun moral deliberation. Karena ini bermaksud, konsep yang lebih luas yang mana adalah konsisten dengan banyak pemakaian dan yang peduli ttg aturan. Hukum internasional mengatur tentang kasus yang sebaliknya. Konsistensi tentang pemakaian yang terakhir menggunakan ungkapan 'hukum' sudah berjalan 150 th, ketiadaan dari suatu badan pembuat undang-undang internasional, dengan yurisdiksi, dan sanksi, bagaimanapun juga dari ahli teori yang sah tentang undang-undang. Ketiadaan dari institusi ini berarti bahwa aturan untuk Negara yang menyerupai format dari struktur sosial, terdiri atas hanya peraturan tentang kewajiban utama/pokok, yang isinya antar masyarakat individu, kita terbiasa membandingkan dengan suatu sistem tentang undang-undang yang dikembangkan. tentu saja hal itu dapat dibantah, ketika kita akan menunjukkan bahwa, hukum internasional adalah tidak hanya peraturan tentang perubahan dan putusan hakim saja tetapi juga menyediakan badan pembuat undang-undang dan pengadilan atau lingkungan. Perbedaan ini tentu saja membentur dan timbul suatu pertanyaan bahwa' Apakah hukum internasional itu benar-benar hukum?'. Tetapi dalam hal ini juga, kita tidak akan kehilangan keraguan itu, yang mana hanya mengkonfirmasikan pada atas kedudukan bahwa keberadaan serikat buruh aturan sekunder dan utama adalah suatu yang sangat perlu seperti halnya suatu kondisi cukup untuk penggunaan yang sesuai ungkapan 'sistem tentang undang-undang'. Sebagai gantinya kita akan menanyakan bagi karakter yang terperinci keraguan yang telah dirasakan, dan, seperti Kasus di Jerman, kita akan bertanya apakah pemakaian lebih luas yang umum yang berbicara tentang 'hukum internasional' mungkin untuk membatasi tentang tujuan teoritis atau praktis.
Meskipun demikian kita akan menjelaskan itu pada bab tunggal beberapa para penulis sudah mengusulkan mempertanyakan mengenai karakter hukum internasional. Telah nampak bahwa ada suatu pertanyaan 'Apakah hukum internasional itu benar-benar hukum?' suatu hal yang sepele tentang arti dari kata-kata yang salah mengira untuk suatu pertanyaan serius tentang berbagai hal: yang membedakan hukum internasional dari hukum nasional, satu-satunya pertanyaan untuk dimantapkan adalah apakah kita perlu mengamati konvensi yang ada atau meninggalkan itu, dan ini suatu perihal untuk masing-masing orang bersedia menerima dirinya. Tetapi hal yang kecil tentang pertanyaan ini sungguh pasti terlalu sederhana dan singkat. Adalah benar bahwa di antara alasan yang sudah mengilhami ahli teori untuk meragukan hal diatas adalah perluasan kata 'hukum' ke hukum internasional. suatu yang terlalu sederhana, dan tentu saja pandangan absurd, dari apa yang membenarkan aplikasi kata yang berbeda-beda pada beberapa bagian, variasi jenis prinsip yang biasanya memandu perluasan ttg penggolongan umum terminologi sering juga diabaikan jurisprudensinya. Semakin sedikit, sumber keraguan tentang hukum internasional adalah lebih menarik dibanding salah mengira 'memandang tentang penggunaan kata-kata. Lebih dari itu, dua alternatif yang ditawarkan dalam hal yang kecil pendek/singkat adalah pertanyaan 'haruskah mengamati konvensi yang ada atau haruskah meninggalkan itu?', ada alternatif bagaimana membuat tegas/eksplisit dan menguji prinsip itu yang sudah dan sesungguhnya memandu pemakaian yang ada.
Jalan pintas yang diusulkan akan tentu saja sesuai jika kita adalah berhadapan dengan suatu nama diri. Jika seseorang adalah tanya apakah tempat contoh 'London' adalah benar benar London, semua kita dapat melakukan untuk mengingatkan tentang konvensi dan meninggalkannya untuk mentaati atau memilih nama lain yang sesuaikan. dan bersifat absurd. Menangani suatu kasus, pada apakah prinsip ini bisa diterima. Ini akan bersifat absurd sebab, mana hanya pada atas konvensi khusus terminologi yang umum tentang segala tidak pernah tanpa dasar pemikiran atau prinsip nya, meskipun demikian mungkin tidak jelas nyata apa yang terjadi. Ketika, Kita mengetahui yang disebut hukum, apakah itu sungguh hukum?'
Kita akan mempertimbangkan dua sumber yang prinsip meragukan mengenai karakter hukum internasional yang sah/tentang undang-undang dan, dengan mereka, yang langkah-langkah ahli teori sudah mengambil untuk temu keraguan ini.


INTERNATIONAL LAW
1. SOURCES OF DOUBT

The idea of a union of primary and secondary rules to which so important a place has been assigned in this book may be regarded as a mean between juristic extremes. For legal theory has sought the key top the understanding of law some times in the simple idea of an order backed by threats and sometimes in the complex idea of morality. With both of these law has certainly many affinities and connections; yet, as we have seen, there is a perennial danger of exaggerating these and of obscuring the special features which we have taken as central that it permits to see the multiple relationships between law, coercion, and morality for that they are, and to consider afresh in what, if any, sense these are necessary.
Though the idea of union of primary and secondary rules has these virtues, and though it would accord whit usage to treat the existence of this characteristic union of rules as a sufficient condition for the application of the expression ‘legal system’, we have not clamed that the word ‘law’ must be defined in its terms. It is because we make no such claim to identify or regulate in this way the use of words like ‘law’ or ‘legal’ that this book is offered as an elucidation of the concept of law, rather than a definition of ‘law’ which might naturally be expected to provide a rule of rules for the use of these expressions. Consistently whit this aim, we investigated, in the last chapter, the claim made in the German cases, that account of their moral iniquity, even though they belonged to an existing system of primary and secondary rules. In the end we rejected this claim; but we did so, not because it conflicted with the view that rules belong into such a system must be called ‘ law ‘, nor because it conflicted with the weight of usage.
Instead we criticized the attempt to narrow the class of valid us by the extrusion of what was morally iniquitous, on the sound that to do this did not advance or clarify either theoretical inquiries or moral deliberation. For these purposes, the broader concept which is consistent with so much usage and which would permit us to regard rules however morally iniquitous as law, proved on examination to be adequate. International law presents us with the converse case. For, tough it is consistent with the usage of the last 150 years to use the expression ‘law’ here, the absence of an international legislature, courts with compulsory jurisdiction, and centrally organized sanctions have inspired misgivings, at any rate in the breasts of legal theorists. The absence of these institutions means that the rules for states resemble that simple form of social structure, consisting only of primary rules of obligation, which, when we find it among societies of individuals, we are accustomed to contrast with a developed legal system. It is indeed arguable, as we shall show, that international law not only lacks the secondary rules of change and adjudication which provide for legislature and courts, but also a unifying rule of recognition specifying ‘sources’ of law and providing general criteria for the identification of its rules. These differences are indeed striking and the question ‘Is international law really law?’ can hardly be put aside. But in this case also, we shall neither dismiss the doubts, which many feel, with a simple reminder of the existing usage; nor shall we simply confirm them on the footing that the existence of a union of primary and secondary rules is a necessary as well as a sufficient condition for the proper use of the expression ‘legal system’. Instead we shall inquire unto the detailed character of the doubts which have been felt, and, as in the German case, we shall ask whether the common wider usage that speaks of ‘international law’ is likely to obstruct any practical or theoretical aim.
Though we shall devote to it only a single chapter some writers have proposed an even shorter treatment for this question concerning the character of international law. To them it has seemed that the question ‘Is international law really law?’ has only arisen or survived, because a trivial question about the meaning of words has been mistaken for a serious question about the nature of things: since the facts which differentiate international law from municipal law are clear and well known, the only question to be settled is whether we should observe the existing convention or depart from it, and this a matter for each person to settle for himself. But this short way whit the question is surely too short. It is true that among the reason s which have led theorists to hesitate over the extension of the word ‘law’ to international law a too simple, and indeed absurd view, of what justifies the application of the same word to many different things has played some part, the variety of type of principle which commonly guide the extension of general classifying terms has too often been ignored in jurisprudence. None the less, the sources of doubt about international law are deeper, and more interesting than these mistaken ’views about the use of words. Moreover, the two alternatives offered by this short way whit the question (‘shall we observe the existing convention or shall we depart from it?’) are not exhaustive l; for, besides them, there is the alternative of making explicit and examining the principles that have in fact guided the existing usage.
The sort way suggested would indeed be appropriate if we were dealing with a proper name. If someone were to ask whether the place called ‘London’ is really London, all we could do would be to remind him of the convention and leave him to abide by it or choose another name to suit his taste. It would be absurd, in suck a case, to ask on what principle London was so called and whether this principle was acceptable. This would be absurd because, where as the allotment of proper names rests only on ad hoc convention, the extension of the general terms of any serious discipline is never without its principle or rationale, though it may not be obvious what that is. When as, in effect say, ‘We know that it is called law, but it is really law?’, what is demanded-no doubt obscurely-is that the principle be made explicit and its credentials inspected.
We shall consider two principal sources of doubt concerning the legal character of international law and, with them, the steps which theorists have taken to meet these doubts.

Kebijakan Formulasi UU-TPPU

KEBIJAKAN FORMULASI UU-TPPU :
TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN
MONEY LAUNDERING DI INDONESIA
(Tinjauan Hukum Pidana Materiel) *)
Oleh :
Barda Nawawi Arief


A. Pengantar
• Menurut informasi yang disampaikan kepada saya, diskusi panel ini bertu-juan untuk mengumpulkan masukan bagi amandemen UU No. 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25/2003 yang telah dijadwalkan dalam Program Legislasi Nasional 2005.
• Dengan informasi demikian, terkesan ada sesuatu yang bermasalah di dalam kebijakan formulasi perundang-undangan yang ada (khususnya UU No. 15/2002 yang baru saja diamandemen dengan UU No. 25/2003), sehingga dipandang perlu kebijakan formulasi yang ada itu dikaji ulang.
• Mengingat latar belakang yang demikian, maka dalam menangkap makna judul makalah yang ditetapkan panitia (yaitu “Tantangan Penegakan Hukum Pemberantasan Money Laundering Di Indonesia”), makalah ini berusaha mengangkat masalah “kebijakan formulasi” dalam UU TPPU sebagai salah satu “tantangan dalam penegakan hukum pemberantasan Money Laundering di Indonesia”. Uraian lebih difokuskan pada aspek kebijakan formulasi hukum pidana materielnya.

B. Keterkaitan Kebijakan Formulasi/Legislasi dengan Penegakan Hu-kum dan Pemberantasan Kejahatan
 Walaupun ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi/legislasi (“legis-lative policy”, khususnya “penal policy”) dengan “law enforcement policy” dan “criminal policy”, namun dilihat secara konseptual/teoritik dan dari sudut realita, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan semata-mata hanya dengan memperbaiki/memperbaharui sarana undang-undang (“law reform”, termasuk “criminal law/penal reform”), sekalipun ber-ulang kali diubah dan disempurnakan. UU Korupsi misalnya, telah ber-ulang kali diubah/diperbaiki/diamandemen dan berulang kali dibahas dalam berbagai seminar, namun kenyataannya korupsi bukannya berkurang, malahan semakin marak dan menjalar di berbagai bidang. Sangat ironis tetapi tepat, ucapan Habib-Ur-Rahman Khan yang pernah menyatakan :
“People are busy day and night, doing research work, holding seminar, international conferences and writing books trying to understand crime and its causes in order to control it. But the net result of all these efforts is to the contrary. Crime marches on”.

 Walaupun perubahan/perbaikan/amandemen UU bukan jaminan untuk upaya penanggulangan kejahatan, namun evaluasi tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan formulasi dalam perundang-undangan yang ada. Evaluasi atau kajian ulang ini perlu dilakukan, karena ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi perundang-undangan (atau “legislative policy”) dengan kebijakan penegakan hukum (“law enforcement policy”) dan kebijakan pemberantasan/penanggulangan kejahatan (“crimi-nal policy”). Kelemahan kebijakan formulasi hukum pidana, akan berpe-ngaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penang-gulangan kejahatan.

 Oleh karena itu, dilihat dari keseluruhan tahap kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, tahap kebijakan formulasi merupakan tahap yang paling strategis. Pada tahap formulasi inilah disusun semua “perencanaan” (planning) penanggulangan kejahatan dengan sistem hukum pidana. Keseluruhan sistem hukum pidana yang dirancang itu, pada intinya mencakup tiga masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, dan aturan pidana dan pemidanaan. Kalau menggunakan istilah Nils Jareborg, yang dirancang itu meliputi keseluruhan struktur sistem hukum pidana (“the structure of the penal system”) yang mencakup masalah “kriminalisasi dan pidana yang diancamkan” (“criminalization and threatened punishment)”, masalah “pemidanaan” (“adjudication of punishment (sentencing)”; dan masalah “pelaksanaan pidana” (“execu-tion of punishment”).

Kriminalisasi Kebebasan Pribadi Dan Pornografi/Pornoaksi Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

KRIMINALISASI KEBEBASAN PRIBADI DAN PORNOGRAFI/PORNOAKSI DALAM PERSPEKTIF
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA *)
Oleh : Barda Nawawi Arief


A. PENGERTIAN KRIMINALISASI

Dilihat dari perspektif kebijakan hukum pidana (penal policy), krimi-nalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk “mengangkat/menetap-kan/menunjuk” suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Oleh karena itu, tindak pidana pada hakikatnya merupakan “perbuatan yang diangkat” atau “perbuat-an yang ditunjuk/ditetapkan” (“benoemd gedrag” atau “designated behaviour”) sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-undang. Secara singkat G.P. Hoefnagels menyatakan, “crime is behavior designated as a punishable act” .
Penentuan “benoemd gedrag”/”designated behaviour” ini merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Oleh karena itulah, G. P. Hoefnagels juga menyatakan, bahwa “criminal policy is a policy of desig-nating human behavior as crime” (kebijakan kriminal adalah suatu kebijakan dalam menetapkan perilaku manusia sebagai suatu kejahatan/tindak pidana).



B. RAMBU-RAMBU KEBIJAKAN KRIMINALISASI
Sebagai bagian dari suatu kebijakan penanggulangan kejahatan (cri-minal policy) dan kebijakan hukum pidana (penal policy), maka kebijakan kriminalisasi tidak dapat dilepaskan dari :
- rambu-rambu kebijakan nasional dan kebijakan global/internasional , dan
- pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan nilai (value oriented approach) .
Patut pula dicatat, bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya meru-pakan suatu upaya/kebijakan rasional dalam menanggulangi kejahatan dan oleh karena itu harus juga ditempuh melalui metode/pendekatan ilmiah. Christiansen pernah menyatakan, bahwa “the characteristic of a rational criminal policy is nothing more than the application of rational methods”. Ini berarti, harus pula memperhatikan rambu-rambu hasil penelitian ilmiah.
Berbagai rambu-rambu kebijakan kriminalisasi dalam masalah kebe-basan individu dan pornografi/pornoaksi, dikaji dalam uraian berikut.

Perkembangan Asas Asas Hukum Pidana

PERKEMBANGAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA*)
Oleh :
Barda Nawawi Arief

Pengantar :

Mengingat Refreshing Course ini bertemakan“On The Same Root and Different Development”, maka makalah ini menguraikan perkembangan asas-asas hukum pidana yang semula ada di dalam KUHP (WvS) warisan zaman Hindia Belanda, kemudian dilanjutkan dengan uraian perkembangannya dalam hukum pidana positif (UU di luar KUHP), dan perkembangannya dalam penyusunan Konsep RUU KUHP.
Namun di samping itu, diuraikan pula perkembangan pemikiran tentang asas-asas hukum pidana yang bertolak dari landasan sistem hukum nasional dan dari kajian komparatif.

A. Asas-asas Hukum Pidana Dalam KUHP Indonesia

1. Dalam perumusan KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak pernah disebutkan secara eksplisit tentang ”asas-asas hukum pidana”. Sedangkan di beberapa KUHP Asing, ada ketentuan yang secara tegas disebut atau diberi judul (heading) ”the principle of criminal law”, “Basic principles of the Criminal Law”, atau “Basis of Criminal Liability”. Misalnya :
- Dalam Bagian Umum KUHP Armenia, Bab 1-nya berjudul “Principles and objectives of criminal legislation”, yang kemudian dijabarkan asas-asasnya di dalam Pasal 4 s/d 11.
- Demikian pula dalam Bagian Umum KUHP Tajikistan, Bab 1-nya berjudul ”Objectives and principles of the Criminal Legislation”, yang asas-asasnya dijabarkan dalam Pasal 3 s/d 10.
- Dalam Bagian Umum KUHP China, Chapter I nya berjudul “Tasks, Basic Principles, and Scope of Application of the Criminal Law”.
- Dalam Bagian Umum KUHP Latvia, Pasal 1-nya berjudul ”Basis of Criminal Liability”.
- Bahkan dalam Bagian I (Aturan Umum) KUHP Vanuatu, di samping ada judul ”Principles of Criminal Law”, juga ada judul “Principles of Criminal Proceedings”.
2. Adanya “asas-asas hukum pidana” dalam hukum positif di Indonesia, umumnya hanya dikemukakan dalam pelajaran/ilmu hukum pidana yang biasanya disim-pulkan dari perumusan norma yang terkandung di dalamnya. Misal : di dalam Bab I Buku I KUHP tentang “Batas-batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam Perundang-undangan” (Pasal 1 s/d 9) terkandung asas-asas ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu (yaitu asas legalitas) dan menurut tempat (yaitu asas territorial, asas nasional aktif atau asas personal, asas nasional pasif atau asas perlindungan, dan asas universal). Asas-asas inilah yang pada umumnya dikenal. Bahkan yang paling dikenal dan menonjol adalah “asas legalitas”.
3. Namun, di samping asas-asas ruang berlakunya hukum pidana itu, di dalam KUHP sebenarnya juga tersimpul adanya asas-asas lain yang berhubungan dengan pemidanaan atau pertanggungjawaban pidana. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Dengan adanya beberapa perumusan delik di Buku II yang secara eksplisit menyebutkan unsur melawan hukum (misalnya Pasal 333 tentang perampasan kemerdekaan, Pasal 368 tentang pemerasan, Pasal 406 tentang perusakan barang), maka sering dikemukakan bahwa ketentuan itu mengandung di da-lamnya asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa sifat melawan hukum” (The principle “No liability without unlawfulness”) ;
- Demikian pula dengan adanya pasal-pasal tentang alasan pemaaf (Pasal 44 mengenai “ketidak mampuan bertanggung jawab”; Pasal 48 mengenai “daya paksa”; Pasal 49 ayat 2 mengenai “pelampauan batas pembelaan terpaksa”; dan Pasal 51 ayat 2 mengenai “pelaksanaan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik”) dan adanya beberapa perumusan delik dolus dan delik culpa, maka di dalamnya mengandung asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (“No punishment without guilt” atau “No liability without blameworthiness”).

Kebijakan Penanggulangan Cybercrime dan Cybersex

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN
CYBER CRIME DAN CYBER SEX *)
Oleh :
Barda Nawawi Arief


A. Cyber Crime – Cyber Sex : Sisi Gelap Dari Teknologi Maju
Kehidupan dunia modern saat ini tidak dapat dilepaskan, dan bahkan sangat sering bergantung pada kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced technology”) di bidang informasi dan elektronik melalui ja-ringan internasional (internet).
Di satu sisi, kemajuan teknologi canggih itu membawa dampak positif di berbagai kehidupan, seperti adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS” (Electronic Funds Transfer System atau “sistem transfer dana elek-tronik”), “Internet Banking”, “Cyber Bank”, “On-line Business” dsb. Namun di sisi lain, juga membawa dampak negatif, yaitu dengan munculnya berbagai jenis “hitech crime“ dan “cyber crime”, sehingga dinyatakan bahwa “cyber crime is the most recent type of crime” dan “cyber crime is part of the seamy side of the Information Society” (CC merupakan bagian sisi paling buruk dari Masyarakat Informasi”) .
Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari munculnya berbagai istilah seperti economic cyber crime, EFT (Electronic Funds Trans-fer) Crime, Cybank Crime, Internet Banking Crime, On-Line Business Crime, Cyber/Electronic Money Laundering, Hitech WWC (white collar crime), Internet fraud (antara lain Bank fraud, Credit card fraud, On-line fraud), cyber terrorism, cyber stalking, cyber sex, cyber pornography, cyber defamation, cyber-criminals, dsb.
Dengan semakin berkembangnya cyber crime, sangatlah wajar masalah ini sering dibahas di berbagai forum nasional dan internasional. Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” (yang diselenggarakan tiap 5 tahun) telah pula membahas ma-salah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres VIII/1990 di Havana, Kongres X/2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI/2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April yang lalu). Dalam “background paper” lokakarya “Measures to Combat Computer-related Crime” Kongres XI PBB dinyatakan, bahwa “tekno-logi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan informasi memberikan “bayangan gelap” (a dark shadow) karena memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi baru, kesempatan baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentuk-bentuk baru dari kejahatan”.
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan, adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan yang saat ini diseminarkan. Jenis cyber crime di bidang kesusilaan yang sering diungkapkan adalah cyber pornography (khususnya child pornography) dan cyber sex.

Sistem Pemidanaan Dalam Ketentuan Umum Konsep KUHP 2004

SISTEM PEMIDANAAN
DALAM KETENTUAN UMUM KONSEP RUU KUHP 2004 *)
Oleh :
Barda Nawawi Arief


A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
 Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana”.
 Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan) itu dapat dili-hat dari 2 (dua) sudut :

(1) Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
• Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
• Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”.

(2) Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
• Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan; atau
• Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. Dengan demikian, sistem hukum pidana substantif (sistem pemidanaan substantif) saat ini dapat diragakan sebagai berikut :

GENERAL RULES

BUKU I
KUHP
SPECIAL
RULES

Bk. II
KUHP Bk. III
KUHP
UU KHUSUS
(DI LUAR KUHP)

Kritisi Hukum

KRITISI HUKUM
Apa yang ‘kritis’dalam studi hukum kritis ?

1. Pendahuluan
Teori hukum kritis merupakan Enfant terrible dalam kajian hukum kontemporer.Di Amerika Serikat sebagian eksponen secara terang terangan merayakan the joys of trashing ( Kelman 1984 ). Keberadaanya diakui sebagai salah satu bentuk hukum.Awalnya Ketidakpuasan dan kekecewaan yang bermacam macam ragamnya sehingga membentuk suatu garakan yang bersifat lepas dan tidak berstruktur karakternya akibat ketidak mampuan pendidikan Ortodoka menangani apa yang mereka anggap sebagai masalah yang sebenarnya didalam dunia hokum kontemporer.Muncul adanya Critical legal studies di Amerika serikat,Critique du droit di Perancis dan Critical legal conference di Inggris dan merupakan suatu gerakan dalam upaya pencarian sebuah teori.Dan timbul suatu pertanyaan bahwa apakah studi hukum kritis punya potensi untuk melangkah lebih jauh dari akar reaktifnya dan mengembangkan sebuah teori alternatif yang bisa ditempuh dan membawa pengaruh pada arah baru ilmu hukum.

2. Dibalik Reaksi Menentang Ortodoksi
Aspek reaktif dari teori hukum kritis menggambarkan sesuatu yang lebih dari sekedar mengusik nilai nilai Ortodoks dan paling tidak memenuhi dua hal yaitu :
1. Tekanan bahwa ada nilai nilai ortodoks yang perlu dan dapat diperbaharui dan bahwa perdebatan yang terjadi dalam ilmu hukum merupakan sebuah argumen dalam tradisi yang kurang lebih bersifat monolitis.
2. Ilmu yang bersifat reaktif adalah untuk menarik perhatian atas kesulitan yang timbul ketika memutuskan untuk menentang bentuk bentuk ortodoks yang sangat kaku.
Karakteristik utama teori hukum kritis terletak pada tekanan akan kemungkinan dan kebutuhan untuk berfikir berbeda tentang hukum.Aspirasi berfikir beda tentang hukum akan menimbulkan serangkaian isue tentang pilihan yang terlibat dalam mencari apa sebenarnya perbedaan itu.

Proyek studi hukum kritis identik dengan keragaman yang mengindikasikan perbedaan intelektual dan politik diantara partisipanya.Dimensi penting lain dalam pencarian alternatif adalah seputar masalah politik.Hubungan antara politik dan teori hukum memperlihatkan beberapa aspek yang berbeda tetapi terkait erat.Perhatian tentang politik dalam studi hukum kritis melibatkan komitmen terhadap beberapa konsep tentang ’ Praksis ’dalam interaksi antara teori dan praktek.Karakteristik yang ada pada gerakan studi hukum kritis mengalir dari reaksi atas nilai nilai ortodoks yang dianggap gagal.Sebuah alternatif walau tidak menampilkan diri sebagai sebuah teori ,haruslah memenuhi beberapa persyaratan umum sebagai konseptualisasi dari objeknya dan beberapa pernyataan tentang prosedur yang ditempuh atau metode yang digunakan.

3. Kemungkinan suatu teori
Menurut Alan Hunt bahwa Kerja kritis bisa terus berlanjut tanpa perlu menyingkirkan atau mengacuhkan isu Metateoritis ’ Besar ’.Kebanyakan bergantung kepada bagaimana isu ini ditempatkan baru kemudian mengupayakan untuk membuat sketsa dari isu ini dengan menggunakan sebuah metafora.Mendekati akhir abad nampak penampilan kokoh yang biasa disebut ’Pencerahan’ dengan pertanggung jawaban pengetahuan yang objektif yang bisa direalisasikan melalui prosedur ilmu Alam dan Sosial dan merupakan seperangkat aliran baru yang komplek memiliki sifatnya sendiri (Filsafat Linguistik,Fenomenologi,Post Struktuiralisasi,Dekonstruksi,Prakmatisme,dan Relativisme)
Pencerahan menciptakan sebuah mitos ilmu yang menghambat gambaran progresif dan evolusionis dari akumulasi ilmu yang memberikan akses pada kenyataan.Kalangan kritis menyadari terikat dalam konfrontasi dengan tantangan intelektual yang sangat besar terhadap metode konvensional ilmu hukum yang ada dan dikembangkan dalam berbagai upaya untuk merangkul perkembangan kontenporer dari filsafat,sosiologis dan teori teori sastra.
Kritik Rorty terhadap proyek pencerahan diarahkan secara frontal pada keberadaan teori ilmu pengetahuanya ( epistemologi ) dan memperkenalkan epistimologi alternatif .Kesulitan dari Rorty adalah ia menolak kedua pilihan yaitu permainan bahasa apapun sama saja dan mengagungkan sains dan nalar sebagai pengganti bahasa teologi yang merupakan prestasi terbesar dari masa pencerahan.Teori merupakan jalinan hubungan antara dua atau lebih konsep dan tidak ada konversasi yang tidak mengandung teori yang terbaik dilakukan adalah sadar diri atas asumsi dan hubungan yang kita bawa dalam konversasi.Para teori kritis tidak menyetujui Realitas yang merupakan tujuan dari penelitian karena tidak dapat didekati secara langsung.Dan adanya kesepakatan yaitu perlu adanya pendekatan Hermeneutik, kita bisa lakukan dengan mengikatkan diri dengan karakter yang bisa diperbandingkan dari semua bentuk teori.

4. Teori Internal atau Ekternal
Teori hukum kritis pertama tama haruslah mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh pilihan antara teori hukum internal dan eksternal.tradisi yang dominan dari teori hukum yang kontemporer dicontohkan oleh H.L.A Hart dan Ronald Dworkin.yang menyingkirkan perbedaan untuk mengadopsi perspektif internal.Teori hukum internal bersifat internal dalam pengertian berbeda tetapi berkaitan.
Teori internal memperagakan sebuah predisposisi ketika mengadopsi penggambaran oleh hakim dan pengacara sebagai materi empiris primer.Ada dua perbedaan penting antara proyek liberal dan kritis yang diungkapkan oleh formula Dworkin yaitu :
1. Karakteristik aliran kritis bertahan pada komitmen/keberpihakan dalam ilmu pengetahuan dan menolak komitmen alternatif,keterikatan dengan posisi sosialis atau radikal dan mengikatkan diri dengan posisi konservatif aatu neoliberal.
2. Pandangan yang karikaturistik dari pandangan aliran kritis untuk menggambarkan proyek mereka dalam bentuk yang buruk yaitu kebingungan tentang hukum sebagai contoh Rule of Law.
Perbedaan antara keberpihakan liberal dengan teori hukum kritis membuktikan sebuah pernyataan bahwa yang terakhir lebih kuat dari yang lain.Satu hal keberatan terhadap perspektif internal Adopsi terhadap posisi yang telah dijelaskan diatas tampaknya mengarahkan pada perbedaan luar dan dalam dalam hal menjadikan hukum sebagai bidang peneliti yang berdiri sendiri.Cara mengkonsep hukum seperti ini tidak efisien karena membiarkan asumsi hukum sebagai wilayah yang berdiri sendiri.
Sejarah studi sosiologi hukum dan studi sosiolegal telah didominasi oleh tanggapan yang mempunyai hasil praktis dengan membangun pembagian kerja intelektual diantara dirinya sendiri dan teori hukum yang saling tarik menarik.Pendekatan kritis secara terpusat mengikat perhatian pada doktrin hukum dan pengambilan keputusan yudisial.,diekspresikan dengan slogan,taking doktrine seriously,gerakan kritis bersikeras untuk menganggap doktrin sebagai hal yang serius.Ada satu perbedaan yang sangat tampak antara Teori liberal dan kritis yaitu teori Kritis menggunakan konsep Idiologi,konsep yang secara sistimatik tidak tercantum dalam teori liberal.Yang ditawarkan oleh konsep Idiologi adalah sebuah cara untuk mempermasalahkan perilaku,kepercayaan dan nilai nilai dari pelaku hukum.
Teori kritis haruslah bersifat eksternal dalam arti bahwa ia berusaha untuk mengatasi ketertutupan yang dikembangkan oleh teori internal.Ketertutupan yang dihasilkan oleh teori liberal adalah hasil dari ketaatan teoritis dan idiologis pada doktrin pemisahan kekuasaan.Apakah teori kritis lebih menyukai perspektif internal atau eksternal adalah :
1. Gaya dari teori haruslah ekternal dalam arti menjaga jarak kritis dari konsepsi yang dibuat sendiri oleh para pelaku hukum.
2. Ia dapat menolak pilihan antara perspektif internal atau eksternal karena lewat pengkonsepan kembali penelitianya.

5. Dari kecaman ke kajian
Teori hukum kritis selama ini digambarkan sebagai sebuah kecaman terhadap ortodoksi,dalam penelusuran tahap pertama pencarian alternatif titiktolak ,batasan yang berbeda dan konseptualisasi objek penelitian.Pencarian sebuah pendekatan yang dimulai dari kritik internal teori dengan memperhatikan sifat historis dari teori teori tersebut dan kondisi kondisi yang berdampak pada kemungkinan dilahirkanya teori alternatif.
Satu karakteristik penting dari sebuah kritik bahwa ia tidak serta merta mengikatkan diri dengan realitas dari objek penelitianya.Salah satu bentuk umum yang dipraktekanya oleh studi hukum kritis adalah dengan membedah konsistensi internal dari sebuah teori,sebuah kesimpulan karakteristik yang berlawanan denagn teori hukum liberal.Cara lain memusatkan perhatian pada memilah milah asumsi yang mendasari teori.Dalam studi hukum kritis sering kali dipakai bentuk mengidentifikasi asumsi yang dibuat teori liberal tentang sekilas subjek hukum atau bentuk asosiasi manusia.
Karakteristik tambahan dari kritisisme adalah merupakan Kritik ideologis.Studi hukum kritis lebih memperhatikan efek rembesan dari kategori publik/privat dalam doktrin dan teori hukum.Pemilihan akhir dari konsep dan elaborasi yang dalam teori alternatif melibatkan pemilihan beberapa kriteria normatif yang secara eksplisit berupaya mengaitkan antara teori dengan praktek.Kritik tidak melibatkan satu metodologi perspektif melainkan melihatkan kombinasi dari beberapa dari elemen elemen yang telah diidentifikasikan dan diakui.

6. Kearah Teori hukum relasional
Teori hukum Relasional disiapkan untuk mengembangkan rekonseptualisasi lapangan penelitian studi hukum,bentuk yang beragam dari hubungan hukum yang berinteraksi dalam berbagai cara dengan bentuk bentuk lain dari hubungan sosial .Perumusanya adalah mengambil hukum sebagai objek penelitian dalam arti mengekplorasi interaksi antara hukum dengan bentuk lain hubungan sosial.Teori relasional mengusulkan pendekatan yang fungsional sekaligus kritikal.Pendekatan itu dapat digambarkan sebagai pendekatan holistik tanpa memasukan inferensi hegelian dalam kesatuan metafisika dari fenomena sosial.Sifat holistik dalam artian bahwa pendekatan terhadap hukum sebagai objek penelitian dapat dilakukan dengan fokus pada interaksi antara hukum dengan bentuk lain dari hubungan sosial.
Hubungan sosial yang konkrit akan berupa keterlibatan kombinasi yang lebih spesifik dari kategori yang abstrak.Misalya hubungan ketenaga kerjaan melibatkan hubungan ekonomi, hukum dan hubungan lain,Bentuk hubungan hukum dapat dan sebaliknya dikaitkan kembali pada tipe tipe primer dari hubungan sosial.Jadi semua hubungan hukum melibatkan bentuk hubungan sosial yang lain baik yang sifatnya primer maupun abstrak.Manfaat teori Relasional bisa dirasakan hanya melalui aplikasi dan kehadiran hukum dalam hubungan sosial tidak hanya diukur dengan intervensi institusional tetapi juga dengan kehadiran konsep dan pemikiran hukum dalam berbagai bentuk hubungan sosial yang sekilas tidak ada unsur hukumnya.Kalangan kritis tidak dapat menghindar dari tantangan untuk mengelaborasi teori hukum yang ada dan sebuah kritik haruslah transformatif karena dengan hanya begitulah dapat disumbangkan beberapa tujuan dalam perubahan sosial.
Teori hukum relasional berpotensi untuk mempunyai kapasitas terbesar untuk meraih tujuan itu sehingga dapat mengatasi keterpisahan antara teori hukum internal dan eksternal atau meletakkan poin yang sama dengan cara yang berbeda,untuk mengatasi keterpisahan antara Jurisprudence dengan Sosiologi hukum.

7. Analisis
Alan Hunt adalah seorang Sosiolog Hukum Universitas Carletton Ottawa Canada yang mencoba menawarkan Teori hukum Rasional sebagai jalan keluar sebagai sikap gerakan studi hukum kritis dari sikap reaktif mereka sehingga kesulitan untuk mencapai rumusan final mengenai Teori alternatif dalam kajian hukum. Critical Legal Studies menawarkan analisis kritis terhadap hukum dengan melihat relasi suatu doktrin hukum dengan realitas dan mengungkapkan kritiknya.Berbeda dengan kaum legis liberal gerakan CLS ini memang ingin mengarahkan kritik mereka dan mempunyai sumbangan bagi transformasi politik dalam masyarakat atau mempunyai implikasi praksis.Kalangan Critical Legal Studies ingin mengedepankan Analisis hukum yang tidak hanya tertumpu semata mata pada segi segi doktrinal ( Internal Relation ) tapi juga dengan mempertimbangkan berbagai faktor dari luar seperti prefensi prefensi Idiologis, bahasa,kepercayaan ,nilai nilai dan kontek politik dalam proses pembentukan dan aplikasi hukum ( External Relation ).
Kritik menuntut pemahaman terhadap kepustakaan fenomenologi ,post struktualisme,dekonstruksi dan linguistik untuk membantu memahami relasi eksternal tersebut.Bagi gerakan studi hukum kritis hukum adalah sebuah produk yang tidak netral karena disana selalu ada berbagai kepentingan kepentingan.Menurut teori hukum Relasional dapat memberikan tempat yang penting bagi perhatian tradisional atas teori hukum liberal tetapi juga pada saat yang sama memungkinkan untuk mencapai tujuan kritis yang menandai perbedaan antara teori hukum kritis dengan teori hukum liberal.

Otonomi desa Suatu Gagasan Awal

BAB I

PENDAHULUAN


I.1. Latar Belakang

Gagasan pendiri bangsa bahwa desa sebagai suatu komunitas otonomi berdasarkan keaslian adat istiadat yang selalu dikaitkan dengan asal-usul senantiasa dihormati. Penghormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengakuan dalam UU tentang pemerintahan daerah baik perubahannya sejak UU No.tahun 1945. Perubahan ditiap UU hingga UU No. 22 tahun 1999 dan sekarang telah lahir undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan batasan yang berbeda-beda tentang desa namun pada intinya batasan tersebut bahwa desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri.
Bila dikaji rumusan desa ditiap perubahan UU tentang pemerintahan yang ada, tampak pemerintah menemukan kesulitan tersendiri untuk menetapkan arah apa saja yang menjadi kewenangan desa. Namun uniknya kewenangan yang tidak jelas tersebut tetap dihormati oleh UU yang ada. Oleh karena itu berbagai intervensi yang dilakukan pihak luar baik pemerintah maupun LSM belum mengacu pada kewenangan yang dimiliki oleh desa. Bahkan intervensi ini sering kali justru memperkenalkan sesuatu yang menurut pihak luar akan bermanfaat bagi masyarakat desa. Mari kita simak kembali beberapa intervensi yang ada didesa misalnya :


1. Hampir seluruh departemen yang ada kecuali departemen luar negeri memiliki perpanjangan tangan di desa dalam bentuk organisasi misalnya Kelompok Tani ( Deptan), Karang Taruna (depsos), PKK, Pemdes, LKMD/LMD/BPD (Depdagri) P3A (PU/), Kelompencapir (Deppen/BIN, Kelompok Usaha bersama (BKKBN), Koperasi Unit Desa (Menkop/PKK), Kelompok Tani Hutan (Dephut) dll. Chemma G. Shabhir, menyebutkan organisasi ini dikelompokkan menjadi organisasi standar. Hampir seluruh program yang digagas oleh perencana diaras desa dimasukkan ke desa melalui kelembagaan ini.
2. Organisasi asli desa yaitu organisasi yang tumbuh atas inisiatif masyarakat itu sendiri seperti Serikat Tolong Menolong, Arisan, kelompok olah raga, remaja mesjid dll kurang mendapat perhatian pemerintah. Organisasi ini oleh FAO dikategorikan sebagai organisasi sukarela.
3. Intervensi pemerintah diaras desa, masuk kedesa tanpa konsep yang jelas, semua didasarkan atas kepentingan instansi pembina organisasi standar desa dan biasanya tidak terintegrasi dengan baik. Dengan demikian masyarakat desa tidak mempunyai suatu sistem yang terpadu untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya (kapital) eksternal tersebut. Akibatnya sumber daya tersebut terdistribusikan seluruhnya tanpa diiringi kemampuan untuk memperbaharui ataupun mengadakan sumber daya tersebut. Apalagi saluran masuk intervensi ini seringkali melalui organisasi standar desa saja seperti pemerintahan desa dan kelembagaan lainnya.
4. Sumber daya internal desa kurang termanfaatkan, pemerintahan desa dibiayai mayoritas dari sumberdana diaras desa baik dalam bentuk Inpres/bantuan pembangunan desa maupun proyek-proyek yang masuk ke desa. Akibatnya governance desa sangat tergantung pada hubungan baiknya dengan kekuasaan diaras desa. Sementara akumulasi sumber daya internal tidak terjadi.
Melihat kecenderungan yang terjadi seperti diuraikan diatas tampaklah pemikiran sebagian para ahli yang menyatakan bahwa pembangunan desa selama ini terkooptasi oleh kepentingan pemerintah. Pembangunan desa disandarkan pada kepentingan pemerintah untuk membangun desa bukan atas kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa untuk membangun dirinya sendiri.

I.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut diatas penulis mencoba untuk mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakan Desa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999?
2. Bagaiamanakah perwujudan kewenangan Pemerintah Desa dalam mewujudkan otonomi desa menurut Undang-undang nomor 32 Tahun 2004?

Pengembangan Ekonomi Rakyat Dan Pengentasan Kemiskinan Di Era Otonomi Daerah

PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
DI ERA OTONOMI DAERAH


I. Pendahuluan
Masalah ekonomi yang multi dimensi yang mengguncang iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat.
Saat ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara berupaya secara maksimal untuk menciptakan kerangka kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap efisiensi, dan efektivitas sektor publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien.
Lebih dari dua dekade penyelenggaraan pemerintahan daerah di bawah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggunakan azas dekonsentrasi, desentralisasi dan pembantuan. Pada masa itu dilaksanakan prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Otonomi daerah dipahami sebagai hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian otonomi daerah tersebut lebih mengarah kepada kewajiban dibandingkan sebagai hak. Urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga daerah ditentukan oleh pusat bukan oleh daerah sendiri, sehingga urusan yang diserahkan tersebut lebih menekankan kepada kewajiban daripada hak.
Sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU 5/1974 tersebut ketergantungan daerah kepada pusat sangat besar. Daerah yang seharusnya diberdayakan untuk mengurus rumah tangganya sendiri pada kenyataannya sangat tergantung kepada juklak, juknis dan berbagai panduan lainnya yang dikeluarkan oleh pusat. Sehingga boleh dikatakan pelaksanaan otonomi daerah selama ini ibarat kepala dilepas tapi ekor dipegang .
Keputusan politik pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi Daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada Daerah Kabupaten dan Kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka pemberdayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya maka pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU 22/1999 telah membawa angin segar. Lahirnya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang sangat luas bagi daerah dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan bidang agama. UU 22/1999 menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya ke depan kita berharap pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU 22/1999 ini akan dapat meningkatkan kapasitas daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakatnya. Karena daerah lebih memahami kondisi dan karakter daerah serta masyarakatnya maka setiap kebijakan yang diambil tentu akan lebih menyentuh kepentingan dan sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Dengan kewenangan yang dimilikinya daerah akan lebih leluasa dalam menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.

II. Permasalahan
Untuk memudahkan pengamatan dan kajian terhadap fenomena yang muncul di tengah masyarakat dalam kaitan dengan pengembangan kegiatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di era otonomi daerah, perlu kiranya kita tentukan pokok-pokok permasalahan. Dalam kaitan ini, sedikitnya ada dua masalah yang dapat kita identifikasi untuk kemudian kita kaji, sehingga pada gilirannya dapat menjadi dasar rujukan bagi kajian berikutnya.
Kedua permasalahan tersebut adalah:
1. Apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberdayakan ekonomi rakyat di era otonomi daerah ?
2. Apa yang sebaiknya dilakukan dalam rangka mengatasi kemiskinan di era otonomi daerah?

Implementasi perlindungan hukum terhadap desain mebel rotan dan kayu di Cirebon

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia sebagai negara berkembang perlu memajukan sektor industri dengan meningkatkan kemampuan daya saing. Salah satu daya saing tersebut adalah dengan memanfaatkan Desain Industri yang merupakan bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual ( HaKI ). Keanekaragaman budaya yang dipadukan dengan upaya untuk ikut serta dalam era perdagangan bebas dengan memberikan perlindungan hukum terhadap Desain Industri akan mempercepat pembangunan industri nasional yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000.
Seperti kita ketahui bahwa seiring dengan perkembangan jaman serta teknologi, telah membawa perubahan terhadap pola kehidupan manusia. Di negara yang berkembang dimana lebih dari 200 juta penduduknya serta mempunyai potensi Sumber Daya Alamnya ( SDA ) yang sangat melimpah merupakan asset yang besar bagi perkembangan suatu industri. Dengan daya dukung tersebut memungkinkan berkembangnya industri-industri yang ada di negara tersebut baik industri yang berskala besar ataupun industri yang berskala kecil dan menengah.
Dalam perkembangan industri di Indonesia terutama industri kecil, keberadaannya perlindungan hukum terhadap Desain Industri sangatlah diperlukan dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat serta diharapkan dapat menunjang perekonomian bangsa. Berkat kemajuan di bidang teknologi serta sarana dan prasarana yang mendukung ide, gagasan, desain atau inovasi-inovasi yang digunakan dalam kegiatan industri banyak sekali penemuan-penemuan atau buah pikir manusia tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan dengan tujuan komersial.
Dalam rangka menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri ataupun kerajinan tangan, tentunya suatu industri memerlukan suatu pola desain, agar produk atau barang yang dihasilkan tersebut memiliki fungsi serta nilai lebih terhadap suatu produk atau barang itu sendiri. Ketentuan tersebut sesuai dengan pengertian daripada Desain Industri, seperti dalam rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dirumuskan sebagai berikut :
“ Suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang atau komiditas industri atau kerajinan tangan ”
Dalam penciptaan suatu desain, tentunya hal ini perlu mendapat perlindungan atau pengaturan perlindungan hukum terhadap Desain Industri, dalam rangka melindungi penemuan desain itu sendiri dari kegiatan yang dapat merugikan.
Mengingat hal-hal tersebut dan berhubung belum diaturnya Peraturan Pemerintah ( PP ) tentang perlindungan hukum terhadap Desain Industri, oleh karena itu pemerintah perlu membuat Peraturan Pemerintah di daerahnya dalam bidang Desain Industri untuk menjamin hak-hak pendesain, menetapkan hak dan kewajibannya serta menjaga agar pihak yang tidak berhak tidak dapat menyalahgunakan hak Desain Industri tersebut.
Selain mewujudkan komitmen terhadap TRIPs, pengaturan Desain Industri diberikan untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap segala bentuk penjiplakan, pembajakan atau peniruan atas Desain Industri yang telah dikenal cukup luas. Adapun prinsip pengaturannya adalah pengakuan atas kepemilikan karya intelektual yang memberikan kesan estetis dan dapat diproduksi secara berulang-ulang serta dapat menghasilkan suatu barang dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap hak Desain Industri dimaksudkan untuk merangsang aktifitas kreatif dari pendesain untuk terus menerus menciptakan desain baru. Dalam rangka perwujudan iklim yang mendorong semangat terciptanya desain-desain baru dan sekaligus memberikan perlidungan hukum.
Sebagai salah satu bagian dari hak kekayaan intelektual (HaKI), desain industri juga mempunyai hak eksklusif sebagimana yang tertuang dalam UU No.31 tahun 2000 tentang desain industri. Dengan adanya hak eksklusif tersebut pemegang hak atas desain industri dapat mempertahankan haknya kepada siapa saja yang berupaya untuk menyalahgunakan hak tersebut dan pemegang hak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan hak tersebut untuk kepentingan pribadi atau perusahaan asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan kepentingan umum. Berdasarkan perundangan yang ada perlindungan desain industri ini didapatkan setelah adanya pendaftaran dari pendesain. Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan. Tidak sedikit pendesain yang belum mengerti mengenai arti penting sebuah pendaftaran sehingga yang terjadi adalah banyaknya kasus tentang peniruan desain industri tanpa ijin terlebih dahulu dari kalangan industri mebel yang berdampak akan merugikan pihak pendesain itu sendiri, meskipun pendesain belum mendaftarkan dan tetap berhak untuk mendapatkan perlindungan sebagai konsekuensi dari hasil kekayaan intelektual pendesain.
Cirebon merupakan sebuah wilayah di sebelah barat pulau Jawa yang terkenal sebagai derah industri kerajinan dan mebel rotan nasional. Meski hanya memasok 40 % dari total produksi kerajinan nasional dengan nilai eksport 13,5 juta dollar perbulan, Cirebon telah memberi kontribusi devisa yang cukup besar bagi negara. Dampak sosial dan ekonomi akibat intervensi pemerintah dalam berbagai program bantuan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat. Kondisi kemakmuran dan kesejahteraan usaha rotan di Cirebon merupakan daya tarik tersendiri bagi pendatang dari pilar daerah sehingga terbentuk bisnis usaha yang sangat khas yaitu astern sub kontrak komponen. Sistem ini menjadi pola kerja yang cukup effisien karena sifatnya yang tanggap dalam pengelolaan limpahan order dari perusahaan besar.
Lemahnya etika bisnis antar pengusaha berakibat persaingan yang kurang sehat sehingga menjadikan kendala tidak stabilnya plan coda ekonomi. Kurang berfungsinya organisasi pengusaha mebel nasional ( Asmindo ) secara optimal turut berperan sebagai pemicu dominasi pasar di antara para pengusaha dengan cara meniru desain.
Di Indonesia, kasus pelanggaran hak cipta dapat dilihat pada kasus sengketa antara PT Sri Rejeki Isman Tex ( Sritex ) dengan empat pengusaha kecil di Cirebon, yaitu Batik Sinar, Gunung Jati, H. Ibnu Hajar dan H. Masina yang memproduksi batik Golkar. Dalam kasus ini, batik Golkar yang diproduksi empat pengusaha tersebut disita dengan alasan menjiplak desain milik PT Sritek dan PT Sritek melakukan tuntutan berdasarkan pelanggaran hak cipta.
Pada saat kasus ini terjadi sebetulnya Indonesia belum mempunyai perangkat hukum di bidang desain industri sehingga kasus ini terkatung-katung dan pada saat itu tidak ada kejelasan, apakah kasus tersebut merupakan kasus pelanggaran hak cipta atau desain industri. Dengan diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 2001 diharapkan dapat tercapai adanya suatu kepastian hukum dibidang desain industri sehingga penegakan hukum di bidang desain dapat terlaksana secara optimal sehingga diharapkan desain industri dapat menjadi sarana dalam menunjang pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam perkembangannya, sudah banyak pendesain Indonesia yang telah melakukan kegiatan ekspor, misalnya saja industri rotan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa para pendesain telah memasuki era perdagangan bebas dan memiliki konsekuensi perlunya pemahaman terhadap perlindungan desain dan ketentuan-ketentuan HaKI global seperti Persetujuan TRIPs-WTO, Konvensi Paris dan Konvensi Berne.
Pangsa pasar Internasional yang telah mereka masuki memberikan konsekuensi yang luas terhadap perlunya tindakan-tindakan nyata dari pemerintah dan mereka yang telah memilih komitmen kepada HaKI untuk memberikan sosialisasi yang memadai agar aset-aset nasional semacam ini terlindungi baik regional maupun global.

Lebih jauh, terdapat masalah yang dihadapi pendesain yang berkenaan dengan kegiatan pemasaran, terutama menyangkut masalah ketersediaan modal dan manajemen perusahaan1). Di samping itu, kesulitan lain yang dihadapi adalah akses terhadap informasi seperti halnya yang terkait dengan perlindungan HaKI. Idealnya pendesain melakukan penelusuran informasi HAKI dengan mendatangi Kantor HAKI di negara yang menjadi tujuan pasar, namun karena hal ini akan selalu terbentur dengan masalah biaya, penelusuran via internet merupakan suatu solusi yang lebih tepat.
Lebih jauh harus terdapat adanya kesadaran dari para pendesain untuk mengikuti informasi desain industri yang dikeluarkan oleh Dijten HaKI karena informasi ini sangat dibutuhkan bagi pendesain jika karyanya yang ditiru atau mungkin jika pada saat menerbitkan karya-karya baru ternyata telah ada karya pihak lain yang sama.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa sampai saat masih
banyak pendesain yang desainnya ditiru dan dipasarkan oleh rekan-rekannya sesama pendesain dan mengakibatkan kerugian baginya, namun tidak menuntut berdasarkan pertimbangan kebersamaan. Hal semacam ini sebenarnya dapat terus berlangsung dengan pendekatan dan pola yang aman jika diantara mereka dibuat suatu perjanjian lisensi satu sama lain jika satu karya desain digunakan secara bersama. Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian lisensi yang memberi hak kepada penerima lisensi untuk menggunakan desain milik pendesain, tetapi menutup akses pihak lain yang tidak berhak untuk menggunakan desain tersebut. Langkah ini mempunyai konsekuensi bahwa desain dan perjanjian lisensi tersebut harus didaftarkan. Pendaftaran perjanjian lisensi perlu dilakukan agar perjanjian berlaku pula bagi pihak ketiga.
Ketidakmengertian dan ketidakpedulian masyarakat terhadap pentingnya perlindungan desain industri dan eksistensi UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri amat mengkhawatirkan. Hal ini sangat berbeda dengan di negara maju, sebagai contoh dapat dikemukakan pendaftaran paten dan desain produk untuk produk dari rotan yang terdaftar di USPTO ( United State Patent and Trade Mark Office ). Kenyataan ini sejalan dengan data yang diperoleh dari Dijten HAKI tentang minimnya pendaftaran desain industri dari kalangan UKM.
Dengan berlakunya UU No. 31 Tahun 2000, pendesain akan berada pada situasi yang menghadapkan mereka dengan pilihan yang beragam. Pilihan pertama adalah tidak mendaftar desain industri mereka, yang menyebabkan pendesain tidak akan pernah mendapatkan perlindungan hukum. Kedua adalah tidak mendaftarkan, tetapi mempublikasikan desain industri juga akan mempunyai resiko akan ditiru oleh pihak lain dan tetap tidak akan mendapat perlindungan hukum sehingga dengan demikian jika produk tersebut ditiru oleh pihak lain yang kemudian mendaftarkannya, pendesain yang asli secara hukum telah melanggar desainnya sendiri. Ketiga adalah mendaftar tetapi tidak memelihara, misalnya pendesain membuat produk di Makasar tetapi tidak mengetahui informasi mengenai desain industri yang terdaftar di Dijten HAKI, ada resiko telah didaftar oleh orang / pihak asing sehingga termasuk dalam kategori pelanggaran.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi di bidang perlindungan desain industri dewasa ini tampaknya belum secara penuh diapresiasi oleh masayarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan belum adanya kesadaran melindungi hasil-hasil desain yang telah mereka buat bahkan bangga jika desainnya digunakan oleh sesama produsen yang lain. Contoh konkret dari kasus ini selain desain rotan Cirebon adalah masih banyak tidak didaftarkannya hasil-hasil desain keramik di Plered dan onyx serta desain-desain tanah liat di Kasongan.
Sikap kurang peduli terhadap perlindungan desain tampaknya dilandasi oleh pola berpikir masyarakat setempat yang cenderung mengutamakan kebersamaan dalam memanfaatkan penemuan / karya di bidang desain industri. Sikap masyarakat seperti ini sekilas nampak memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap kemajuan-kemajuan produk yang dihasilkan produsen nasional.
Era globalisasi yang telah merambah ke seluruh belahan dunia merupakan konsekuensi dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di awal abad ke 21 ini. Bagi bangsa Indonesia pengaruh globalisasi tersebut sudah mulai terasa pada berbagai aspek kehidupan manusia, khususnya pada aspek kehidupan ekonomi, politik, hukum dan sosial budaya.
Dari aspek kehidupan ekonomi, salah satunya dengan telah terbukanya pasar bebas, telah membuat persaingan pasar di belahan dunia semakin ketat. Dengan pemanfaatan teknologi informatika khususnya internet, manusia dapat melakukan transaksi perdagangan tradisional. Dari aspek kehidupan politik, masalah demokratisasi, transparansi dan perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM ) kini telah menjadi isu global sebagai salah satu ciri negara yang sedang berupaya untuk menyetarakan diri dalam pergaulan internasional.

B. FOKUS STUDI DAN PERUMUSAN MASALAH

Menitik beratkan pada persoalan implementasi perlindungan hukum terhadap desain mebel melalui pendekatan hak atas kekayaan intelektual yang dikaitkan dengan era perdagangan bebas, berdasarkan pada fokus studi tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Mengapa Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri belum bisa memberikan perlindungan bagi para pendesain perusahaan-perusahaan mebel rotan dan kayu di kabupaten Cirebon ?
2. Bagaimana implementasi Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri pada perusahaan-perusahaan mebel rotan dan kayu di kabupaten Cirebon ?

Persepsi Pengusaha Rotan Terhadap Terbitnya SKB 4 Menteri Di Cirebon

BAB I

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejarah perburuhan di Indonesia boleh dikatakan tidak pernah menggembirakan dimana nasib para pekerja selalu tragis dan menyedihkan hal ini bukan saja karena tenaga dan pikiran mereka yang harus dicurahkan untuk membantu tuan atau majikanya ( pengusaha ) melainkan nasib mereka juga dipertaruhkan, pada awal kemerdekaan sistem upah di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber sumber tetapi juga memiliki fungsi kebijakan sosial yaitu untuk melindungi yang lemah dengan mengaitkan upah sedemikian rupa dengan kebutuhan. Jika kita menyimak kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sampai saat ini terlihat betapa komplek dan rumitnya persoalan yang ada di dalamnya dan hal itu terus bermunculan tak ada kunjung penyelesaian sehingga mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran, sedikitnya ketersediaan lapangan kerja, sumber daya manusia yang berkualitas rendah, masalah upah, masalah kesejahteraan buruh, tunjangan sosial dan PHK semakin menjadi persoalan yang semakin kusut.
Berkaitan dengan upah minimum di Propinsi Jawa Barat tahun 2006 keputusan Gubernur telah menuai pro dan kontra dari kaum pekerja yang menilai bahwa upah minimum propinsi ( UMP ) itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diakibatkan karena harga harga yang meningkat pasca kenaikan harga bahan bakar minyak yang membuat biaya hidup semakin mahal, bagi pengusaha sebagai pemberi upah juga punya persoalan yang sama yaitu merasa cemas melihat kenaikan biaya produksi yang dapat membuat prospek usaha mereka menjadi memburuk padahal sebenarnya upah minimum yang ditetapkan Gubernur di atas sangat jauh dari tuntutan para buruh yang mereka ajukan melalui Serikat pekerja dimana kenaikan upah rata rata yang mereka minta diharapkan sama dengan hasil dari survey kebutuhan hidup layak ( KHL ) dimana dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan upah yang telah ditentukan Gubernur tersebut hanya mengakomodir kebutuhan bagi mereka yang tidak mempunyai tanggungan anak atau keluarga tetapi sebagai standar hidup yang harus dipenuhi bagi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik, non fisik maupun secara sosial selama satu bulan1).
Adapun kondisi pengupahan di daerah kabupaten Cirebon sendiri yang berkaitan dengan upah minimum kabupaten ( UMK ), pemerintah kabupaten Cirebon tahun 2008 menetapkan upah minimum diwilayahnya sebesar Rp 661.000,- berdasarkan survey angka kebutuhan hidup layak ( KHL ) bahwa masyarakat di daerah kabupaten Cirebon telah mencapai Rp 723.259,- jadi upah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten Cirebon tersebut masih jauh dari kebutuhan hidup yang layak2). Di Indonesia dimana tenaga kerja ( penawaran ) melimpah sementara kesempatan kerja ( permintaan ) sangat terbatas hal ini mengakibatkan posisi tawar pekerja menjadi rendah dan itulah sebabnya kenapa upah pekerja rendah disamping itu peningkatan upah pekerja mempunyai efek domino yang panjang. Ia akan meningkatkan daya beli, dan pada giliranya meningkatkan konsumsi, peningkatan konsumsi membutuhkan peningkatan kapasitas produksi barang konsumsi dan barang modal, peningkatan kapasitas produksi membutuhkan investasi baru dan penambahan tenaga kerja, penambahan tenaga kerja berarti bertambahnya jumlah orang yang berpenghasilan dan akan meningkatkan konsumsi serta membutuhkan peningkatan kapasitas produksi demikian seterusnya berulang bagai bola salju dan paradigma upah murah telah menghambat menggelindingya bola salju perekonomian tersebut. Bagi pengusaha penganut upah murah umumnya beralasan bahwa industri mereka padat karya dan akan sangat rentan terhadap dampak kenaikan upah pekerja, seberapa kecilpun kenaikan upah bila dikalikan dengan jumlah pekerja yang ribuan akan berdampak pada terkurasnya laba perusahaan, bahkan bisa merugi3).
Ditengah krisis keuangan global yang melanda dunia imbasnya terasa membawa dampak pada perekonomian di Indonesia dimana para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan pekerjanya demi kelangsungan hidup perusahaan, maka untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan yang sangat berani demi kelangsungan hidup para pengusaha dan pekerja yaitu dengan diterbitkanya Surat Keputusan Bersama ( SKB ) 4 menteri yang ditandatangani oleh para menteri yaitu Menteri tenaga kerja dan transmigrasi ,Menteri perindustrian, Menteri perdagangan dan Menteri dalam negeri. Dimana isi salah satu point pasalnya dalam Surat Keputusan Bersama ini pemerintah tidak lagi ikut campur dalam menetapkan besaran upah melainkan menyerahkan masalah ini untuk dinegoisasikan antara management dengan serikat pekerja / buruh sesuai dengan kemampuan perusahaan, dimana yang sebenarnya SKB 4 menteri itu berisi tentang “ pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi pekembangan perekonomian global “. Rencana penerbitan Surat Keputusan Bersama itu langsung mendapat tanggapan dari pihak pengusaha yang berdalih tentang krisis keuangan global yang sedang melanda, pengusaha mengaku apabila upah dinaikan maka akan berimbas pada terjadinya putusan hubungan kerja ( PHK ) dalam hal ini industri yang paling berat menaikan upah minimum adalah industri padat karya dan industri rumah tangga.
Adanya krisis perekonomian global banyak para pengusaha mempunyai wacana akan merumahkan karyawanya dan pemutusan hubungan kerja ( PHK ), hal ini akan menjadi ancaman bagi pekerja / buruh sebagai dampak dari turunya permintaan komoditas eksport dan import, fenomena sosial ekonomi yang sedang berlangsung saat ini yang menyebabkan pemerintah merumuskan berbagai kebijakan emergency yang bersifat lebih pragmatis untuk menstabilkan dunia usaha dengan mengeluarkan SKB 4 menteri guna mensikapi akses krisis keuangan global dalam hal ini sifat arif dari pemerintah sedang diuji kapasitasnya sebagai penjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya serta apa yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akan menjadi landasan perilaku pengusaha dan juga bagi kalangan buruh untuk saling menjaga kepentingan ekonominya masing masing. Tetapi hal itu menimbulkan rasa pesimistis dari kalangan pengusaha dan pekerja atas terbitnya SKB 4 menteri dengan ditandai adanya daerah daerah yang tidak merespons dengan baik apa yang sudah menjadi putusan kebijaksanaan pemerintah serta masih banyaknya demo demo dari kalangan pekerja / buruh yang menginginkan kebijakan pemerintah tersebut agar direvisi kalau perlu dicabut.
Jawa Tengah adalah salah satu daerah yang mengabaikan adanya SKB 4 menteri dimana Gubernurnya tidak memberlakukan apa yang menjadi kebijakan pemerintah tersebut dikarenakan setelah Gubernur mendapat masukan dari unsur gabungan stakeholder industri yaitu Serikat pekerja, Apido, Dewan pengupahan, BPS dan perguruan tinggi maka Gubernur memutuskan untuk lebih berfihak kepada pekerja / buruh yaitu melaksanakan ketentuan yang sudah ditetapkan didalam Undang undang ketengakerjaan yang berkaitan dengan upah minimum karena SKB 4 menteri dinilai cacat hukum sebab melanggar UUD 1945 dan Undang undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan Gubernur tersebut disambut baik oleh para pekerja karena Gubernur tidak mengindahkan SKB 4 menteri dengan mengeluarkan SK Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 561.4/52/2008 yang pada intinya UMK tahun 2009 naik rata rata 12,9 persen4).
Terbitnya SKB 4 menteri adalah langkah antisipasi awal yang berfungsi sebagai jaring pengaman terhadap kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja agar tidak terjadi PHK massal, dan SKB 4 menteri bukan berarti melarang terjadinya kenaikan UMR sesuai dengan kemampuan perusahaan akan tetapi dalam penentuan UMR tetap berdasarkan Undang undang ketenagakerjaan dengan mekanisme melalui rekomendasi dewan pengupahan daerah masing masing kepada pemerintah kabupaten /kota selanjutnya pemerintah kabupaten / kota merekomendasikan kepada Gubernur mengingat berdasarkan ketentuan Undang undang ketenagakerjaan adalah kewenangan Gubernur. Menteri tenaga kerja dan transmigrasi menambahkan bahwa kekhawatiran akan SKB 4 menteri ini akan membatasi kenaikan upah buruh tidak terbukti, hal itu dapat dilihat di 11 propinsi dimana kenaikan upah minimum 2009 lebih dari 10 persen beberapa daerah tersebut diantaranya DKI Jakarta yang naik 10 persen, Jawa Barat 10,56 persen, Sulawesi selatan mencapai 22,21 persen untuk kabupaten Cirebon sendiri kenaikan upah tahun 2009 mencapai 12,85 persen ( 85.000,- )dimana UMK ditentukan sebesar Rp 746.000,-
Polemik di daerah lain seputar penetapan upah minimum kabupaten / kota ( UMK ) adalah daerah Jawa Timur diharapkan tahun 2009 dipaksa sudah tuntas. Gubernur akhirnya menyetujui seluruh usul UMK dari seluruh kabupaten/kota dengan demikian besaran UMK tersebut harus sudah diterapkan per tahun 2009. Hal tersebut membuat pengusaha yang masih kesulitan menggaji sesuai dengan UMK tahun 2009 diijinkan memberlakukan besaran gaji seperti tahun sebelumnya namun harus melalui audit keuangan oleh pemerintah provinsi jika memang kondisi keuangan perusahaan tidak kuat. Keputusan Walikota Surabaya yang telah menetapkan UMK tahun 2009 sebesar Rp 948.500 atau naik 17 persen dari UMK tahun 2008 yang Rp 805.500, Bila dikaitkan dengan keluarnya SKB 4 menteri itu maka keputusan Walikota tersebut telah mengabaikan kebijakan pemerintah tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan krisis ekonomi global5).
Permasalahan permasalahan lain yang timbul akibat ketidakpuasan tentang terbitnya SKB 4 menteri adalah maraknya demo demo yang dilakukan oleh para pekerja / buruh di daerah daerah seluruh Indonesia. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia ( SPSI ) Kabupaten Bandung menyatakan menolak keras SKB 4 menteri yang berisi kesepakatan untuk tidak memberlakukan satu standarisasi upah minimum di satu wilayah tertentu, SKB itu sangat membingungkan disatu sisi UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mengenai upah minimum, disisi lain pemerintah memberikan patokan mengenai upah melalui kebijakan SKB 4 menteri6).
Begitu juga di daerah Kabupaten Cirebon dimana puluhan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam gerakan mahasiswa penyelamat reformasi serta solidaritas buruh Cirebon, melakukan aksi unjuk rasa menolak SKB 4 menteri tentang pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global, bahwa SKB 4 menteri itu tidak berfihak kepada buruh, hanya menguntungkan pengusaha dan meminta Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah kabupaten Cirebon mengabaikan SKB itu dalam menentukan besaran UMK Kabupaten / kota di Jawa Barat tahun 20097), karena menimbulkan banyak kontroversi akhirnya SKB 4 menteri oleh pemerintah direvisi menjadi ”Gubernur dalam menetapkan upah minimum diupayakan memperhatikan tingkat inflasi di masing masing daerah” dan ketentuan ini berlaku semenjak diumumkan pemerintah pada tanggal 27 November 2008 ,dimana tingkat inflasi bulan Januari sampai Oktober 2008 mencapai 10.96 persen8). Sebanarnya revisi yang dilakukan pemerintah terhadap ” pasal 3 ” yang menjadi kontroversi pemahaman dan persepsi sudah dikatakan terlambat karena dilakukan setelah sebagian besar pemerintah daerah dan dewan pengupahan sudah menetapkan kenaikan upah tahun 2009 untuk wilayah masing masing dimana 90 persen usulan kenaikan upah didaerah sudah diteken.

B. FOKUS STUDI DAN PERUMUSAN MASALAH

Kebijakan pemerintah tentang SKB 4 menteri telah menuai pro dan kontra dikalangan pengusaha maupun pekerja, khususnya ” pasal 3 ” yang menjadi sumber utama pemicu munculnya perbedaan persepsi dan pemahaman dimana dalam pelaksanaan dilapangan ada daerah yang mengabaikan kebijakan SKB 4 menteri dan dengan direvisinya SKB 4 menteri setelah ditolak melalui unjuk rasa dan disambut gembira oleh kalangan pekerja / buruh namun bagi kalangan pengusaha hal itu menjadi beban perusahaan, berdasarkan pada kontroversi yang terjadi akibat terbitnya SKB 4 menteri tersebut maka dalam penelitian ini akan membuat fokus studi yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah persepsi pengusaha rotan terhadap terbitnya SKB 4 menteri ?
2. Mengapa pekerja / buruh menolak adanya SKB 4 menteri ?
3. Bagaimanakah rekontruksi kebijakan SKB 4 menteri yang berkeadilan ?

Penyelesaian Tindak Pidana Bagi Prajurit TNI Melalui Peradilan Militer

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang – undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib.
Untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian Hukum yang mampu memberikan pengayoman terhadap Masyarakat, dapat mendorong kreatifitas dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan salah satu upaya pembangunan Hukum Nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka mendukung upaya pembangunan Hukum Nasional tersebut, Hukum Militer sebagai bagian dari Hukum Nasional perlu dibina, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara.1
Dalam rangka memenuhi kepentingan TNI-AD untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta penegakan Hukum dan keadilan didaerah aman atau daerah pertempuran maka perlu adanya peradilan Militer yang dapat atau berwenang memeriksa dan mengadili tindak pelanggaran yang dilakukan oleh para Prajurit TNI-AD baik yang bersifat pelanggaran Pidana maupun Disiplin.

B. Identifikasi masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Bentuk penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan anggota TNI AD ?
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam penyelesaian Tindak Pidana oleh anggota TNI AD melalui Peradilan Militer ?

Jumat, 06 November 2009

PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS

PRANATA HUKUM SEBUAH TELAAH SOSIOLOGIS


MEMAHAMI ”MULTI WAJAH” HUKUM

Abad 19 adalah awal munculnya Sosiologi Hukum(Sociology of law) di eropa yang dimotori oleh Karl Marx,Henri S Maine,Emile Dhurkeim dan Max Weber.Perdebatan seputar konsep tentang substansi hokum belum menemukan titik temu.
Pendukung pemikiran doctrinal mengkonsepkan hokum sebagai sesuatu yang normologik atau yang berlandaskan pada logika normative,sebaliknya penganut aliran pemikiran nondoktrinal mengkonsepkan hukum sebagai sesuatu yang nomologik(logika hokum yang berlandaskan pada realitas social)Dalam memberikan gambaran tentang pranata hokum baik dari aspek substansi,budaya dan kebijaksanaan sebagai bentuk pengimplementasian hukum terbagi 3 bagian:
1. Cita Hukum
2. Budaya Hukum.
3. Hukum dan kebijaksanaan public.
Hukum selalu berada dalam lingkup social tertentu bahwa hokum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal hal yang abstrak.Tentang masalah Cita Hukum akan menemukan titik temu tentang perwujudan cita atau ide hukum dalam kehidupan sosial yang terus berubah dari waktu ke waktu.
Dalam Budaya hukum menggagaskan tentang ide tentang bagaimana memberdayakan budaya hukum dalam membangun sebuah tatanan hukum yang sejalan dengan kontek sosial atau dapat dikatakan bahwa komponen budaya merupakan motor penggerak bagi sebuah tatanan hukum.
Hukum dan kebijaksanaan pemerintah merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat.Bahwa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan harus berdasarkan atas hukumbaik dalam bentuk undang undang,peraturan pelaksanaan,dan petunjuk petunjuk pelaksanaan yang lebih tehnis.

BASIS SOSIAL HUKUM:
Pertautan ilmu hukum dan ilmu pengetahuan sosial
Dalam abad sekarang bila hukum tidak dikatakan ketinggalan maka hukum harus merespon segala seluk beluk kehidupan sosial yang melingkupinya.Yang perlu mendapat perhatian hukum adalah komponen komponen sosial yang mengintari proses hukum tersebut.Gejala sosial hanya dapat dipahami dengan mempelajari bekerjanya peristiwa sebab dan akibat dalam masyarakat.Ilmu pengetahuan sosial bersifat Deskriptif dan ilmu pengetahuan hukum bersifat Normatif dan Evaluatif.Hukum tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang ada dalam pelaksanaan keadilan yang memerlukan keahlian keahlian yang bersifat non hukum.
Hukum tidak dapat dimengerti dengan baik jika terpisah dari norma norma sosial sebagai hukum yang hidup,sehingga suatu peraturan buat dan dikeluarkan berisi harapan harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran yang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sangsi sangsi yang terdapat didalamnya,aktivitas dari lembaga pelaksaan hukum dan seluruh kekuatan sosial,ekonomi,politik dan budaya.
Sadar atau tidak kekuatan kekuatan sosial sudah mulai bekerja dalam tahapan pembuatan undang undang.Pengaruh itu juga dirasakan dalam bidang penerapan hukum.dengan demikian bahwa hukum merupakan bagian dari kehidupan sosial dan dengan demikian tidak akan pernah berada diruang hampa.
Tujuan ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita untuk mengetahui sepenuhnya hakikat obyek yang kita hadapi.Untuk sampai pada tujuan tersebut,ilmu pengetahuan hukum tidak dapat menutup dirinya sebagai studi hukum yang normatif.melainkan ia perlu merangkum hasil olah pikir dari ilmu ilmu sosial yang pada hakekatnya merupakan studi yang deskriptif yaitu memaparkan apa adanya tanpa memberikan suatu penilaian.

Bagian pertama.CITA HUKUM
1. HUKUM SEBAGAI SISTEM NORMA DAN FUNGSI-FUNGSINYA.

Hukum dalam perkembanganya tidak hanya dipergunakan sebagai pengatur tingkah laku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pada kebiasan yang sudah adaa dan telah mengarah pada suatu sarana atau alat.Hukum sebagai sarana dapat dikataka bahwa hukum sebagai konsepsi yang modern.
Secara garis besar pengertian hukum dikelompokan menjadi 3 pengertian dasar yaitu:
1). Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak metode yang digunaakan filosofis.
2). Hukum dipandang sebagai suatu sistim peraturan peraturan yang abstrak metode yang digunakan normatif analisis.
3). Hukum dipandang sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat metode yang digunakan sosiologis.
Tujuan dari hukum itu sendiri adalah :
1). Untuk menemukan keadilan (Teori Etis)
2). Menjamin kebahagiaan (Teori Utilitas)
3). Ketertiban (Teori Campuran)
4). Mencapai keadilan secara berbeda-beda baik isi maupun ukuranyamenurut masyarakat dan zamanya(Mochtar Kusumaatmaja)
5). Demi kedamaian hidup antar pribadiyang meliputi ketertiban ekstern dan intern pribadi(Punadi Purbacaraka,Soejono Sukanto)
6). Untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat(Soebekti)
7). Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai(Van Apeldoorn)


2. FUNGSI CITA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM YANG DEMOKRATIS

Peraturan perundang undangan yang demokratis dapat dilihat dari peran hukum sebagaialat untuk mendinamisasikan masyarakat.Hukum melayani anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan,mendistribusikan sumber daya untuk melindungi kepentingan anggota masyarakat.
1. Konsep
Proses perancangan suatu produk hukum baik dlam hal pengembangn substantive policy mapun dalam mengkomunikasikanya.
2. Bahasa
Bagaimana mencari kata kata yang tepat.
Dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai suatu sistim maka selalu menerima masukan dari bidang bidang lain yang selanjutnya menghasilkan keluaran yang disalurkan kedalam masyarakat.

Cita Hukum(Rechtsidee)berisi gagasan ,rasa,cipta dan pikiran yang berada didalam cita bangsa indonesia.proses penyusunan suatu produk hukum dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan permasalahan yang timbul akan menjadi permasalahan kebijaksanaan (policy problems)mengenai aspek peristiwqanya,siapa yang terkena peristiwa dan yang mewakili peristiwa tersebut.
Memasuki tahapan politis yang berusaha mengidentifikasi problem dan merumuskan lebih lanjut,setelah tahapan sosiologis dan politis dilalui selanjutnya memasuki tahapan yuridis dalam prosesnya tidak bebas nilai dalam kungkungan subsistem-subsistem nonyuridis(sosial,politik,ekonomi dan budaya)